Politik memang terlahir dari sebuah kekerasan yang bersifat politis, pertarungan demi pertarungan entah dalam bentuk fisik ataupun verbal telah melahirkan sebuah opini publik bahwa ada sebuah hal yang diperebutkan. Pemilu sebagai ajang evaluasi politik 5 tahunan justru menjadi pembuat ‘pilu’ bagi beberapa masyarakat di indonesia, pertarungan sengit antar kandidat menjadi sorotan publik “apakah demokrasi kita sedang baik-baik saja?”. Disisi lain seorang petahana seperti Jokowi yang kemarin mengajukan diri kembali sebagai seorang kandidat presiden di pemilihan umum serentak 2019, telah banyak membanggakan prestasi-prestasinya dengan membangun infrastrutktur dan berbagai kartu sakti, yang ditunjukan dengan berbagai bentuk angka-angka statistik yang menggambarkan bahwa inilah keberhasilan masa kepemimpinan rezim Jokowi. Dilain pihak seorang oposisi Prabowo yang hakikatnya lahir karena bentuk ketidakpuasanya terhadap pemerintah perlu banyak berbangga juga dengan berbagai hal yang telah dibuat di rezim Jokowi, karena dengan berbagai data-data statistik yang telah dibanggakan pasti memiliki kecacatan untuk di kritisi sebagai bahan oposisi untuk menjatuhkan elektabilitas petahana sebagai rezim yang memiliki kekuatan cukup besar dibanding pihak oposisi. Tatkala itu sambil menunggu pengumuman resmi dari real count KPU yang akan dikeluarkan pada 22 Mei 2019, banyak fenomena menggelitik yang terjadi. Fenomena claiming kehendak suara masyarakat indonesiapun terjadi, dari pihak 01 berbangga diri dengan hasil Quick Count yang diambil dari 2000-3000 TPS yang sebenarnya justru belum dimengerti dari sample TPS yang mana yang dijadikan bahan dasar data Quick Count yang sudah terlanjur keluar. Dilain pihak pasangan calon 02 juga melakukan hal yang menggelitik dengan mendeklarasikan kemenangan didepan publik, padahal hasil Real Count KPU masih sekitar beberapa minggu lagi akan dikeluarkan.
Dibalik kisah menggelitik dari pertarungan kontestasi politik elektoral antara kedua kandidiat calon presiden tersebut ternyata ada kisah perjuangan pemilu yang dinilai sangat membuat pilu. Pemilu serentak 2019 yang dinilai sebagai pemilu paling rumit dan kompleks ini menyimpan rahasia umum dalam penyelengaraanya, dari mulai aktor-aktor yang sangat beragam untuk terlibat dalam agenda ini yang membuat pemilu kali ini semakin rumit. KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) yang bertugas di TPS menjadi saksi kebobrokan pemilu serentak kali ini, mereka telah bekerja sangat luar biasa dalam penyelenggaraan pemilu serentak kali ini. Banyak waktu yang telah dihabiskan demi berjalanya agenda 5 tahunan ini, mulai dari bimbingan teknis sampai dengan perhitungan suara yang menghabiskan banyak waktu. Pemilu serentak 2019 kali ini membuat kerja KPPS semakin bertambah, yang tadinya tidak harus menghitung 5 kotak suara sekaligus sekarang malah harus menghitung 5 jenis surat suara legislatif dan eksekutif. Undang undang kepemiluan yang telah mengatur berjalanya pemilu juga tidak memberikan efek manusiawi terhadap para KPPS, karena dalam undang-undang tertulis bahwa perhitungan suara harus selesai pada waktu yang sama diselenggarakannya pemilu serentak 2019 yang berarti bahwa pada pukul 23.59 WIB (hampir jam 12 malam) harus selesai perhitungan 5 jenis surat suara. Ditambah lagi sangat jarang sekali ada anak muda yang mau menjadi anggota KPPS, maka dari itu anggota KPPS diisi oleh para orang tua yang energynya sudah tidak lagi terlalu baik seperti anak muda. Ini justru membahayakan kesehatan para KPPS yang sudah lanjut usia karena memang energy yang dibutuhkan untuk menghitung 5 jenis surat suara tidaklah sedikit.
Hal seperti ini membuat kerawanan mengenai kesalahan dalam berjalanya proses pencoblosan hingga perhitungan suara sangat mudah terjadi, karena KPPS yang bekerja berlarian mengejar waktu sampai deadline yang sudah ditentukan, qualitas energy yang dimiliki hingga 5 jenis surat suara yang harus dihitung akan membuat KPPS benar-benar kelelahan hingga mengancam ketelitian para KPPS untuk menghitung surat suara. Dari sisi kesehatan para KPPSpun akan benar-benar terganggu ketika harus bekerja penuh seharian dalam penyelenggaraan pemilu tersebut. Berdasarkan laporan dari KPU yang dilangsir oleh Detiknews.com, ada 287 anggota KPPS yang meninggal dunia akibat penyelenggaraan pemilu serentak 2019. Berbagai alasan penyebab kematian tersebut antara lain ada yang terbunuh oleh oknum yang tidak bertanggung jawab saat menjaga TPS dan yang paling mengerikan adalah meninggal karena benar-benar kelelahan dalam menjalankan tugas negara. Hal seperti ini mengasumsikan bahwa pemilu serentak 2019 harus benar-benar dievaluasi, mengingat banyak dampak buruk yang terjadi. Yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah harga dari demokrasi itu sangatlah mahal? Hingga harus dibayar dengan ratusan nyawa penyelenggara yang kelelahan akibat menjalankan tugas. Disisi yang lain mengenai honor yang diterima oleh para KPPS juga tidak sebanding dengan apa yang mereka kerjakan, sejumlah Rp.550.000,00 untuk ketua KPPS dan Rp.500.000,00 untuk anggota KPPS bukanlah hal yang besar jika dibanding dengan kerja keras para pahlawan demokrasi ini. Selain itu tuduhan masyarakat mengenai KPPS yang melakukan tindak kecurangan akan menambah beban para KPPS yang telah usai bertugas, para KPPS akan selalu dihantui rasa khawatir akan tekanan masyarakat mengenai tuduhan kecurangan KPPS selama berjalanya pemilu.
Fenomena seperti ini sudah menjadi sorotan dunia mengenai banyak KPPS yang meninggal dalam penyelenggaraan pemilu di indonesia. Demokrasi indonesia pasca pemilu bukan lagi menjadi sebuah pesta demokrasi, melainkan menjadi sebuah genosida pahlawan demokrasi yang harus mereggang nyawa demi berjalanya evaluasi politik 5 tahunan ini. Demokasi indonesia kini harus bersifat memaksa agar pemilu dibuat serumit mungkin, memaksa manusia bekerja lebih dari kapasitasnya dan yang sangat mengerikan adalah memaksa nyawa manusia untuk berpisah dengan raganya. Angka kematian yang berjumlah ratusan itu memiliki banyak tanggung jawab yang harus diselesaikan, mulai dari seorang ayah yang harus membiayai keluarganya, seorang ibu yang harus menyelesaikan pekerjaan rumah sampai anak muda yang masih bisa terus berkarya jika dia masih memiliki kesempatan untuk hidup. Pemilu serentak yang terbilang sangat kompleks dan rumit ini membuat hak asasi manusia terenggut oleh demokrasi yang terkesan memaksakan, ini bukanlah demokrasi melainkan DEATHMOCRAZY politik elektoral yang kegilaanya merenggut ratusan nyawa. Langkah kongkrit yang telah dilakukan oleh walikota surabaya Tri Rismaharini yang memberikan bantuan berupa beasiswa kepada anak dari para KPPS yang wafat merupakan sebuah bentuk santunan yang membantu meringankan beban keluarga yang ditinggal.
Siapapun dan dalam bentuk apapun yang akan terpilih untuk menduduki kursi jabatanya, diharapkan mengerti bahwa pemilu serentak 2019 kali ini bukanlah pilihan yang tepat untuk meningkatkan kualitas demokrasi di indonesia. keputusan pemilu serentak ini harus benar-benar diperhatikan atau bahkan harus kembali seperti pemilu tahun 2014 sebelumnya yang memisahkan antara pemilu legislatif dan eksekutif sehingga beban para KPPS tidak tertuju pada 5 jenis kotak suara yang memberatkan. Kemanusiaan harus berjalan diatas aturan, jangan sampai aturan yang telah dibuat melanggar kemanusiaan yang telah diberikan oleh tuhan. Masyarakat tidak butuh pemilu serentak, masyarakat hanya butuh pemilu yang manusiawi.