Tulisan 7

Inhuman Indonesian Election: Genoside of Deathmocrazy Heroes 2019

Oleh : Faruz Arta Abhipraya
(Pegiat Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) Divisi Pendidikan Pemilih)

Politik memang terlahir dari sebuah kekerasan yang bersifat politis, pertarungan demi pertarungan entah dalam bentuk fisik ataupun verbal telah melahirkan sebuah opini publik bahwa ada sebuah hal yang diperebutkan. Pemilu sebagai ajang evaluasi politik 5 tahunan justru menjadi pembuat ‘pilu’ bagi beberapa masyarakat di indonesia, pertarungan sengit antar kandidat menjadi sorotan publik “apakah demokrasi kita sedang baik-baik saja?”. Disisi lain seorang petahana seperti Jokowi yang kemarin mengajukan diri kembali sebagai seorang kandidat presiden di pemilihan umum serentak 2019, telah banyak membanggakan prestasi-prestasinya dengan membangun infrastrutktur dan berbagai kartu sakti, yang ditunjukan dengan berbagai bentuk angka-angka statistik yang menggambarkan bahwa inilah keberhasilan masa kepemimpinan rezim Jokowi. Dilain pihak seorang oposisi Prabowo yang hakikatnya lahir karena bentuk ketidakpuasanya terhadap pemerintah perlu banyak berbangga juga dengan berbagai hal yang telah dibuat di rezim Jokowi,  karena dengan berbagai data-data statistik yang telah dibanggakan pasti memiliki kecacatan untuk di kritisi sebagai bahan oposisi untuk menjatuhkan elektabilitas petahana sebagai rezim yang memiliki kekuatan cukup besar dibanding pihak oposisi. Tatkala itu sambil menunggu pengumuman resmi dari real count KPU yang akan dikeluarkan pada 22 Mei 2019, banyak fenomena menggelitik yang terjadi. Fenomena claiming kehendak suara masyarakat indonesiapun terjadi, dari pihak 01 berbangga diri dengan hasil Quick Count yang diambil dari 2000-3000 TPS yang sebenarnya justru belum dimengerti dari sample TPS yang mana yang dijadikan bahan dasar data Quick Count yang sudah terlanjur keluar. Dilain pihak pasangan calon 02 juga melakukan hal yang menggelitik dengan mendeklarasikan kemenangan didepan publik, padahal hasil Real Count KPU masih sekitar beberapa minggu lagi akan dikeluarkan.

Dibalik kisah menggelitik dari pertarungan kontestasi politik elektoral antara kedua kandidiat calon presiden tersebut ternyata ada kisah perjuangan pemilu yang dinilai sangat membuat pilu. Pemilu serentak 2019 yang dinilai sebagai pemilu paling rumit dan kompleks ini menyimpan rahasia umum dalam penyelengaraanya, dari mulai aktor-aktor yang sangat beragam untuk terlibat dalam agenda ini yang membuat pemilu kali ini semakin rumit. KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) yang bertugas di TPS menjadi saksi kebobrokan pemilu serentak kali ini, mereka telah bekerja sangat luar biasa dalam penyelenggaraan pemilu serentak kali ini. Banyak waktu yang telah dihabiskan demi berjalanya agenda 5 tahunan ini, mulai dari bimbingan teknis sampai dengan perhitungan suara yang menghabiskan banyak waktu. Pemilu serentak 2019 kali ini membuat kerja KPPS semakin bertambah, yang tadinya tidak harus menghitung 5 kotak suara sekaligus sekarang malah harus menghitung 5 jenis surat suara legislatif dan eksekutif. Undang undang kepemiluan yang telah mengatur berjalanya pemilu juga tidak memberikan efek manusiawi terhadap para KPPS, karena dalam undang-undang tertulis bahwa perhitungan suara harus selesai pada waktu yang sama diselenggarakannya pemilu serentak 2019 yang berarti bahwa pada pukul 23.59 WIB (hampir jam 12 malam) harus selesai perhitungan 5 jenis surat suara. Ditambah lagi sangat jarang sekali ada anak muda yang mau menjadi anggota KPPS, maka dari itu anggota KPPS diisi oleh para orang tua yang energynya sudah tidak lagi terlalu baik seperti anak muda. Ini justru membahayakan kesehatan para KPPS yang sudah lanjut usia karena memang energy yang dibutuhkan untuk menghitung 5 jenis surat suara tidaklah sedikit.

Hal seperti ini membuat kerawanan mengenai kesalahan dalam berjalanya proses pencoblosan hingga perhitungan suara sangat mudah terjadi, karena KPPS yang bekerja berlarian mengejar waktu sampai deadline yang sudah ditentukan, qualitas energy yang dimiliki hingga 5 jenis surat suara yang harus dihitung akan membuat KPPS benar-benar kelelahan hingga mengancam ketelitian para KPPS untuk menghitung surat suara. Dari sisi kesehatan para KPPSpun akan benar-benar terganggu ketika harus bekerja penuh seharian dalam penyelenggaraan pemilu tersebut. Berdasarkan laporan dari KPU yang dilangsir oleh Detiknews.com, ada 287 anggota KPPS yang meninggal dunia akibat penyelenggaraan pemilu serentak 2019. Berbagai alasan penyebab kematian tersebut antara lain ada yang terbunuh oleh oknum yang tidak bertanggung jawab saat menjaga TPS dan yang paling mengerikan adalah meninggal karena benar-benar kelelahan dalam menjalankan tugas negara. Hal seperti ini mengasumsikan bahwa pemilu serentak 2019 harus benar-benar dievaluasi, mengingat banyak dampak buruk yang terjadi. Yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah harga dari demokrasi itu sangatlah mahal? Hingga harus dibayar dengan ratusan nyawa penyelenggara yang kelelahan akibat menjalankan tugas. Disisi yang lain mengenai honor yang diterima oleh para KPPS juga tidak sebanding dengan apa yang mereka kerjakan, sejumlah Rp.550.000,00 untuk ketua KPPS dan Rp.500.000,00 untuk anggota KPPS bukanlah hal yang besar jika dibanding dengan kerja keras para pahlawan demokrasi ini. Selain itu tuduhan masyarakat mengenai KPPS yang melakukan tindak kecurangan akan menambah beban para KPPS yang telah usai bertugas, para KPPS akan selalu dihantui rasa khawatir akan tekanan masyarakat mengenai tuduhan kecurangan KPPS selama berjalanya pemilu.

Fenomena seperti ini sudah menjadi sorotan dunia mengenai banyak KPPS yang meninggal dalam penyelenggaraan pemilu di indonesia. Demokrasi indonesia pasca pemilu bukan lagi menjadi sebuah pesta demokrasi, melainkan menjadi sebuah genosida pahlawan demokrasi yang harus mereggang nyawa demi berjalanya evaluasi politik 5 tahunan ini. Demokasi indonesia kini harus bersifat memaksa agar pemilu dibuat serumit mungkin, memaksa manusia bekerja lebih dari kapasitasnya dan yang sangat mengerikan adalah memaksa nyawa manusia untuk berpisah dengan raganya. Angka kematian yang berjumlah ratusan itu memiliki banyak tanggung jawab yang harus diselesaikan, mulai dari seorang ayah yang harus membiayai keluarganya, seorang ibu yang harus menyelesaikan pekerjaan rumah sampai anak muda yang masih bisa terus berkarya jika dia masih memiliki kesempatan untuk hidup. Pemilu serentak yang terbilang sangat kompleks dan rumit ini membuat hak asasi manusia terenggut oleh demokrasi yang terkesan memaksakan, ini bukanlah demokrasi melainkan DEATHMOCRAZY politik elektoral yang kegilaanya merenggut ratusan nyawa. Langkah kongkrit yang telah dilakukan oleh walikota surabaya Tri Rismaharini yang memberikan bantuan berupa beasiswa kepada anak dari para KPPS yang wafat merupakan sebuah bentuk santunan yang membantu meringankan beban keluarga yang ditinggal.

Siapapun dan dalam bentuk apapun yang akan terpilih untuk menduduki kursi jabatanya, diharapkan mengerti bahwa pemilu serentak 2019 kali ini bukanlah pilihan yang tepat untuk meningkatkan kualitas demokrasi di indonesia. keputusan pemilu serentak ini harus benar-benar diperhatikan atau bahkan harus kembali seperti pemilu tahun 2014 sebelumnya yang memisahkan antara pemilu legislatif dan eksekutif sehingga beban para KPPS tidak tertuju pada 5 jenis kotak suara yang memberatkan. Kemanusiaan harus berjalan diatas aturan, jangan sampai aturan yang telah dibuat melanggar kemanusiaan yang telah diberikan oleh tuhan. Masyarakat tidak butuh pemilu serentak, masyarakat hanya butuh pemilu yang manusiawi.         

Tulisan 6

ANTARA EKSPEKTASI DAN REALITA DIFABEL PADA PEMILU SERENTAK 2019

Oleh : Azka Abdi Amrurobbi, S.IP
(Sekretaris Umum KISP)

Puncak dari Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 2019 telah dilaksanakan pada 17 april 2019, dimana masyarakat yang telah memiliki hak pilih datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memilih 5 surat suara yaitu Presiden dan Wakil Presiden, DPD RI, DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Tidak terkecuali difabel yang telah memiliki hak pilih. Menurut Komisioner KPU DIY Divisi SDM dan Partisipasi Masyarakat, terdapat 11.342 difabel yang memiliki hak pilih pada pemilu serentak 2019, yang berarti hanya 0,42% difabel dibandingkan dengan jumlah DPT keseluruhan di DIYyaitu 2.695.805 orang.

Walaupun difabel tergolong kedalam kelompok minoritas berdasarkan jumlahnya yang sedikit, namun KPU harus mampu memberikan pelayanan yang seharusnya untuk memenuhi hak-hak mereka tanpa adanya diskriminasi. Undang-Undang No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menjelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara, termasuk para penyandang disabilitas yang mempunyai kedudukan hukum dan memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai Warga Negara Indonesia dan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari warga negara dan masyarakat Indonesia merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, untuk hidup maju dan berkembang secara adil dan bermartabat. Dijelaskan juga dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu bahwa Penyandang disabilitas yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama sebagai pemilih, sebagai calon anggota DPR, sebagai calon anggota DPD, sebagai calon Presiden/Wakil Presiden, sebagai calon anggota DPRD, dan sebagai penyelenggara pemilu. Dari dua UU diatas KPU memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan bagi difabel dalam Pemilu 2019.

Salah satu bentuk pelayanan yang disediakan oleh KPU adalah Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang aksesibel. TPS seharusnya dibuat sedemikian mungkin agar difabel mudah dalam menggunakan hak pilihnya. Pada buku saku PTPS 2019 yang dibuat oleh Bawaslu, bagian dua yang membahas tentang ruang lingkup tugas pengawas tempat pemungutuan suara, dituliskan bagaimana mendirikan lokasi TPS dan seperti apa ketentuan TPS yang akses untuk semua calon pemilih, termasuk bagi difabel.

Prinsip-Prinsip Lokasi Tempat Pemungutan Suara

  1. Lokasi tempat pemungutan suara tidak bertangga/ tidak berpasir/ tidak berumput tebal/ tidak berundak/ bertingkat.
  2. Jalan menuju tempat pemungutan suara tidak berbatu/ tidak bergelombang/ tidak terhalangi oleh parit atau selokan.

Tempat Pemungutan Suara

  1. Pintu masuk dan keluar lebih dari 90 cm.
  2. Meja bilik, memiliki ruang kosong di bawahnya dengan tinggi 75 cm – 100 cm.
  3. Meja kotak, tinggi maksimal 35 cm dari lantai.
  4. Luas ruangan 10 x 8 meter.

Semua prasyarat tersebut harus disediakan oleh tim pelaksana pemilu di lapangan dengan tujuan agar mempermudah mobilitas masyarakat baik difabel hingga lansia. Dijelaskan dalam Undang-Undang No. 8 tahun 2016 bagian ke sembilan pasal 13 huruf G yaitu hak difabel meliputi memperoleh aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain.

Namun dalam kenyataannya TPS akses yang seharusnya menjadi salah satu bentuk dalam memenuhi hak-hak difabel dalam pemilu tidak terlaksana dengan baik. Hasil pemantauan yang dilakukan Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) pada pemilu 2019 di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih banyak TPS yang tidak aksesibel, seperti masih adanya tangga/berundak, bergelombang, akses jalan yang sempit, dan lain sebagaianya. Harapannya di Pemilu-Pemilu selanjutnya aksesibilitas bagi difabel terus dibenahi dan dijadikan fokus utama, karena ini berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) yang diatur didalam Undang-Undang.

Tulisan 5

ESENSI PEMILU SERENTAK 2019

Pemilu serentak 2019 merupakan pemilu yang bisa dikatakan sangat rumit di dunia, Pemilihan Umum 2019 adalah pemilihan legislatif dengan pemilihan presiden yang diadakan secara serentak. Hal ini dilakukan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang pemilu serentak, yang bertujuan untuk meminimalkan pembiayaan negara dalam pelaksanaan pemilu, meminimalisir politik biaya tinggi bagi peserta pemilu, serta politik uang yang melibatkan pemilih, penyalahgunaan kekuasaan atau mencegah politisasi birokrasi, dan merampingkan skema kerja pemerintah. Pemilu serentak akan mempengaruhi komitmen penguatan partai politik dalam koalisi permanen untuk memperkuat basis kekuatan mereka di lembaga-lembaga negara yang tinggi sehingga dengan pemilu serentak diharapkan bisa memfasilitasi pembenahan Sistem Presidensial di Indonesia.

Namun esensi dan tujuan pemilu serentak 2019 terdapat masalah yang harus di evaluasi tentunya dalam masalah teknis lapangan yang menjadi semrawut dan bisa dikatakan tidak memanusiakan manusia karena adanya petugas KPPS yang menjadi korban kelelahan dalam proses pemungutuan suara di TPS. Hasil pemantauan yang dilakukan Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) juga banyaknya ketidakpahamnya petugas KPPS dan PTPS dalam masalah daftar pemilih juga menjadi masalah dalam pemilu serentak. Selain itu, surat suara yang habis dan akhirnya mengakibatkan pemilih penguna A5 masuk dalam kategori DPTb tidak dapat memilih dikarenakan tidak tersediannya surat suara. Masalah lain yaitu ada banyaknya petugas KPPS dan PTPS yang menyalahi aturan PKPU No 3 Tahun 2019 tentang pemungutuan dan penghitungan suara dalam pemilihan umum Pasal 8 Ayat 14 yang berbunyi “Pemilih yang dimaksud ayat 1( Pemilih Dptb) diberi kesempatan untuk memberikan suara di TPS mulai pukul 07.00-13.00 waktu setempat,” dan sesuai aturan PKPU No 9 tahun 2019 tentang perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan Suara dan Penghitungan Suara Dalam pemilihan Umum. Dalam pemantauan KISP banyak mahasiswa di DIY di minta untuk memilih pada pukul 12.00 siang, ini sungguh sudah menyalahi aturan yang berlaku.

Namun terlepas dari permasalahan teknis yang semrawut, penulis menganalisis tujuan Pemilu serentak ini yaitu membuat sistem presidensil menjadi kuat dan koalisi permanen dalam pemerintahan. Penulis menganalisisi tidak akan terjadi mengingat Budaya Indonesia dalam koalisi masih bukan berbasis ideologis. Partai-Partai di Indonesia masih mengedepankan pragmatis/keuntungan saja dibandingkan memikirkan masa depan Negara.

Konten IG 6.1

MUHAMMADIYAH DAN NAHDATUL ULAMA SHOCKBREAKER INDONESIA

Oleh: Moch Edward Trias Pahlevi, S.IP
Koordinator Komite Independen Sadar Pemilu (KISP)

Pemungutan suara pada 17 April 2019 telah usai, masing masing paslon 01 dan 02 mengklaim kedua belah pihak menjadi pemenang dalam kontestasi pemilu serentak 2019, Bumbu panas ini semakin menjadi ketika hasil quick count di tayangkan hampir di seluruh televisi memenangkan kubu 01. Saling klaim ini mengakibatkan tensi politik di Indonesia cukup tinggi membuat kekhawatiran berbagai belah pihak. Kondisi ini tentu sangat diperlukan peran elite politik untuk memberikan narasi persatuan dan kesatuan agar gerakan di akar rumput tidak melakukan gerakan yang tidak bisa ditoleransi.

Indonesia sudah sangat biasa menghadapi perbedaaan pandangan seperti ini, aksi 212 dan 411 merupakan gerakan yang luarbiasa dalam sejarah Indonesia, jutaan orang berkumpul di dalam satu tempat untuk menyampaikan pendapat tanpa konflik. Efek gerakan ini sangat berpengaruh pada Politic electoral di jakarta. Dan juga terasa riak tersebut hingga Pilpres dan Pileg 2019. Tensi agama ini tentu menjadi kayu bakar yang berikan bensi apabila tidak bisa diredam bisa terbakar dengan skala besar.

Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama merupakan ormas terbesar di Indonesia yang memiliki pengikut yang cukup besar. Dan juga menjadi ormas sentral yang masih di dengar oleh masyarakat Indonesia. Narasi legowo dan narasi perdamaian menjadi air untuk mengurangi tensi panas di Indonesia pasca Pilpres dan Pileg 2019.

Sungguh bahaya apabila kedua ormas ini justru masuk secara dalam politic electoral, karena tidak ada tokoh sentral yang menjadi panutan masyarakat dalam meredam syahwat politik yang begitu besar. NU dan Muhammadiyah telah terbukti selalu hadir dalam setiap kegentingan di masyaraka yang komunal.

Banyak pertanyaan oleh masyarakat asing mengapa Indonesia masih bertahan hingga saat ini. Dengan jumlah penduduk yang besar, agama yang bervariasi, suku yang banyak. Namun Indonesia bisa mampu menerima perbedaan semua ini dengan situasi yang aman.  Namun kita sebagai warga Indonesia harus berhati-hati dalam menyikapi hal politik yang dapat memecah belah persatuan bangsa.

Tulisan 2

MUJAHID DEMOKRASI : KPPS DAN PEMANTAU DI PEMILU SERENTAK 2019

Oleh: Moch Edward Trias Pahlevi, S.IP

Koordinator Umum Komite Independen Sadar Pemilu (KISP)

Pemugutan suara pemilu 2019  telah usai untuk pertama kalinya bangsa Indonesia menyelenggarakan pemilu 5 surat suara (Presiden dan Wakil Preside, DPR RI,DPD RI, DPRD PROVINSI, DPRD KAB/KOTA). Tentu saja semangat yang dibangun dengan adanya pemilu serentak 2019 adalah untuk efektifitas dan efesiensi baik dari sisi waktu maupun anggaran. Implikasi yang diharapkan dari adanya pemilu serentak adalah efisiensi pelaksanaan pemilu disertai efektivitas yang mengikutinya, yang dapat menekan pengeluaran dana negara dalam pemilu. Dengan pemilu serentak, maka partai politik dituntut untuk menyederhanakan sistem parpol dengan multi partai sederhana, sehingga tingkat relevansinya antara sistem pemilu dan sistem parpol dapat berjalan beriringan dengan penguatan terhadap sistem presidensial, yang berdampak kepada konsepsi kebijakan-kebijakan pemerintah yang didukung secara penuh dan solid dalam parlemen terhadap penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.

Namun Kompleksitas dalam pemilu serentak 2019 ini cukup menguras penyelenggara pemilu di tingkat bawah. Belum lagi Penyelenggara pemilu di terpa berbagai isu tidak mengenakan yang mempertanyakan terkait netralitas dan integritas, disisi lain pemilih yang masih kebingunan dalam menentukan pilihannya akibat isu politik hanya mengarah kepada capres dan cawapres fenomena ini biasa disebut Cotail Effect. Beberapa informasi yang di dapatkan petugas KPPS mengalami meninggal dunia akibat kelelahan faktor begitu banyak surat suara dalam proses penghitungan dan juga kompleks nya pengisian formulir.

KPPS “ Mujahid Demokrasi”

Undang-Undang pemilu membuat pemilihan umum menjadi 5 surat suara, maka akan terjadi penambahan lamanya waktu bagi setiap pemilih saat di bilik suara untuk menggunakan hak pilihnya karena harus membuka, mencoblos dan melipatkan kembali 5 surat suara tersebut. Proses penghitungan suara juga agak terjadi penambahan waktu dalam proses penghitungannya. KPPS membuka, meneliti dan menuangkan hasil pemungutan suara dari masingmasing surat suara di Berita Acara Hasil Penghitungan Suara (Form C, C1 dan C1.Plano Berhologram) ditambah dengan proses penulisan menjadi beberapa rangkap.

Petugas KPPS merupakan penyelenggara pemilu di tingkat paling bawah, namun fungsi KPPS ini menentukan bagi legitimasi pemilu serentak 2019 nanti, disinilah gesekan konflik pemilu biasanya terjadi. Tantangan yang dihadapi KPPS. Pertama,terkait Rekruitmen SDM yang cukup sulit. Belum lagi dengan persaingan rekrutmen SDM pengawas TPS yang dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) 1 orang per TPS.Kedua,  persoalan beban pekerjaan yang cukup berat dengan resiko hukum yang akan dihadapi oleh KPPS, dibandingkan jika menjadi saksi partai politik (cukup datang di hari “H” pemungutan suara) dan atau jika menjadi pengawas TPS. Hanya orang-orang yang peduli pada pengabdian pada bangsa yang dengan kesadaran tinggi mau terlibat menjadi anggota KPPS. Ketiga, persoalan penguatan kapasitas SDM KPPS yang bertambah begitu banyak secara kuantitas harus tetap dijaga kualitasnya, KPU dan jajarannya punya tanggung jawab besar bagaimana bagaimana SDM KPPS ke depan agar benar-benar terlatih dalam teknis penyelenggaraan pemungutan dan penghitungan suara di TPS, agar tidak terjadi kesalahan-kesalahan teknis administratif maupun prosedur pelaksanaannya

KPPS merupakan Pejuang demokrasi paling ujung dari tahapan pemilu, Petugas inilah menjadi ujung tombak KPU memiliki peran penting dan strategis dalam menentukan kualitas pagelaran demokrasi di negeri ini, sebagaimana strategisnya kelembagaan KPU dalam konstitusi kita yang termaktub dalam Undang Undang Dasar 1945.  Posisi strategis KPPS itu diantaranya. Pertama, KPPS merupakan instrumen KPU paling bawah atau benteng terkahir mendorong dan meningkatkan angka partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya di TPS terdekat. Bagaimana caranya ialah saat mengumumkan dan menyampaikan Form C6 ( Pemberitahuan untuk mengunakan hak pilih) dengan cara door to door. Ini menjadi momentum sosialisasi tearkhir yang dimiliki instrumen oleh KPU. Selanjutnya KPPS memegang kunci sukses dan tidaknya penyelenggaraan pemungutan dan penghitungan suara di TPS sebagai tahapan paling menentukan dan dinantikan baik oleh peserta maupun pemilih dari setiap pagelaran pesta demokrasi di negeri ini. Hari “H” pemungutan dan penghitungan suara di TPS adalah momentum puncak dari tahapan-tahapan pemilu sebelumnya.

Pemantau Pemilu “ Mujahid Demokrasi”

Salah satu Civil Society yang dapat mengawal proses pemilihan oleh penyelenggara pemilu  adalah lembaga pemantau pemilu. Pelaksanaan pemantau pemilu pada hakikatnya bermakna penglihatan atau melihat sebagian yang bisa kita lihat. Kegiatan ini pada umumnya bisa dilakukan kapan saja, dari mana saja dan dari kelompok masyarakat mana saja Keberadaan pemantau pemilu memang sudah menjadi salah satu elemen penting di dalam penyelenggaraan pemilu. Namun dalam banyak aktivitas pemantauan pemilu yang dilakukan, fokusnya memang lebih banyak kepada memantau, mencatat, mendokumentasikan (masih tidak terlalu rapi), dan melaporkan ke pengawas pemilu kalau hasil pantauan tersebut adalah pelanggaran pemilu. Selama ini, aktivitas pemantauan pemilu banyak dilakukan saat kampanye pemilu dan hari-H.

Dalam Undang-Undang Pemilu No. 7 Tahun 2017, pendaftaran dan akreditasi pemantau pemilu berada pada wilayah kewenangan Badan Pengawas Pemilu.  Ini berarti secara legalitas Pemantau Pemilu diperoleh dari Bawaslu, dimulai dari pelaporan hingga sanksi berlaku sama dan berjenjang, segala kewenangan terkait dengan Pemantau Pemilu berada di lembaga pengawas yaitu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan berlaku sesuai tingkatannya (provinsi/kabupaten/kota). Hal ini juga baik untuk  kemajuan pengawasan karena akan adanya sinergitas antara Bawaslu dengan pemantau pemilu sendiri khususnya terkait penetapan kode etik, hak dan kewajiban pemantau pemilu ini dan juga pelaporan. Setidaknya dengan lebih banyak mata yang memandang, maka partai politik dan penyelenggara pemilu akan lebih mawas diri dalam bekerja.

Pemantau pemilu merupakan “Mujahid Demokrasi” dalam membantu proses pengawalan demokrasi. Tidak akan mungkin mampu Bawaslu Bekerja sendirian dalam mengawasi pemilu. Adanya keterbatasan, baik personel maupun waktu yang dimiliki. Begitu juga pemantau pemilu yang berada di luar sistem. Mereka akan sulit mendorong tindak lanjut tanpa peran pengawas pemilu yang memiliki otoritas. Oleh karena itu, kolaborasi antar-kedua elemen akan mampu mendorong sinergi pengawalan untuk penyelenggaraan pemilu yang demokratis, perlu banyak mata di tengah-tengah masyarakat.

Pada Pemilu tahun 2014 diwarnai dengan  berbagai macam Mal Praktek Pemilu. Dalam demokrasi mal praktek pemilu ibarat penyakit yang menggerogoti demoratisasi dan integritas pemilu tersebut. Karena mal praktek pemilu dapat menurunkan legitimasi pemilu dan kepercayaan publik dan pada akhirnya akan menjadi penyebab menurunnya partisipasi pemilih. Berdasarkan laporan Bawaslu sepanjang pemilu presiden 2014 terdapat dugaan pelanggaran sebanyak 1.238. pelanggaran administrasi. Dugaan pelanggaran administrasi tersebut kemudian diteruskan kepada KPU untuk ditindaklanjuti. Sisanya, 81 dugaan pelanggaran pidana dan 21 dugaan pelanggaran kode etik. Dugaan pelanggaran terbanyak menyangkut pelanggaran Pemasangan Alat Peraga Kampanye (APK), Permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT), politik uang dan kampanye hitam.

Dalam pemilihan umum serentak 2019 ini tentu tidak menutup kemungkinan kecurangan akan lebih tinggi dibandingkan 2014, di sisi lain kompleksitas pemilu serentak ini lebih sulit dibandingkan pemilu 2014. Suhu politik yang terasa hanya menyoroti Capres dan Wapres tidak menutup kemungkinan Politik uang akan cukup tinggi dilakukan oleh calon legislatif untuk menjulang suara atau mengaet pemilih. Tentu pemantau pemilu memiliki fungsi yang cukup besar menjadi pengawal demokrasi. Pemantau pemilu memiliki fungsi untuk mendorong penyelenggaraan pemilu yang jujur adil dan transparan. Ada tiga hal penting tujuan pemantau pemilu. Pertama usaha Civil Society dalam mewujudkan cita-cita pemilu yang berlangsung secara demokratis. Sehingga hasilnya dapat diterima oleh masyarkat, serta dihormati oleh semua pihak, baik yang menang maupun yang kalah, terlebih oleh mayoritas warga negara yang memiliki hak pilih. Kedua , Pemantauan juga termasuk usaha untuk menghindari terjadinya proses pemilu dari kecurangan, manipulasi, permainan, serta rekayasa yang dapat menguntungkan pihak-pihak tertentu dan merugikan kepentingan masyarakat. Ketiga, Usaha untuk menghormati serta meningkatkan kepercayaan terhadap hak asasi manusia, khususnya hak sipil dan politik warga negara.

PASCA PEMILU 2019, ANAK MUDA HARUS MENJADI PEMENANG


Oleh: Muhammad Iqbal Khatami

Koordinator Media dan Komunikasi KISP

            Sehari setelah pelaksanaan Pemilu 2019, tensi persinggungan secara horizontal di masyarakat masih tetap tinggi. Hal ini tidak terlepas dari istimewanya penyelenggaraan Pemilu 2019 kali ini yang menggabungkan pemilihan legislatif dan eksekutif, sehingga masyarakat harus disodorkan lima surat suara ketika mencoblos di balik bilik Tempat Pemungutan Suara (TPS).

            Serentaknya pelaksanaan Pemilu tahun ini membawa implikasi yang besar terhadap kerja-kerja yang menjadi lebih kompleks dan rumit. Kompleksnya pekerjaan Pemilu tahun ini dapat dilihat dari banyaknya surat suara yang harus masyarakat coblos, dan bagaimana penyelenggara Pemilu kewalahan secara teknis mengurus rumitnya pelaksanaan Pemilu kali ini.

            Pemilu 2019 kali ini juga membawa tensi persinggungan yang sangat tinggi, didukung oleh penetrasi pengguna Internet di Indonesia yang juga sangat tinggi yakni mencapai 50% dari total 143 Juta pengguna Internet di Indonesia (Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia 2017). Banyaknya pengguna internet membuat penyebaran isu menjadi cepat menyebar dalam ruang-ruang publik sehingga tidak heran jika ruang publik kita dihiasi dengan fenomena hoax, distorsi kebenaran, hingga polarisasi pendukung yang menyebabkan perpecahan.

            Eskalasi narasi-narasi negatif yang menghiasi ruang-ruang publik kita pada pra Pemilu tak jarang membuat kita sebagai anak muda muak dan bosan menyaksikan hal tersebut setiap harinya, atau bahkan banyak pula dari kita yang justru terjebak dalam polarisasi dan mengamini perpecahan yang terjadi. Tidak sehatnya interaksi dalam polarisasi yang terjadi menunjukan bahwa kita masih mudah dipantik dengan isu-isu perpecahan. Namun, akankah fenomena ini akan terus berlanjut hingga kini kita sudah berada pada fase pasca Pemilu?

            Pasca Pemilu, persinggungan justru semakin masif terjadi, perang hastag di sosial media menjadi semakin tinggi tensinya bahkan banyak dari kita para anak muda terlibat di dalamnya. Harus diakui, jalannya Pemilu tempo hari memang menyisakan banyak permasalahan di lapangan yang membuat para pendukung saling melakukan pembenaran atas isu yang sedang bersinggungan. Diperkuat dengan kedua pasang calon presiden dan wakil presiden beserta pendukungnya yang saling asal klaim kemenangan sebelum Komisi Pemilihan Umum mengumumkan hasil resminya. Inilah yang kemudian menjadi tugas kita para anak muda untuk hadir menjadi oase atas ketidaksehatan ruang publik kita. Lalu, bagaimana seharusnya anak muda bersikap?

Pemilu Bukan Akhir Partisipasi Politik Anak Muda

            Hal lain yang menarik pada konstelasi Pemilu kali ini adalah tingginya angka pemilih generasi milenial. Berdasarkan data dari Voxpop Center menyebut ada sekitar 40% pemilih milenial (usia antara 17-35 Tahun) pada Pemilu 2019 lalu. Tidak heran, jika tempo hari peserta politik memperebutkan suara milenial. Tidak terkecuali penyelenggara Pemilu yang kerap menyelenggarakan event ala anak muda agar untuk membujuk anak muda menggunakan hak suaranya.

            Sebagai anak muda, hal yang harus dipahami adalah jangan sampai makna politik kita persempit hanya sekadar ikut serta dalam pencoblosan di balik bilik suara. Namun, yang harus dimengerti oleh anak muda adalah bahwa Pemilu hanya merupakan satu langkah dari sekian banyak langkah yang anak muda juga harus kawal dalam menjalankan roda demokrasi. Artinya, tanggung jawab anak muda tidak selesai sampai bilik pencoblosan saja.

            Peran anak muda harus hadir dalam setiap proses demokrasi, begitu pula Pemilu. Pada pra Pemilu, anak muda harus mampu mengawal dan menjadi penengah dari panasnya persinggungan pendukung peserta Pemilu. Kalaupun anak muda menjadi bagian pendukung, anak muda harus mampu menjadi pendukung yang mencerdaskan dan mencerahkan bagi masyarakat. karena hal inilah yang absen pada fase pra Pemilu lalu.

            Pada Pra Pemilu lalu, kita sibuk dipertontonkan oleh narasi yang hanya mengungkap keburukan masing-masing calon yang kita sendiri pun masih meragukan kebenarannya. Sangat jarang kita temukan adanya narasi yang mencoba mempertontonkan kelebihan-kelebihan calon yang akan kita pilih. Hingga hari pencoblosan, kiranya banyak masyarakat yang memilih karena melihat keburukan lawannya, bukan melihat kelebihan orang yang Ia pilih.

Banyak hal positif yang bisa dilakukan anak muda Pra Pemilu hingga saat Pemilu tiba, sebagai contoh adalah mendaftarkan diri menjadi pengawas atau pemantau Pemilu, penyelenggara, atau yang lainnya. Karena gagasan dan inovasi khas anak muda sangat dibutuhkan sebagai penyegar dalam segala lini kehidupan.

            Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, peran anak muda tidak boleh berhenti hingga Pemilu saja, namun harapannya akan terus berlanjut hingga pasca Pemilu. Artinya, proyeksi anak muda tidak boleh terhenti hingga Pemilu saja, namun harus bisa memproyeksikan 10-20 Tahun ke depan akan memberikan kontribusi seperti apa untuk diri kita dan untuk Indonesia. Anak muda tidak akan mampu memproyeksikan masa depan jika hari ini anak muda masih terpecah belah dan terjebak dalam persinggungan nonproduktif di ruang publik.

            Menyaksikan hari ini masyarakat masih harap cemas menanti siapa yang menjadi pemenang Pilpres kali ini. Maka, saya harus mengatakan bahwa siapapun nanti yang diputuskan KPU menjadi pemenang, anak muda tidak boleh kalah dan tetap harus menjadi pemenang. Jika anak muda masih terpecah atas egonya masing-masing, maka bisa dipastikan anak muda kalah dan hanya menjadi receh dalam konstelasi kali ini. Maka dari itu, anak muda harus segera move on dari persinggungan dan panasnya tensi hari ini agar bisa bersatu dan bergerak ke depan mengawal demokrasi.

            Seyogyanya, masih banyak Pekerjaan Rumah (PR) bagi kita anak muda yang harus dikerjakan dalam proses mengawal demokrasi. Pasca Pemilu, anak muda harus hadir dalam mengawal jalannya roda pemerintahan. Dengan bersatunya anak muda, bisa membentuk kekuatan Civil Society sesungguhnya yang bisa menjadi Shock Breaker atas perpecahan yang terjadi hari ini. Secara jangka panjang, anak muda harus hadir pula dalam mengawal janji-janji yang dilontarkan oleh wakil kita di parlemen sebagai bentuk pertanggungjawaban kita telah memilih mereka. Jika orang yang kita pilih kalah, kita tetap berkewajiban mengawal semuanya agar kebijakan yang dikeluarkan tetap pro terhadap rakyat banyak terutama kepada anak muda.

Spektrum Arah Gerak Partai Politik di Indonesia; Antara Kiri dan Kanan

Spektrum Arah Gerak Partai Politik di Indonesia; Antara Kiri dan Kanan

Partai politik adalah salah satu elemen penting dalam sebuah legitimasi pemilu pada negara yang menganut sistem demokrasi. Masing-masing dari partai politik memiliki visi dan misi serta arah gerak kebijakan yang akan ditetapkan setelah mendapat mandat kekuasaan dari masyarakat untuk mengatur daerahnya masing-masing, hal ini membuat partai memiliki sebuah ideologi dasar yang membuat perbedaan antara partai satu dengan partai yang lainya. Saat ini tercatat ada 20 partai yang terdaftar di KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang terbagi menjadi 17 partai nasional dan 3 partai lokal yang akan bertarung di kontestasi pemilu pada 17 april 2019 yang akan datang dan masing-masing partai memiliki arah haluan politik sebagai pondasi dasar partai politik itu terbentuk, berawal dari kader-kadernya yang memiliki arah pandangan yang sama sampai kepentingan-kepentingan terselubung dalam menetapkan sebuah ideologi partai. Hal yang menjadi fokus tulisan ini adalah apakah masyarakat Indonesia mengerti mengenai arah spektrum gerakan partai politik yang ada di Indonesia? Padahal hal ini sangat penting diketahui masyarakat terlebih hal seperti ini akan menyangkut kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan oleh kader-kader partai politik saat menjabat. 

Arah Spektrum Haluan Partai Politik di Indonesia Spektrum politik memiliki 2 arah yang berlawanan antara sisi kiri sebagai sisi yang lebih progresif dan sisi kanan sebagai sisi yang lebih konservatif, lalu bagaimanakah cara membedakan partai politik di Indonesia menurut spektrum politik? Partai politik yang memiliki haluan sayap kiri adalah partai politik yang menginginkan intervensi pemerintah dalam setiap kebijakannya mulai dari kebijakan ekonomi, kemakmuran dan berbagai kebijakan sosial lainya yang akan dirumuskan oleh partai berhaluan sayap kiri. Hal seperti ini sangatlah kontras dengan partai berhaluan sayap kanan yang lebih mementingkan pengembangan individu yang menolak intervensi pemerintah dari berbagai aspek, menolak biaya sosial yang mahal serta mendukung berbagai kebijakan yang bersifat konservatif. Berdasarkan dari hasil research yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia bersama dengan Australia National University yang telah melakukan penelitian dengan mengambil 508 responden yang dipilih secara acak dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang berasal dari 31 provinsi di indonesia, survey ini dilakukan dari berbagai pernyataan dan dengan skala 1-10 dan menghasilkan klasifikasi haluan sayap partai sebagai berikut;

Dari skala 1-10 yang telah dinyatakan oleh kader-kader partai terkait partai politik yang diikuti telah menunjukan bahwasanya tidak ada perbedaan yang mencolok antara partai satu dengan partai lainnya mengenai spektrum arah haluan partai politik. Hal seperti ini disebabkan karena kekalahan ideologi partai kanan-kiri, sebagaimana ditulis oleh Macionis dan Gerber pada bukunya yang berjudul Sociology ditulis tahun 2004 bahwa, setiap negara memiliki karakter spektrum arah haluan yang berbeda dari negara lain, seperti di Canada, spektrum arah haluan partai politik ekstrim kiri ada berada di partai komunis, spektrum arah haluan partai politik ekstrim kanan ada di partai konservatif dan yang berada ditengah dinamakan partai politik berhaluan Liberal. Jika melihat kembali ke partai politik di Indonesia, partai yang berada spektrum arah haluan kiri adalah partai yang dekat dengan paham Sosialisme, di kanan ada paham Konservatisme yang langsung diterjemahkan sebagai partai yang berbasis agama (tetapi dalam beberapa literasi partai politik berbasis agama lebih condong ke paham Sosialis), sedang yang berada di tengah adalah partai Konservatif yang diterjemahkan sebagai partai Nasionalis yang bisa saja arah kebijakannya condong ke kiri ataupun ke kanan. Sebenarnya, konsep spektrum partai politik yang condong ke-kanan bukanlah tentang keyakinan yang bersumber dari agama, tetapi ini adalah bentuk perlawanan dari paham Marxisme yang dikenal sebagai paham kiri dan diterapkan di partai politik, paham kanan beranggapan bahwa pemerintah sudah terlalu jauh mengintervensi pasar dan paham ini mempercayakan pasar untuk berjalan dengan sendirinya.

Tetapi jika melihat hasil dari diagram diatas, bahwasanya partai politik di Indonesia lebih cenderung mengarah pada arah spektrum haluan kanan. Alih-alih agak kekiri sedikit, yang berarti bahwasanya basis agama dalam spektrum partai politik di Indonesia masih cenderung kuat meskipun basisnya Nasionalis tetapi nilai nilai ke-agamaannya tetaplah ada, mengingat mayoritas masyarakat yang ada di Indonesia memeluk agama Islam dan ini menjadi alasan besar untuk merebut suara di setiap kontestasi politik electoral. Ini menjadi alasan besar kenapa kecenderungan arah spektrum partai politik di Indonesia tidak berani menyatakan ekstrim kanan dan lebih menyatakan agak ke kiri sedikit. Disisi lain penggunaan diksi “kiri” masih terbilang negative di Indonesia karena sejarah kelam dari partai komunis Indonesia yang berhasil meninggalkan trauma buruk kepada masyarakat di Indonesia dan akhirnya spektrum haluan partai politik di Indonesia tidak terlalu ekstrim ke kanan.
Kekalahan ideologi partai politik kanan-kiri juga menghasilkan sebuah ideologi tengah baru. Ketakutan kader partai dan masyarakat mengenai sebuah paham ekstrim yang ditetapkan partai politik bisa menjadi alasan utama mengapa partai partai di Indonesia tidak memiliki ideologi yang ekstrim. Sepanjang sejarah partai politik di Indonesia, spektrum arah haluan partai politik kiri lebih cenderung ke arah kebijakan-kebijakan yang sifatnya Sosialis seperti pelarangan free trade, pendidikan, hak asasi manusia dan lain sebagainya. Sedangkan partai politik yang memiliki spektrum arah haluan ke kanan menawarkan solusi Profetikisme. Sekarang sudah terbukti bahwa partai yang memiliki paham ekstrim tidak laku di Indonesia. 
Meminjam logika Samuel P. Huntington dalam karyanya tentang partisipasi politik masyarakat di Negara berkembang, dapat diketahui bahwa setiap model partisipasi selalu berangkat dari asumsi yang berbeda. Asumsi inilah yang kemudian menjadi titik tolak dari mana suatu partisipasi itu akan dimulai. Hal yang sama pasti juga terjadi dalam kasus ideologi partai politik. Bahwa setiap partai yang memiliki ideologi berbeda, sudah pasti mempunyai asumsi yang berbeda pula mengenai sistem politik terbaik yang mestinya diimplementasikan di Indonesia. Mustahil partai dengan ideologi berbeda akan memiliki kesamaan keyakinan garis perjuangan politik. Jika diasumsikan pada spektrum haluan partai politik, maka bisa disimpulkan bahwa partai politik yang berhaluan kanan tidak bisa berubah secara tiba-tiba menjadi berhaluan kiri ataupun sebaliknya atau bahkan menjadi ketengah. Jauh dari pembahasan ini bahwasanya dalam negara yang menganut sistem demokrasi spektrum arah haluan partai politik antara kanan dan kanan adalah sebuah sistem yang harus dijaga keberadaannya, mereka semua adalah sistem yang sudah hakekatnya harus ada untuk saling melengkapi. Jika salah satu dari spektrum partai politik tersebut hilang, maka ekosistem dalam sistem kepartaian di Indonesia akan mengalami kecacatan, dan mungkinkah ini adalah kecacatan?

Kontras Perbedaan antara Partai Politik di Indonesia Perbedaan ideologi partai politik sangatlah penting diketahui oleh masyarakat luas, hal ini membantu masyarakat untuk lebih mudah memahami dasar dari visi dan misi partai politik yang akan diterapkan oleh kader-kadernya jika menjabat nantinya. Bahkan Karl Marx dan Plato setuju serta berpendapat bahwasanya ideologi adalah cultural belief yang dipergunakan oleh masyarakat untuk memberikan justifikasi konsepsi keadilan, kebebasan, kemerdekaan, dan sejenisnya. Dari lembaga research yang sama telah meneliti kecenderungan ideologi partai di Indonesia antara Pancasilais dan Agamis, dari berbagai pernyataan dan metode penelitian yang ada di akumulasi menjadi skor 1 sampai 10 maka menghasilkan diagram sebagai berikut:

Dari diagram diatas telah menggambarkan bahwasanya isu satu-satunya yang berhasil membuat perbedaan secara signifikan terhadap partai politik di Indonesia adalah isu agama. Politik identitas masih menjadi hal yang dipuja-puja di Indonesia khususnya partai politik yang dapat meraup suara dari politik identitas mengingat Indonesia adalah negara yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam. Dari perspektif masyarakat justru sangat baik jika partai politik memiliki ketegasan ideologi yang berbeda antara Pancasilais dan Islamis, jadi masyarakat justru mudah mengetahui apa ideologi dasar dari sebuah partai politik karena ini akan berpengaruh kepada kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan oleh kader-kader di partai politik nantinya. Jika di Indonesia hal yang membuat kontras antara partai politik adalah isu agama, maka asumsi-asumsi dari setiap partai politik juga berbeda, interpretasi partai politik akan kebijakan-kebijakan politis akan berbasis dari ideologi partai politik tersebut. Sistem demokrasi juga mendukung berdirinya sebuah organisasi yang anggotanya memiliki basis pandangan ideologi yang sama atau disebut dengan partai politik, meskipun Indonesia bukanlah negara Islam dan menganut ideologi Pancasila, tetapi sistem demokrasi ini mengizinkan partai berbasis agama tetap berdiri di Indonesia. Hal seperti ini sangatlah baik dan bisa membuat masyarakat memproyeksikan bahwasanya kualitas demokrasi di Indonesia sangatlah baik, terbukti dari pemilu-pemilunya yang sering berhasil walaupun jumlah partai politiknya banyak dan terkesan sangat rumit.


Fenomena Pembiasan Ideologi Partai Politik di Indonesia.
           Pembiasan ideologi partai politik di Indonesia saat ini sudah sangat nampak terjadi, alasan utama yang menuntut fenomena ini terjadi adalah adanya threshold dalam kontestasi politik electoral. Mari ambil salah satu contoh yang sempat menjadi perdebatan dikalangan akademisi maupun masysarakat luas yaitu Presidential threshold. Presidential threshold adalah sebuah ambang batas yang telah ditentukan untuk menjadi seorang kandidat Presiden, di Indonesia sendiri salah satu syarat untuk menjadi seorang kandidat Presiden adalah harus mencapai ambang batas threshold itu sendiri yaitu harus memiliki sedikitnya 20-25% suara di Parlemen, dengan kata lain pasangan calon kandidat Presiden harus mengantongi partai-partai yang ada di Parlemen sebanyak 20% agar bisa mendaftatar sebagai pasangan calon Presiden. Peraturan ini memaksa partai politik di Indonesia membuat koalisi raksasa antara partai satu dengan partai yang lainya. Koalisi raksasa ini cenderung memaksa partai politik yang memiliki basis ideologi yang berbeda untuk membentuk sebuah koalisi raksasa agar bisa mengusung salah satu calon presiden dan wakil presiden di kontestasi electoral nantinya.
           Fenomena semacam ini sudah terjadi di dunia perpolitikan Indonesia, bagaimana partai sebuah partai PPP yang berbasis agama bisa menjalin koalisi dengan PDI-P yang memiliki basis nasionalis dan begitupun sebaliknya. Seperti yang dikatakan Samuel P. Hatingtong, mungkin benar bahwasanya partai yang sudah memiliki basis ideologi yang kuat tidak akan mudah berpindah ideologi dan mustahil memiliki pandangan yang sama dengan partai politik yang memiliki ideologi berbeda, tetapi fenomena semacam ini agak sedikit membantah teori tersebut bahwasanya kepentingan kekuasaan dan peraturan yang ada menjadi faktor utama kenapa partai politik di Indonesia memiliki koalisi yang sama mesti memiliki ideologi yang berbeda. Perlu diketahui bahwa fenomena seperti ini membuat partai politik di Indonesia memiliki fenomena yang disebut kartel partai politik dan cenderung bersifat bagi-bagi jabatan setelah kader-kadernya menjabat nantinya.

             Sedikit meminjam istilah Marx dan Plato bahwasanya ideologi adalah cultural belief  yang dipergunakan oleh masyarakat untuk memberikan justifikasi konsepsi keadilan, kebebasan, kemerdekaan, dan sejenisnya. Seharusnya jika partai politik di Indonesia memiliki ideologi yang jelas tanpa ada pembiasan semacam ini maka masyarakat akan memiliki patokan partai basis apa yang akan mereka pilih sebagai cultural belief yang akan partai politik perjuangkan untuk masyarakat yang memilihnya, ini membuktikan bahwasanya ideologi bukan lagi hal yang penting bagi partai politik saat sudah dihadapi dengan pragmatisme kekuasaan. Disisi lain jika partai politik tidak segera mengukuhkan ideologinya, maka masyarakat akan terus menerus menganggap partai memiliki orientasi pragmatis karena partai politik sendiripun tidak memiliki pegangan yang teguh dengan ideologi yang mereka anut.

x                Hal-hal yang sedang diperjuangkan oleh banyak LSM Kepemiluan beserta para akademisi adalah penghapusan threshold itu sendiri. Selain berdampak membiasakan ideologi partai, threshold juga merupakan sebuah langkah memberi kecacatan demokrasi. Bayangkan saja, Indonesia memiliki 20 partai politik yang bisa dibilang ini adalah jumlah yang sangat banyak, tetapi dikarenakan threshold yang mencekik, maka calon presiden dan wakil presiden hanya berjumlah dua pasangan calon. Bagaimana bisa dua pasangan calon presiden bisa mewakili keinginan masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dampak baiknya jika threshold dihapuskan selain membuat partai politik mengukuhkan ideologinya adalah masyarakat Indonesia memiliki varian kandidat yang bisa mereka pikirkan secara rasional dalam memilih di pemilihan umum.
Pentingkah Partai Politik Membuat Koalisi Berdasarkan Basis Ideologinya?
            Ideologi dalam partai politik merupakan basis pergerakan mau kemana kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan jika menjabat nantinya, dengan kata lain ini bisa menjadi patokan masyarakat dalam memilih. Tetapi menyikapi fenomena pembiasan ideologi partai yang mana bahwasanya partai politik bisa berkoalisi dengan partai politik lainya yang memiliki ideologi yang berbeda juga merupakan hal baik. Karena bisa dibayangkan jika partai politik membentuk koalisi raksasa berdasarkan ideologi yang sama. Misalnya, partai politik yang memiliki ideologi nasionalis membuat koalisi raksasa dengan partai politik yang berideologi nasionalis juga ataupun sebaliknya. Hal yang dikhawatirkan adalah akan terjadi polarisasi masyarakat berdasarkan ideologi partai politik yang dianut, bisa saja masyarakat yang memiliki pandangan nasionalis akan memilih partai politik yang memiliki basis nasionalis dan bisa saja masyarakat yang memiliki pandangan agamis akan memilih partai politik yang berbasis agamis, hal yang dikhawatirkan adalah akan terjadi sebuah polarisasi yang kuat dan mengakibatkan perpecahan antar masyarakat luas.


        Masih dalam sisi yang sama dampak dari buruk dari terbentuknya koalisi partai politik berdasarkan ideologi partai yang sama akan menimbulkan rancangan undang-undang yang cenderung tidak mewakili masyarakat luas. Contohnya jika koalisi partai politik yang berbasis nasionalis akan menang di kontestasi politik electoral maka hal yang ditakutkan adalah jika rancangan undang-undang yang dibentuk tidak bisa mewakilkan masyarakat yang memiliki pandangan agamis, maka dari itu pembentukan koalisi yang memiliki ideologi yang berbeda masih memiliki dampak baik. Bayangkan saja jika partai politik berbasis nasionalis membentuk koalisi dengan partai politik yang berbasis agamis, rancangan undang-undang yang akan dibentuk pasti tetap memiliki nilai nilai nasionalis dan tidak akan kehilangan Syariat-syariat agamis yang dapat mewakili pandangan masyarakat di indonesia. Jadi bisa dikatakan mereka semua adalah sebuah ekosistem yang sudah memang kodratnya diciptakan untuk saling melengkapi.          

Fairuz Arta Abhi Praya Anggota Divisi Pendidikan Pemilih KISP Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UMY