DARI KISP, UNTUK PETUGAS MEDIS

Pertanggal 14 April 2019, secara global di 213 Negara, kasus pandemi COVID-19 telah mencapai 1.776.867 kasus yang terkonfirmasi dan 111.828 orang meninggal dunia akibat COVID-19. Di Indonesia sendiri terdapat 4.557 orang teridentifikasi atau positif COVID-19, 380 orang sembuh, dan 399 orang meninggal dunia. Korban yang meninggal mulai dari masyarakat umum hingga petugas medis.

Maka dari itu Kami Komite Independen Sadar Pemilu mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya bagi stakeholders yang terkait dan khususnya bagi petugas medis yang berada di garda terdepan dalam menanggulangi pandemi COVID-19 ini. Semoga kejadian ini cepat berlalu, seluruh masyarakat diberikan kesehatan, dan bagi keluarga korban COVID-19 diberikan ketabahan. Salam hormat dari Kami untuk pejuang kesehatan di Negeri ini.

Yogyakarta, 14 April 2020

Komite Independen Sasdar Pemilu

Skenario Terburuk Pilkada Dengan Hadirnya Covid-19

Oleh: Fairuz Arta Abhipraya

(Pegiat dan Peneliti Komite Independen Sadar Pemilu)

Hadirnya wabah Covid-19 di Indonesia ternyata turut memberikan dampak tersendiri kepada Pilkada serentak yang direncanakan akan diselenggarakan pada 23 September 2020. Dengan dikeluarkanya surat putusan hasil rapat kerja Komisi II DPR RI dengan Menteri Dalam Negeri, KPU RI, BAWASLU RI dan DKPP RI perihal penundaan Pilkada serentak 2020 dan mengalokasikan dana Pilkada serentak 2020 yang belum terpakai untuk penanganan wabah Covid-19 merupakan sebuah keputusan yang baik perihal menunda proses demokrasi elektoral demi menyelamatkan jiwa masyarakat yang dinilai lebih penting. Perlu diketahui bahwasanya Indonesia merupakan negara ke 35 dari 46 negara yang telah memutuskan untuk menunda proses reshuffle kepemimpinan politik melewati mekanisme pemilu.

 Namun tidak ada salahnya jika kita mengasumsikan bahwa Pilkada serentak 2020 akan tetap dilaksanakan pada 23 september 2020 dan mencoba menganilisis dampak yang akan terjadi jika hal tersebut tetap dilaksanakan. Jika Pilkada serentak 2020 akan tetap dilaksanakan ditengah krisis wabah Covid-19, maka kemungkinan besar akan terjadi sebuah pergeseran bentuk kampanye yang dilakukan oleh para kandidat.

Seperti yang kita ketahui bahwa ditengah wabah ini banyak aktifitas manusia yang bergeser menjadi berbasis online seiring dengan seruan mengenai WFH (Work From Home), ada kemungkinan bahwa bentuk kampanye terbuka akan hilang dan berfokus pada bentuk pertemuan online atau kampanye sosial media untuk menyampaikan program kerja serta gagasan yang dimiliki para kandidat. Namun evoria kemeriahan pilkada sebagai ajang pesta demokrasi tidak akan terasa, karena masyarakat kita hari ini tidak terlalu tertarik dengan politik yang berbentuk abstrak (masing ngawang) dari pada politik yang bisa terlihat. Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya masyarakat yang berminat menyaksikan diskusi-diskusi publik dan debat-debat para kandidat yang bersifat programatik dibandingkan acara dangdutan atau kompetisi futsal yang diadakan oleh kandidat sebagai salah satu bentuk kampanye terbuka.

Disisi lain dengan mewabahnya Covid-19 maka isu Pilkada serentak 2020 akan tenggelam tertimbun oleh isu wabah Covid-19, sehingga masyarakat akan lebih berfokus pada bagaimana masyarakat bisa melindungi diri dari wabah Covid-19 dibandingkan dengan harus berpikir kritis terhadap isu Pilkada serentak 2020. Hal ini akan berdampak pada rendahnya respon perdebatan publik terhadap visi dan misi para kandidat sehingga teori gagasan-gagasan terhadap permasalahan di masyarakat tidak akan muncul dari masyarakat itu sendiri.

Perihal tenggelamya isu pilkada yang disebabkan oleh kuatnya isu Covid-19, maka partisipasi pemilih secara tidak langsung juga akan terdampak. Jika Pilkada serentak 2020 tetap dilakukan ditengah wabah maka akan menimbulkan penurunan tingkat voter turnout (Partisipasi Pemilih) untuk datang ke TPS karena masyarakat lebih memilih untuk menghindari kerumunan dibandingkan harus datang ke TPS dan bertemu banyak orang, sehingga hal ini akan berdampak pada tingkat legitimasi kandidat jika terpilih nantinya.

Disisi lain, anggaran untuk melaksanakan Pilkada serentak 2020 ditengah waah Covid-19 juga akan membengkak. Hal ini terkait degan aturan protokol yang ketat didalam proses pelaksanaan pelaksanaan Pilkada serentak 2020 ditengah wabah Covid-19 dari mulai persiapan hingga pelaksanaan, para penyelenggara harus menganggarkan dana untuk proses pengadaan barang berupa alat kesehatan seperti Digital Thermometer, Hand Sanitizer, Masker dan bahkan tenaga medis untuk berjaga-jaga jika saja terjadi hal yang tidak diinginkan. Penundaan Pilkada serentak 2020 dengan 3 opsi waktu pelaksanaan yang didasari oleh berbagai kemungkinan progress terjadinya wabah Covid-19 sudah menjadi sebuah rancangan yang tepat untuk menghindari hal-hal tersebut, sehingga hari ini masyarakat harus fokus untuk bagaimana menyudahi wabah Covid-19 dibandingkan memikirkan proses penyelenggaraan Pilkada serentak yang entah kapan akan dilaknakan. Biarkanlah pihak yang berwenang mengatur akan hal tersbut dan kita sebagai masyarakat harus tetap dirumah serta membantu sesame ditengah wabah Covid-19.

CATATAN 2 TAHUN KISP: MENAKAR URGENSI PARTISIPASI KAUM MUDA

Oleh: Muhammad Iqbal Khatami

(Koordinator bidang Media dan Komunikasi Komite Independen Sadar Pemilu)

“Terlalu mubazir, jika keberadaan kaum muda saat ini hanya dijadikan sebagai ‘tukang buat kopi’ atau ‘tukang photocopy’ saja, kaum muda bisa lakukan lebih dan berpartisipasi banyak. Jangan sampai, stigma remeh temeh kepada para kaum muda justru mematikan jutaan gagasan kreatif yang ada kepalanya.”

Itulah sedikit pandangan singkat saya jika ditanya seberapa besar urgensi peran dan partisipasi para kaum muda dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Hadirnya generasi muda di Indonesia digadang-gadang akan memiliki peranan yang besar dengan alasan jumlahnya yang akan melonjak di 5 sampai 20 Tahun ke depan, atau yang kita kenal dengan istilah fenomena Bonus Demografi, yang jumlahnya diperkirakan mencapai kurang lebih 40% dari total penduduk.

Dilihat dari karakternya, suara yang disampaikan kaum muda banyak berbeda dengan suara masyarakat pada umumnya. Suara yang berbeda ini bisa dimaknai dengan semangat pembaharu yang kreatif dan inovatif. Pemuda harus berperan aktif sebagai kekuatan moral, gerakan politik, kontrol sosial, dan penginisiasi perubahan dalam segala aspek jalannya roda kemajuan bangsa. Artinya, kaum muda harus mampu menjadi poros gerakan dan kemajuan dalam segala aspek. Hal ini tidak bisa terwujud jika masih ada stigma remeh-temeh dan ketidaksediaan ruang berekspresi kaum muda.

KISP sebagai Wadah Aktualisasi Kaum Muda

Jika kita, para pengurus Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) ditanya bagaimana awal mula Lembaga ini bisa terbentuk, pastinya jawaban kita serentak kurang lebih seperti ini; KISP berawal dari kumpulan anak muda yang kebiasaannya nongkrong di sebuah café sembari main bareng game online, lalu iseng membuat sebuah komunitas kepemiluan karena latarbelakang kumpulan anak muda ini adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.

Jawaban tersebut benar adanya, KISP awal berdiri dengan nama awal Komunitas Independen Sadar Pemilu yang kemudian diubah menjadi Komite setelah KISP resmi berbadan hukum. Satu hal yang menjadi ciri khas gerakan kami adalah KISP sebagai wadah aktualisasi kaum muda dalam mengekspresikan diri dan gagasan. Di usia 2 tahun ini, KISP masih konsisten bergerak dengan segala ciri khasnya mengawal demokrasi dan pendidikan politik oleh kaum muda.

Dalam catatan ini, saya akan melihat KISP sebagai sebuah wadah aktualisasi kaum muda dan perannya sebagai civil society. Peran civil society yang di dalamnya termasuk (LSM)/ Organisasi non-pemerintahan dalam konsep Good governance merupakan salah satu aktor yang mendukung proses pembangunan yang bersifat partisipatif dalam kemajuan bangsa dan Negara. Artinya, melihat secara general dari konsep Good Governance keberadaan LSM seperti KISP menjadi penting untuk mengisi peranan partisipasi sektor civilsociety dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dasar dari good governance ialah prinsip partisipasi dari masyarakat sipil yang efektif dan masif. Masyarakat pada saat ini pun sudah harus sadar akan hak dan kewajiban mereka dalam menentukan dan mengawasi kebijakan pemerintah serta mengambil peran dalam berbagai bentuk gerakan. Berbicara dalam konteks ini, maka kaum muda akan memiliki peran yang sangat besar jika kita konsisten ingin menegakkan prinsip good governance, pertama dengan alasan kuantitas kaum muda. Kedua, berbicara terkait kualitas kaum muda di Indonesia yang potensial. Pertanyaan mendasar, sudah tercukupi kah ruang-ruang aktualisasi dan partisipasi kaum muda di Indonesia?

Kehadiran ruang atau wadah ini dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, dari sisi penyediaan dari pemerintah. Pemangku kebijakan seharusnya menyediakan wadah yang leluasa untuk civil society dalam proses merumuskan berbagai kebijakan dan mampu mendengar aspirasi dari masyarakat. ruang semacam ini yang diinisiasi langsung oleh pemangku kebijakan sepertinya memang masih kurang bahkan dalam beberapa konteks bisa dibilang tidak ada. Meskipun, hari ini kita cukup dipermudah dengan kehadiran media daring yang mempermudah kita dalam menyampaikan suara secara vertikal langsung kepada para pemangku kebijakan. Walaupun dibayangi banyak ketakutan seperti tidak terbacanya aspirasi kita di ruang daring tersebut dan baying-bayang Undang-undang karet UU ITE yang kapanpun bisa digunakan untuk membungkam kekritisan kaum muda.

Sisi kedua, ruang-ruang aktualisasi dan partisipasi ini bisa diciptakan sendiri oleh civil society itu sendiri. Artinya, inisiasi-inisiasi oleh kaum muda dalam menciptakan ruang-ruang aktualisasi diri harus digalakkan secara masif dalam segala ranah dan fokus gerakan. Melalui inisiasi wadah-wadah ini, bisa menjadi pemantik untuk kaum muda berani bergerak dan ambil bagian tanpa mengenal batas apapun.

Maka, di 2 Tahun usia Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) ini, KISP harus terus konsisten bergerak dan terus besar agar selalu mampu menjadi wadah eksperi para kaum muda dalam ranah pengawalan demokrasi dan pendidikan politik masyarakat. Namun, yang tidak kalah penting dari itu, harus lebih banyak lagi muncul wadah-wadah seperti KISP dalam berbagai ranah gerak dan fokus gerakan untuk mengisi pos-pos partisipasi para kaum muda. Abadi Perjuangan, Panjang Umur KISP

Catatan Kritis dan Refleksi Komite Independen Sadar Pemilu 2 Tahun Terakhir

Oleh: Wildhan Khalyubi

Koordinator Divisi Pendidikan Pemilih, Komite Independen Sadar Pemilu

Semenjak Khilani (2005) menyebut civil society sebagai The Idea of The Late Twentieth Century, semenjak saat itu pula peran civil society memperlihatkan sebagai jembatan penghubung antara masyarakat dengan negara. Disamping itu, dalam menuju demokrasi yang terkonsolidasi, civil society memainkan perannya sebagaimana Lintz & Stepan (1996) yang menjelaskan kedalam 3 tahap yakni liberalisasi, transisi, dan konsolidasi. Peranan tiap tahap dalam menunjukan eksistensi civil society saling terintegrasi dan memiliki makna tersendiri.

Ada pun tahapan-tahapan tersebut dijelaskan sebagai berikut: pertama, kehadiran civil society pada tahap liberalisasi merupakan alat kontruksi hak setiap individu serta penerobos batasan-batasan ruang gerak masyarakat. Kehadirannya membangun kebebasan dalam mengontrol tatanan negara. Kedua tahapan lanjut dari upaya pengontrol negara ialah pada tahap transisi, civil society juga berperan dalam operasi kejatuhan rezim-rezim yang bersifat otoriter. Peranannya dalam menjadikan agen perubahan membawa pada nilai-nilai demokrasi. Dan ketiga pada tahap konsolidasi, civil society menjadikan demokrasi sebagai the only game in town. Artinya tahap ini menajdikan demokrasi sebagai pelarian dari pemerintahan yang feudal menuju pemerintahan yang akuntabel dan transparan kepada publik atau dalam sebutan lain ialah good governance.

Namun seiring berjalannya waktu, menuju demokrasi yang terkonsolidasi selalu menemui jalan terjal. Democracy breakdown kerap dimunculkan sebagai klaim kegagalan menuju demokrasi yang terkonsolidasi diiringi dengan civil society yang menemui waktu senjakalanya. Ini merupakan catatan penting bagi civil society untuk selalu memperluas aktivitas-aktivitasdiruang publik. Sehinngga perannya sebagai jembatan penghubung masyarakat dan negara tidak sekedar ungkapan belaka

Penulis mencoba menuliskan catatan yang menarik akan kehadiran Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) sebagai bagian dari civil society yang bersifat populis. Gerakan ini digawangi oleh anak muda yang mengawal isu-isu kepemiluan dan demokrasi baik itu prosedural maupun menuju demokrasi yang substansial. Dalam hal ini dimaksudkan menjadi bagian atau aktor penggerak tidak harus selalu menunggu pada usia yang mapan, akan tetapi seiring proses perjalanannya, kesempatan untuk membangun kapasitas dan berjejaring dalam membangun demokrasi yang terkonsolidasi merupakan suatu proses yang tak dapat dipisahkan.

Selain itu kehadiran KISP merupakan kritik atas gerakan atau organisasi kepemudaan yang kadang selalu terfragmentasi dan menjadi proxy oligarki kepentingan politik semata. Akibatnya, ideologi yang awalnya dibangun pada tataran gerakan tersebut, terbentur dengan kepentingan pihak-pihak politik tertentu. KISP muncul menjadi gerakan yang lebih bersifat moderat, populis, dan anti-mainstream. Sebagaimana contoh populisme bersifat sosialis pada masa Hugo Chaves merebut kekuasaan tidak dengan cara perlawanan revolusi radikal akan tetapi menjadi bentuk yang lebih populis merangkul masa berdasarkan pada sebuah kondisi, hal itu merupakan cara yang mudah diterima kehadirannya dimasyarakat.

Keitiga hal diatas, diunjukan dengan beberapa serangkaian aktivitas diantaranya membuat karya tulis dalam bentuk buku dan jurnal, menjadi pemantau pemilu, membangun gerakan perlawanan politik desa dengan membentuk desa anti politik uang (Desa APU), dan hadir mengedukasi ditengah-tengah masyarakat sebagai bagian dari upaya meningkatkan partisipasi pemilih pada gelaran pemilu serentak 2019. Ini upaya KISP untuk selalu hadir ditengah-tengah masyarakat.

Untuk menuju demokrasi yang terkonsolidasi, beberapa langkah terutama dalam pengawasan pada proses demokrasi prosedural tentunya menjadi langkah krusial. Isu-isu kepemiluan menjadi sangat penting dimana segala sirkulasi kekuasaan dimulai dari tahap ini. Salah satunya bagaimana vote buying yang kerap menjadi permasalahn dimasyarakat dapat ditemui sebagai langkah pragmatisme untuk meraih suara. Akhirnya, hak politik masyarakat yang diwakili di parlemen sering kali menjadi “yatim piatu” dan tak memiliki ruang politik karna transaksi telah terjadi diawal pada proses pemilihan. Kemudian tahapan-tahapan dan sistem kepemiluan tak luput dari pantauan KISP. Seiring berjalannya waktu, regulasi-regulasi pemilu selalu berubah-ubah sehingga perlu adanya peninjauan kembali serta penyesuaian terhadap keadaan sosial dan politik di masyarakat, jelas ini merupakan hal yang tidak mudah.

Selain itu, gerakan milenial dalam mengawal kepemiluan yang dikembangkan oleh KISP menjadi jargon utama untuk menarik simpati dan kesadaran anak muda. Bukan tanpa alasan, ini merupakan manivestasi tertinggi menuju 20 tahun kedepan dalam membentuk demokrasi yang terkonsolidasi. Sebagaimana Howe dan Strawss (1991-2000) menyebutkan bahwa kesamaan rentang waktu dan kelahiran dan juga pristiwa-pristiwa yang meliputinya merupakan dasar pembagian generasi. Sehingga ada kesamaan karakter dari suatu generasi tersebut, misalnya kini generasi milenial dibekali perangkat teknologi yang canggih sehingga memengaruhi sikapnya sehari-hari.

Dua tahun telah berdirinya KISP bukan waktu yang singkat dalam membangun gerakan anak muda yang concern terhadap isu-isu kepemiluan dan demokrasi ini. Jalan panjang ditempuh dan akan selalu ditempuh menghindari senjakala civil society seiring dengan era disruptive yang bersifat mudah muncul kemudain mudah hilang dan tergantikan. Perluasan aktivitas dan gerakan-gerakan yang tak sebatas pada demokrasi prosedural akan terus dilakukan secara sustainable. Sehingga demokrasi bukanlah pesta sesaat pada masa pemilihan, akan tetapi jauh lebih dari itu maka revitalisasi peran dan penagaruh di masyrakat akan selalu diupayakan oleh KISP demi menciptakan demokrasi substansial yang lebih bermakna.

AKSI BERBAGI KE-2 KISP LAWAN CORONA

Yogyakarta, 04/04/2020 – Menyikapi pandemi Covid-19 yang berdampak luar biasa khususnya terhadap masyarakat, Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) kembali melakukan aksi berbagi makanan kepada para pekerja informal di Kota Yogyakarta yang dilaksanakan pada Sabtu (4/20).

Ada sebanyak 325 Kotak makanan yang dibagikan ke pekerja informal seperti tukang becak, pengamen, pedagang kecil dan lain-lain. Pekerja informal dijadikan sasaran sebab mayoritas dari mereka kehilangan pendapatan tetap akibat tidak adanya wisatawan yang datang ke Yogyakarta akibat Pandemi COVID-19.

Harapannya, dibagikannya 325 kotak makanan ini untuk sedikit membantu meringankan kebutuhan primer para pedagang informal yang sudah kehilangan pendapatan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Makanan tersebut dibagikan dibeberapa titik Kota Yogyakarta seperti sekitar Jalan Malioboro, Monumen Tugu, dan beberapa daerah lainnya.