Tulisan 7

Inhuman Indonesian Election: Genoside of Deathmocrazy Heroes 2019

Oleh : Faruz Arta Abhipraya
(Pegiat Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) Divisi Pendidikan Pemilih)

Politik memang terlahir dari sebuah kekerasan yang bersifat politis, pertarungan demi pertarungan entah dalam bentuk fisik ataupun verbal telah melahirkan sebuah opini publik bahwa ada sebuah hal yang diperebutkan. Pemilu sebagai ajang evaluasi politik 5 tahunan justru menjadi pembuat ‘pilu’ bagi beberapa masyarakat di indonesia, pertarungan sengit antar kandidat menjadi sorotan publik “apakah demokrasi kita sedang baik-baik saja?”. Disisi lain seorang petahana seperti Jokowi yang kemarin mengajukan diri kembali sebagai seorang kandidat presiden di pemilihan umum serentak 2019, telah banyak membanggakan prestasi-prestasinya dengan membangun infrastrutktur dan berbagai kartu sakti, yang ditunjukan dengan berbagai bentuk angka-angka statistik yang menggambarkan bahwa inilah keberhasilan masa kepemimpinan rezim Jokowi. Dilain pihak seorang oposisi Prabowo yang hakikatnya lahir karena bentuk ketidakpuasanya terhadap pemerintah perlu banyak berbangga juga dengan berbagai hal yang telah dibuat di rezim Jokowi,  karena dengan berbagai data-data statistik yang telah dibanggakan pasti memiliki kecacatan untuk di kritisi sebagai bahan oposisi untuk menjatuhkan elektabilitas petahana sebagai rezim yang memiliki kekuatan cukup besar dibanding pihak oposisi. Tatkala itu sambil menunggu pengumuman resmi dari real count KPU yang akan dikeluarkan pada 22 Mei 2019, banyak fenomena menggelitik yang terjadi. Fenomena claiming kehendak suara masyarakat indonesiapun terjadi, dari pihak 01 berbangga diri dengan hasil Quick Count yang diambil dari 2000-3000 TPS yang sebenarnya justru belum dimengerti dari sample TPS yang mana yang dijadikan bahan dasar data Quick Count yang sudah terlanjur keluar. Dilain pihak pasangan calon 02 juga melakukan hal yang menggelitik dengan mendeklarasikan kemenangan didepan publik, padahal hasil Real Count KPU masih sekitar beberapa minggu lagi akan dikeluarkan.

Dibalik kisah menggelitik dari pertarungan kontestasi politik elektoral antara kedua kandidiat calon presiden tersebut ternyata ada kisah perjuangan pemilu yang dinilai sangat membuat pilu. Pemilu serentak 2019 yang dinilai sebagai pemilu paling rumit dan kompleks ini menyimpan rahasia umum dalam penyelengaraanya, dari mulai aktor-aktor yang sangat beragam untuk terlibat dalam agenda ini yang membuat pemilu kali ini semakin rumit. KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) yang bertugas di TPS menjadi saksi kebobrokan pemilu serentak kali ini, mereka telah bekerja sangat luar biasa dalam penyelenggaraan pemilu serentak kali ini. Banyak waktu yang telah dihabiskan demi berjalanya agenda 5 tahunan ini, mulai dari bimbingan teknis sampai dengan perhitungan suara yang menghabiskan banyak waktu. Pemilu serentak 2019 kali ini membuat kerja KPPS semakin bertambah, yang tadinya tidak harus menghitung 5 kotak suara sekaligus sekarang malah harus menghitung 5 jenis surat suara legislatif dan eksekutif. Undang undang kepemiluan yang telah mengatur berjalanya pemilu juga tidak memberikan efek manusiawi terhadap para KPPS, karena dalam undang-undang tertulis bahwa perhitungan suara harus selesai pada waktu yang sama diselenggarakannya pemilu serentak 2019 yang berarti bahwa pada pukul 23.59 WIB (hampir jam 12 malam) harus selesai perhitungan 5 jenis surat suara. Ditambah lagi sangat jarang sekali ada anak muda yang mau menjadi anggota KPPS, maka dari itu anggota KPPS diisi oleh para orang tua yang energynya sudah tidak lagi terlalu baik seperti anak muda. Ini justru membahayakan kesehatan para KPPS yang sudah lanjut usia karena memang energy yang dibutuhkan untuk menghitung 5 jenis surat suara tidaklah sedikit.

Hal seperti ini membuat kerawanan mengenai kesalahan dalam berjalanya proses pencoblosan hingga perhitungan suara sangat mudah terjadi, karena KPPS yang bekerja berlarian mengejar waktu sampai deadline yang sudah ditentukan, qualitas energy yang dimiliki hingga 5 jenis surat suara yang harus dihitung akan membuat KPPS benar-benar kelelahan hingga mengancam ketelitian para KPPS untuk menghitung surat suara. Dari sisi kesehatan para KPPSpun akan benar-benar terganggu ketika harus bekerja penuh seharian dalam penyelenggaraan pemilu tersebut. Berdasarkan laporan dari KPU yang dilangsir oleh Detiknews.com, ada 287 anggota KPPS yang meninggal dunia akibat penyelenggaraan pemilu serentak 2019. Berbagai alasan penyebab kematian tersebut antara lain ada yang terbunuh oleh oknum yang tidak bertanggung jawab saat menjaga TPS dan yang paling mengerikan adalah meninggal karena benar-benar kelelahan dalam menjalankan tugas negara. Hal seperti ini mengasumsikan bahwa pemilu serentak 2019 harus benar-benar dievaluasi, mengingat banyak dampak buruk yang terjadi. Yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah harga dari demokrasi itu sangatlah mahal? Hingga harus dibayar dengan ratusan nyawa penyelenggara yang kelelahan akibat menjalankan tugas. Disisi yang lain mengenai honor yang diterima oleh para KPPS juga tidak sebanding dengan apa yang mereka kerjakan, sejumlah Rp.550.000,00 untuk ketua KPPS dan Rp.500.000,00 untuk anggota KPPS bukanlah hal yang besar jika dibanding dengan kerja keras para pahlawan demokrasi ini. Selain itu tuduhan masyarakat mengenai KPPS yang melakukan tindak kecurangan akan menambah beban para KPPS yang telah usai bertugas, para KPPS akan selalu dihantui rasa khawatir akan tekanan masyarakat mengenai tuduhan kecurangan KPPS selama berjalanya pemilu.

Fenomena seperti ini sudah menjadi sorotan dunia mengenai banyak KPPS yang meninggal dalam penyelenggaraan pemilu di indonesia. Demokrasi indonesia pasca pemilu bukan lagi menjadi sebuah pesta demokrasi, melainkan menjadi sebuah genosida pahlawan demokrasi yang harus mereggang nyawa demi berjalanya evaluasi politik 5 tahunan ini. Demokasi indonesia kini harus bersifat memaksa agar pemilu dibuat serumit mungkin, memaksa manusia bekerja lebih dari kapasitasnya dan yang sangat mengerikan adalah memaksa nyawa manusia untuk berpisah dengan raganya. Angka kematian yang berjumlah ratusan itu memiliki banyak tanggung jawab yang harus diselesaikan, mulai dari seorang ayah yang harus membiayai keluarganya, seorang ibu yang harus menyelesaikan pekerjaan rumah sampai anak muda yang masih bisa terus berkarya jika dia masih memiliki kesempatan untuk hidup. Pemilu serentak yang terbilang sangat kompleks dan rumit ini membuat hak asasi manusia terenggut oleh demokrasi yang terkesan memaksakan, ini bukanlah demokrasi melainkan DEATHMOCRAZY politik elektoral yang kegilaanya merenggut ratusan nyawa. Langkah kongkrit yang telah dilakukan oleh walikota surabaya Tri Rismaharini yang memberikan bantuan berupa beasiswa kepada anak dari para KPPS yang wafat merupakan sebuah bentuk santunan yang membantu meringankan beban keluarga yang ditinggal.

Siapapun dan dalam bentuk apapun yang akan terpilih untuk menduduki kursi jabatanya, diharapkan mengerti bahwa pemilu serentak 2019 kali ini bukanlah pilihan yang tepat untuk meningkatkan kualitas demokrasi di indonesia. keputusan pemilu serentak ini harus benar-benar diperhatikan atau bahkan harus kembali seperti pemilu tahun 2014 sebelumnya yang memisahkan antara pemilu legislatif dan eksekutif sehingga beban para KPPS tidak tertuju pada 5 jenis kotak suara yang memberatkan. Kemanusiaan harus berjalan diatas aturan, jangan sampai aturan yang telah dibuat melanggar kemanusiaan yang telah diberikan oleh tuhan. Masyarakat tidak butuh pemilu serentak, masyarakat hanya butuh pemilu yang manusiawi.         

Tulisan 6

ANTARA EKSPEKTASI DAN REALITA DIFABEL PADA PEMILU SERENTAK 2019

Oleh : Azka Abdi Amrurobbi, S.IP
(Sekretaris Umum KISP)

Puncak dari Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 2019 telah dilaksanakan pada 17 april 2019, dimana masyarakat yang telah memiliki hak pilih datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memilih 5 surat suara yaitu Presiden dan Wakil Presiden, DPD RI, DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Tidak terkecuali difabel yang telah memiliki hak pilih. Menurut Komisioner KPU DIY Divisi SDM dan Partisipasi Masyarakat, terdapat 11.342 difabel yang memiliki hak pilih pada pemilu serentak 2019, yang berarti hanya 0,42% difabel dibandingkan dengan jumlah DPT keseluruhan di DIYyaitu 2.695.805 orang.

Walaupun difabel tergolong kedalam kelompok minoritas berdasarkan jumlahnya yang sedikit, namun KPU harus mampu memberikan pelayanan yang seharusnya untuk memenuhi hak-hak mereka tanpa adanya diskriminasi. Undang-Undang No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menjelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara, termasuk para penyandang disabilitas yang mempunyai kedudukan hukum dan memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai Warga Negara Indonesia dan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari warga negara dan masyarakat Indonesia merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, untuk hidup maju dan berkembang secara adil dan bermartabat. Dijelaskan juga dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu bahwa Penyandang disabilitas yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama sebagai pemilih, sebagai calon anggota DPR, sebagai calon anggota DPD, sebagai calon Presiden/Wakil Presiden, sebagai calon anggota DPRD, dan sebagai penyelenggara pemilu. Dari dua UU diatas KPU memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan bagi difabel dalam Pemilu 2019.

Salah satu bentuk pelayanan yang disediakan oleh KPU adalah Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang aksesibel. TPS seharusnya dibuat sedemikian mungkin agar difabel mudah dalam menggunakan hak pilihnya. Pada buku saku PTPS 2019 yang dibuat oleh Bawaslu, bagian dua yang membahas tentang ruang lingkup tugas pengawas tempat pemungutuan suara, dituliskan bagaimana mendirikan lokasi TPS dan seperti apa ketentuan TPS yang akses untuk semua calon pemilih, termasuk bagi difabel.

Prinsip-Prinsip Lokasi Tempat Pemungutan Suara

  1. Lokasi tempat pemungutan suara tidak bertangga/ tidak berpasir/ tidak berumput tebal/ tidak berundak/ bertingkat.
  2. Jalan menuju tempat pemungutan suara tidak berbatu/ tidak bergelombang/ tidak terhalangi oleh parit atau selokan.

Tempat Pemungutan Suara

  1. Pintu masuk dan keluar lebih dari 90 cm.
  2. Meja bilik, memiliki ruang kosong di bawahnya dengan tinggi 75 cm – 100 cm.
  3. Meja kotak, tinggi maksimal 35 cm dari lantai.
  4. Luas ruangan 10 x 8 meter.

Semua prasyarat tersebut harus disediakan oleh tim pelaksana pemilu di lapangan dengan tujuan agar mempermudah mobilitas masyarakat baik difabel hingga lansia. Dijelaskan dalam Undang-Undang No. 8 tahun 2016 bagian ke sembilan pasal 13 huruf G yaitu hak difabel meliputi memperoleh aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain.

Namun dalam kenyataannya TPS akses yang seharusnya menjadi salah satu bentuk dalam memenuhi hak-hak difabel dalam pemilu tidak terlaksana dengan baik. Hasil pemantauan yang dilakukan Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) pada pemilu 2019 di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih banyak TPS yang tidak aksesibel, seperti masih adanya tangga/berundak, bergelombang, akses jalan yang sempit, dan lain sebagaianya. Harapannya di Pemilu-Pemilu selanjutnya aksesibilitas bagi difabel terus dibenahi dan dijadikan fokus utama, karena ini berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) yang diatur didalam Undang-Undang.

Tulisan 5

ESENSI PEMILU SERENTAK 2019

Pemilu serentak 2019 merupakan pemilu yang bisa dikatakan sangat rumit di dunia, Pemilihan Umum 2019 adalah pemilihan legislatif dengan pemilihan presiden yang diadakan secara serentak. Hal ini dilakukan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang pemilu serentak, yang bertujuan untuk meminimalkan pembiayaan negara dalam pelaksanaan pemilu, meminimalisir politik biaya tinggi bagi peserta pemilu, serta politik uang yang melibatkan pemilih, penyalahgunaan kekuasaan atau mencegah politisasi birokrasi, dan merampingkan skema kerja pemerintah. Pemilu serentak akan mempengaruhi komitmen penguatan partai politik dalam koalisi permanen untuk memperkuat basis kekuatan mereka di lembaga-lembaga negara yang tinggi sehingga dengan pemilu serentak diharapkan bisa memfasilitasi pembenahan Sistem Presidensial di Indonesia.

Namun esensi dan tujuan pemilu serentak 2019 terdapat masalah yang harus di evaluasi tentunya dalam masalah teknis lapangan yang menjadi semrawut dan bisa dikatakan tidak memanusiakan manusia karena adanya petugas KPPS yang menjadi korban kelelahan dalam proses pemungutuan suara di TPS. Hasil pemantauan yang dilakukan Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) juga banyaknya ketidakpahamnya petugas KPPS dan PTPS dalam masalah daftar pemilih juga menjadi masalah dalam pemilu serentak. Selain itu, surat suara yang habis dan akhirnya mengakibatkan pemilih penguna A5 masuk dalam kategori DPTb tidak dapat memilih dikarenakan tidak tersediannya surat suara. Masalah lain yaitu ada banyaknya petugas KPPS dan PTPS yang menyalahi aturan PKPU No 3 Tahun 2019 tentang pemungutuan dan penghitungan suara dalam pemilihan umum Pasal 8 Ayat 14 yang berbunyi “Pemilih yang dimaksud ayat 1( Pemilih Dptb) diberi kesempatan untuk memberikan suara di TPS mulai pukul 07.00-13.00 waktu setempat,” dan sesuai aturan PKPU No 9 tahun 2019 tentang perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan Suara dan Penghitungan Suara Dalam pemilihan Umum. Dalam pemantauan KISP banyak mahasiswa di DIY di minta untuk memilih pada pukul 12.00 siang, ini sungguh sudah menyalahi aturan yang berlaku.

Namun terlepas dari permasalahan teknis yang semrawut, penulis menganalisis tujuan Pemilu serentak ini yaitu membuat sistem presidensil menjadi kuat dan koalisi permanen dalam pemerintahan. Penulis menganalisisi tidak akan terjadi mengingat Budaya Indonesia dalam koalisi masih bukan berbasis ideologis. Partai-Partai di Indonesia masih mengedepankan pragmatis/keuntungan saja dibandingkan memikirkan masa depan Negara.

Konten IG 7

EVALUASI PEMILU 2019?

EVALUASI PEMILU 2019?

Kisp-id.org, Yogyakarta. Peneyelenggaraan Pemilihan Umum Serentak atau Pemilu 2019 telah berlangsung yang puncaknya terjadi pada Rabu 17 April 2019 kemarin, dimana masyarakat yang telah mimiliki hak memilih secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, serta serentak melakukan pencoblosan di sekitar 800 ribu Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tersebar di seluruh Indonesia. Ini merupakan kali pertama Negara Indonesia  melaksanakan Pemilu serentak sepanjang sejarah negara Indonesia. Meski demikian, terdapat beberapa masalah yang terjadi saat hari –h pesta demokrasi ini berlangsung.

1. Kekurangan Surat Suara

Kekurangan surat suara terjadi di beberapa TPS seperti yang terjadi salah satunya di Tamantirto Kabupaten Bantul. Hasil pemantauan yang dilakukan Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) menunjukan terdapat beberapa TPS yang kekurangan surat suara dan mengakibatkan pemilih baik DPT, DPTB, dan DPK tidak dapat menggunakan hak pilih mereka. Kekurangan surat suara ini diakibatkan oleh membludaknya pengguna DPTB hingga surat suara yang tidak sesuai dengan jumlah DPTnya.

2. Belum Terima Honor

Puluhan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) belum mendapatkan honor seperti yang terjadi di Kabupaten Sleman. Puluhan KPPS yang bergabung menjadi Forum Peduli KPPS se-Kabupaten Sleman akhirnya melakukan demonstrasi ke kantor KPU Kabupaten Sleman pada senin 22 april 2019 kemarin. Mereka menuntut agar KPU Kabupaten Sleman segera mencairkan honor petugas KPPS.

3. Pemungutan Suara Ulang dan Pemungutan Suara Lanjutan

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI pada hari Senin, 22 April 2019 menyebutkan bahwa sebanyak 2.767 TPS harus melakukan pemungutan suara ulang, susulan, dan lanjutan yang tersebar di seluruh Indonesia. Pemungutan suara ulang (PSU) adalah pemungutan suara yang direkomendasikan oleh Bawaslu karena ada kesalahan penyelenggara KPPS ataupun adanya indikasi pelanggaran dalam pemungutan dan penghitungan suara di TPS. Pemungutan suara lanjutan (PSL) dilakukan jika pemungutan suara saat hari H tidak selesai karena terkendala berbagai hal, sehingga bisa dilanjutkan dengan PSL. Sedangkan pemungutan suara susulan (PSS) adalah pemungutan suara di tingkat TPS yang belum diselenggarakan karena beberapa faktor, misalnya karena logistik yang terlambat dan bencana alam. Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta saja terdapat 28 TPS yang akan melaksanakan PSU dan PSL.

4. Memakan Korban Jiwa

Di Pemilu serentak 2019 ini berbeda dengan Pemilu sebelumnya, dimana Pemilu kali ini memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPD RI, DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabuapten/Kota secara bersamaan yang mengakibatkan para penyelenggara pemilu seperti penyelenggara pemil hingga aparat keamanan harus bekerja hampir 24 jam atau lebih untuk mempersiapkan jalannya pemilu serentak 2019. Akibatnya pemilu serentak 2019 diwarnai dengan duka yang mendalam, banyak laporan petugas KPPS yang wafat karena kelelahan. Berdasarkan data yang direlease KPU RI per tanggal 24 April 2019 setidaknya sebanyak 144 orang wafat dan 883 orang sakit.

Timbulnya permasalahan-permasalahan tersebut tidak terlepas dari rumitnya penyelenggaraan pemilu 2019. Maka perlu adanya sebuah evaluasi yang dilakukan baik oleh KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu serta pemerintah. Jika hasil evaluasi membuktikan bahwa harus adanya revisi Undang-Undang (UU) maka KPU dan Bawaslu harus melibatkan DPR sebagai lembaga yang berwenang membuat dan merevisi UU. Evaluasi tersebut harus dilakukan secara menyeluruh dan mendalam.

Konten IG 6.1

MUHAMMADIYAH DAN NAHDATUL ULAMA SHOCKBREAKER INDONESIA

Oleh: Moch Edward Trias Pahlevi, S.IP
Koordinator Komite Independen Sadar Pemilu (KISP)

Pemungutan suara pada 17 April 2019 telah usai, masing masing paslon 01 dan 02 mengklaim kedua belah pihak menjadi pemenang dalam kontestasi pemilu serentak 2019, Bumbu panas ini semakin menjadi ketika hasil quick count di tayangkan hampir di seluruh televisi memenangkan kubu 01. Saling klaim ini mengakibatkan tensi politik di Indonesia cukup tinggi membuat kekhawatiran berbagai belah pihak. Kondisi ini tentu sangat diperlukan peran elite politik untuk memberikan narasi persatuan dan kesatuan agar gerakan di akar rumput tidak melakukan gerakan yang tidak bisa ditoleransi.

Indonesia sudah sangat biasa menghadapi perbedaaan pandangan seperti ini, aksi 212 dan 411 merupakan gerakan yang luarbiasa dalam sejarah Indonesia, jutaan orang berkumpul di dalam satu tempat untuk menyampaikan pendapat tanpa konflik. Efek gerakan ini sangat berpengaruh pada Politic electoral di jakarta. Dan juga terasa riak tersebut hingga Pilpres dan Pileg 2019. Tensi agama ini tentu menjadi kayu bakar yang berikan bensi apabila tidak bisa diredam bisa terbakar dengan skala besar.

Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama merupakan ormas terbesar di Indonesia yang memiliki pengikut yang cukup besar. Dan juga menjadi ormas sentral yang masih di dengar oleh masyarakat Indonesia. Narasi legowo dan narasi perdamaian menjadi air untuk mengurangi tensi panas di Indonesia pasca Pilpres dan Pileg 2019.

Sungguh bahaya apabila kedua ormas ini justru masuk secara dalam politic electoral, karena tidak ada tokoh sentral yang menjadi panutan masyarakat dalam meredam syahwat politik yang begitu besar. NU dan Muhammadiyah telah terbukti selalu hadir dalam setiap kegentingan di masyaraka yang komunal.

Banyak pertanyaan oleh masyarakat asing mengapa Indonesia masih bertahan hingga saat ini. Dengan jumlah penduduk yang besar, agama yang bervariasi, suku yang banyak. Namun Indonesia bisa mampu menerima perbedaan semua ini dengan situasi yang aman.  Namun kita sebagai warga Indonesia harus berhati-hati dalam menyikapi hal politik yang dapat memecah belah persatuan bangsa.

Tulisan 4

KISP MEMINTA KPU MAMPU TERUS MENJAGA INDEPENDENSI

kisp-id.org, Yogyakarta (25/04/19). Melihat suhu politik yang semakin panas tentu ini membuat ketidaknyamanan dalam hidup bernegara, hasil Quick Count membuat pandangan publik terpecah menjadi dua kubu. Tentu ini menjadi ke khawatiran apabila elite politik tidak mampu memberikan narasi untuk meredam hasrat politik mereka.
Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) meminta untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjaga independensi dan integritasnya agar masyarkat tidak menilai buruk proses Pemilu yang mengakibatkan deligitimasi hasil Pemilu nanti. KPU harus mampu mengcounter isu-isu yang beredar terkait kecurangan di berbagai daerah.
Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) akan selalu berkomitmen untuk terus mengawasi proses hasil pemilu ini hingga penetapan para pemimpin terpilih nantinya.

WhatsApp Image 2019-04-22 at 20.52.14

KISP TURUT BERDUKA ATAS GUGURNYA PARA PAHLAWAN PEMILU


            Di tengah kompleksitas dan hiruk pikuk permasalahan teknis dalam konstelasi politik Pemilihan Umum 2019, ternyata meninggalkan duka yang mendalam. Pelaksanaan Pemilu yang seharusnya menjadi pesta demokrasi seluruh rakyat Indonesia berubah menjadi tragedi demokrasi. Baru-baru ini, kita dihebohkan oleh meninggalnya Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan Anggota Polri/TNI.

            Sampai hari ini (22/4), Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia menyebut sudah ada 90 Pahlawan Pemilu alias KPPS yang meninggal akibat kelelahan menjalankan tugas selama Pemilu berlangsung. Tidak cukup sampai disitu, saat ini ada sekitar 374 anggota KPPS yang jatuh sakit akibat kelelahan. Selain KPPS, Pemilu 2019 juga diwarnai duka atas meninggalnya 10 Anggota Polri akibat kelelahan, sakit, dan kecelakaan saat mengamankan jalannya Pemilu 2019.

            Atas kejadian ini, kami dari Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) turut berduka yang sedalam-dalamnya atas gugurnya pahlawan-pahlawan Pemilu yang telah berjuang sepenuh tenaga mengawal kelancaran dan keamaan selama Pemilu 2019. Kami juga berharap Pahlawan-pahlawan Pemilu yang telah meninggal maupun yang sedang sakit mendapat perhatian penuh dan intens dari KPU.

            Kami dari KISP berharap pasca pelaksanaan Pemilu kali ini ada evaluasi secara besar-besaran terhadap sistem pelaksanaan Pemilu. Serentaknya pelaksanaan Pemilu 2019 kali ini membuat kerja KPPS menjadi berlipat ganda bahkan tidak tidur selama beberapa hari akibat mengawal suara. Tidak heran, jika petugas KPPS jatuh sakit bahkan hingga meninggal. Harapannya, evaluasi secara besar-besaran ini sebagai bentuk mengembalikan marwah Pemilu sebagai ajang ‘benar-benar’ pesta demokrasi yang setiap warga Negara merayakan dengan penuh suka cita, jangan sampai justru kita melewatinya dengan duka cita kembali.

            Kami dari KISP juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk turut mendoakan para pahlawan Pemilu yang telah gugur agar mendapat tempat yang paling layak di sisi-Nya dan mendoakan yang sedang sakit agar lekas diberi kesembuhan. Selain itu, kami mengajak seluruh elemen masyarakat untuk tetap mengawal dan mendoakan serta memberikan dukungan kepada seluruh pahlawan Pemilu yang saat ini masih berjuang mengawal Pemilu 2019 agar tetap diberi kelancaran dan kesehatan hingga Pemilu 2019 usai.

Tulisan 2

MUJAHID DEMOKRASI : KPPS DAN PEMANTAU DI PEMILU SERENTAK 2019

Oleh: Moch Edward Trias Pahlevi, S.IP

Koordinator Umum Komite Independen Sadar Pemilu (KISP)

Pemugutan suara pemilu 2019  telah usai untuk pertama kalinya bangsa Indonesia menyelenggarakan pemilu 5 surat suara (Presiden dan Wakil Preside, DPR RI,DPD RI, DPRD PROVINSI, DPRD KAB/KOTA). Tentu saja semangat yang dibangun dengan adanya pemilu serentak 2019 adalah untuk efektifitas dan efesiensi baik dari sisi waktu maupun anggaran. Implikasi yang diharapkan dari adanya pemilu serentak adalah efisiensi pelaksanaan pemilu disertai efektivitas yang mengikutinya, yang dapat menekan pengeluaran dana negara dalam pemilu. Dengan pemilu serentak, maka partai politik dituntut untuk menyederhanakan sistem parpol dengan multi partai sederhana, sehingga tingkat relevansinya antara sistem pemilu dan sistem parpol dapat berjalan beriringan dengan penguatan terhadap sistem presidensial, yang berdampak kepada konsepsi kebijakan-kebijakan pemerintah yang didukung secara penuh dan solid dalam parlemen terhadap penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.

Namun Kompleksitas dalam pemilu serentak 2019 ini cukup menguras penyelenggara pemilu di tingkat bawah. Belum lagi Penyelenggara pemilu di terpa berbagai isu tidak mengenakan yang mempertanyakan terkait netralitas dan integritas, disisi lain pemilih yang masih kebingunan dalam menentukan pilihannya akibat isu politik hanya mengarah kepada capres dan cawapres fenomena ini biasa disebut Cotail Effect. Beberapa informasi yang di dapatkan petugas KPPS mengalami meninggal dunia akibat kelelahan faktor begitu banyak surat suara dalam proses penghitungan dan juga kompleks nya pengisian formulir.

KPPS “ Mujahid Demokrasi”

Undang-Undang pemilu membuat pemilihan umum menjadi 5 surat suara, maka akan terjadi penambahan lamanya waktu bagi setiap pemilih saat di bilik suara untuk menggunakan hak pilihnya karena harus membuka, mencoblos dan melipatkan kembali 5 surat suara tersebut. Proses penghitungan suara juga agak terjadi penambahan waktu dalam proses penghitungannya. KPPS membuka, meneliti dan menuangkan hasil pemungutan suara dari masingmasing surat suara di Berita Acara Hasil Penghitungan Suara (Form C, C1 dan C1.Plano Berhologram) ditambah dengan proses penulisan menjadi beberapa rangkap.

Petugas KPPS merupakan penyelenggara pemilu di tingkat paling bawah, namun fungsi KPPS ini menentukan bagi legitimasi pemilu serentak 2019 nanti, disinilah gesekan konflik pemilu biasanya terjadi. Tantangan yang dihadapi KPPS. Pertama,terkait Rekruitmen SDM yang cukup sulit. Belum lagi dengan persaingan rekrutmen SDM pengawas TPS yang dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) 1 orang per TPS.Kedua,  persoalan beban pekerjaan yang cukup berat dengan resiko hukum yang akan dihadapi oleh KPPS, dibandingkan jika menjadi saksi partai politik (cukup datang di hari “H” pemungutan suara) dan atau jika menjadi pengawas TPS. Hanya orang-orang yang peduli pada pengabdian pada bangsa yang dengan kesadaran tinggi mau terlibat menjadi anggota KPPS. Ketiga, persoalan penguatan kapasitas SDM KPPS yang bertambah begitu banyak secara kuantitas harus tetap dijaga kualitasnya, KPU dan jajarannya punya tanggung jawab besar bagaimana bagaimana SDM KPPS ke depan agar benar-benar terlatih dalam teknis penyelenggaraan pemungutan dan penghitungan suara di TPS, agar tidak terjadi kesalahan-kesalahan teknis administratif maupun prosedur pelaksanaannya

KPPS merupakan Pejuang demokrasi paling ujung dari tahapan pemilu, Petugas inilah menjadi ujung tombak KPU memiliki peran penting dan strategis dalam menentukan kualitas pagelaran demokrasi di negeri ini, sebagaimana strategisnya kelembagaan KPU dalam konstitusi kita yang termaktub dalam Undang Undang Dasar 1945.  Posisi strategis KPPS itu diantaranya. Pertama, KPPS merupakan instrumen KPU paling bawah atau benteng terkahir mendorong dan meningkatkan angka partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya di TPS terdekat. Bagaimana caranya ialah saat mengumumkan dan menyampaikan Form C6 ( Pemberitahuan untuk mengunakan hak pilih) dengan cara door to door. Ini menjadi momentum sosialisasi tearkhir yang dimiliki instrumen oleh KPU. Selanjutnya KPPS memegang kunci sukses dan tidaknya penyelenggaraan pemungutan dan penghitungan suara di TPS sebagai tahapan paling menentukan dan dinantikan baik oleh peserta maupun pemilih dari setiap pagelaran pesta demokrasi di negeri ini. Hari “H” pemungutan dan penghitungan suara di TPS adalah momentum puncak dari tahapan-tahapan pemilu sebelumnya.

Pemantau Pemilu “ Mujahid Demokrasi”

Salah satu Civil Society yang dapat mengawal proses pemilihan oleh penyelenggara pemilu  adalah lembaga pemantau pemilu. Pelaksanaan pemantau pemilu pada hakikatnya bermakna penglihatan atau melihat sebagian yang bisa kita lihat. Kegiatan ini pada umumnya bisa dilakukan kapan saja, dari mana saja dan dari kelompok masyarakat mana saja Keberadaan pemantau pemilu memang sudah menjadi salah satu elemen penting di dalam penyelenggaraan pemilu. Namun dalam banyak aktivitas pemantauan pemilu yang dilakukan, fokusnya memang lebih banyak kepada memantau, mencatat, mendokumentasikan (masih tidak terlalu rapi), dan melaporkan ke pengawas pemilu kalau hasil pantauan tersebut adalah pelanggaran pemilu. Selama ini, aktivitas pemantauan pemilu banyak dilakukan saat kampanye pemilu dan hari-H.

Dalam Undang-Undang Pemilu No. 7 Tahun 2017, pendaftaran dan akreditasi pemantau pemilu berada pada wilayah kewenangan Badan Pengawas Pemilu.  Ini berarti secara legalitas Pemantau Pemilu diperoleh dari Bawaslu, dimulai dari pelaporan hingga sanksi berlaku sama dan berjenjang, segala kewenangan terkait dengan Pemantau Pemilu berada di lembaga pengawas yaitu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan berlaku sesuai tingkatannya (provinsi/kabupaten/kota). Hal ini juga baik untuk  kemajuan pengawasan karena akan adanya sinergitas antara Bawaslu dengan pemantau pemilu sendiri khususnya terkait penetapan kode etik, hak dan kewajiban pemantau pemilu ini dan juga pelaporan. Setidaknya dengan lebih banyak mata yang memandang, maka partai politik dan penyelenggara pemilu akan lebih mawas diri dalam bekerja.

Pemantau pemilu merupakan “Mujahid Demokrasi” dalam membantu proses pengawalan demokrasi. Tidak akan mungkin mampu Bawaslu Bekerja sendirian dalam mengawasi pemilu. Adanya keterbatasan, baik personel maupun waktu yang dimiliki. Begitu juga pemantau pemilu yang berada di luar sistem. Mereka akan sulit mendorong tindak lanjut tanpa peran pengawas pemilu yang memiliki otoritas. Oleh karena itu, kolaborasi antar-kedua elemen akan mampu mendorong sinergi pengawalan untuk penyelenggaraan pemilu yang demokratis, perlu banyak mata di tengah-tengah masyarakat.

Pada Pemilu tahun 2014 diwarnai dengan  berbagai macam Mal Praktek Pemilu. Dalam demokrasi mal praktek pemilu ibarat penyakit yang menggerogoti demoratisasi dan integritas pemilu tersebut. Karena mal praktek pemilu dapat menurunkan legitimasi pemilu dan kepercayaan publik dan pada akhirnya akan menjadi penyebab menurunnya partisipasi pemilih. Berdasarkan laporan Bawaslu sepanjang pemilu presiden 2014 terdapat dugaan pelanggaran sebanyak 1.238. pelanggaran administrasi. Dugaan pelanggaran administrasi tersebut kemudian diteruskan kepada KPU untuk ditindaklanjuti. Sisanya, 81 dugaan pelanggaran pidana dan 21 dugaan pelanggaran kode etik. Dugaan pelanggaran terbanyak menyangkut pelanggaran Pemasangan Alat Peraga Kampanye (APK), Permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT), politik uang dan kampanye hitam.

Dalam pemilihan umum serentak 2019 ini tentu tidak menutup kemungkinan kecurangan akan lebih tinggi dibandingkan 2014, di sisi lain kompleksitas pemilu serentak ini lebih sulit dibandingkan pemilu 2014. Suhu politik yang terasa hanya menyoroti Capres dan Wapres tidak menutup kemungkinan Politik uang akan cukup tinggi dilakukan oleh calon legislatif untuk menjulang suara atau mengaet pemilih. Tentu pemantau pemilu memiliki fungsi yang cukup besar menjadi pengawal demokrasi. Pemantau pemilu memiliki fungsi untuk mendorong penyelenggaraan pemilu yang jujur adil dan transparan. Ada tiga hal penting tujuan pemantau pemilu. Pertama usaha Civil Society dalam mewujudkan cita-cita pemilu yang berlangsung secara demokratis. Sehingga hasilnya dapat diterima oleh masyarkat, serta dihormati oleh semua pihak, baik yang menang maupun yang kalah, terlebih oleh mayoritas warga negara yang memiliki hak pilih. Kedua , Pemantauan juga termasuk usaha untuk menghindari terjadinya proses pemilu dari kecurangan, manipulasi, permainan, serta rekayasa yang dapat menguntungkan pihak-pihak tertentu dan merugikan kepentingan masyarakat. Ketiga, Usaha untuk menghormati serta meningkatkan kepercayaan terhadap hak asasi manusia, khususnya hak sipil dan politik warga negara.

WhatsApp Image 2019-04-19 at 18.25.32

REKAPITULASI SUARA SUDAH SAMPAI DI TINGKAT KECAMATAN

Rekapitulasi Suara di Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta

kisp-id.org, Yogyakarta – Tepat hari ini Jumat (18/04) Pemilu Serentak 2019 telah masuk ke dalam tahap rekapitulasi suara di tingkat kecamatan. Tahap rekapitulasi suara dilaksanakan secara berjenjang dimulai dari tingkat kecamatan, lalu kabupaten, provinsi, hingga nasional.

Tahapan penghitungan dan rekapitulasi suara dijelaskan dalam PKPU No. 7 tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2019.

Seluruh berkas seperti berita acara, hasil penghitungan suara, hingga kelengkapan dari TPS diserahkan kepada Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Proses penyerahan berkas, rekapitulasi, dan penetapan hasil penghitungan suara dimiulai pada tanggal 18 April 2019 hingga 4 Mei 2109.

Pramono selaku Komisioner KPU Republik Indonesia menjelaskan bahwa rentang waktu rekapitulask di tingkat kecamatan selama 17 hari dengan alasan jumlah TPS yang berbeda di setiap kecamatannya.

PASCA PEMILU 2019, ANAK MUDA HARUS MENJADI PEMENANG


Oleh: Muhammad Iqbal Khatami

Koordinator Media dan Komunikasi KISP

            Sehari setelah pelaksanaan Pemilu 2019, tensi persinggungan secara horizontal di masyarakat masih tetap tinggi. Hal ini tidak terlepas dari istimewanya penyelenggaraan Pemilu 2019 kali ini yang menggabungkan pemilihan legislatif dan eksekutif, sehingga masyarakat harus disodorkan lima surat suara ketika mencoblos di balik bilik Tempat Pemungutan Suara (TPS).

            Serentaknya pelaksanaan Pemilu tahun ini membawa implikasi yang besar terhadap kerja-kerja yang menjadi lebih kompleks dan rumit. Kompleksnya pekerjaan Pemilu tahun ini dapat dilihat dari banyaknya surat suara yang harus masyarakat coblos, dan bagaimana penyelenggara Pemilu kewalahan secara teknis mengurus rumitnya pelaksanaan Pemilu kali ini.

            Pemilu 2019 kali ini juga membawa tensi persinggungan yang sangat tinggi, didukung oleh penetrasi pengguna Internet di Indonesia yang juga sangat tinggi yakni mencapai 50% dari total 143 Juta pengguna Internet di Indonesia (Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia 2017). Banyaknya pengguna internet membuat penyebaran isu menjadi cepat menyebar dalam ruang-ruang publik sehingga tidak heran jika ruang publik kita dihiasi dengan fenomena hoax, distorsi kebenaran, hingga polarisasi pendukung yang menyebabkan perpecahan.

            Eskalasi narasi-narasi negatif yang menghiasi ruang-ruang publik kita pada pra Pemilu tak jarang membuat kita sebagai anak muda muak dan bosan menyaksikan hal tersebut setiap harinya, atau bahkan banyak pula dari kita yang justru terjebak dalam polarisasi dan mengamini perpecahan yang terjadi. Tidak sehatnya interaksi dalam polarisasi yang terjadi menunjukan bahwa kita masih mudah dipantik dengan isu-isu perpecahan. Namun, akankah fenomena ini akan terus berlanjut hingga kini kita sudah berada pada fase pasca Pemilu?

            Pasca Pemilu, persinggungan justru semakin masif terjadi, perang hastag di sosial media menjadi semakin tinggi tensinya bahkan banyak dari kita para anak muda terlibat di dalamnya. Harus diakui, jalannya Pemilu tempo hari memang menyisakan banyak permasalahan di lapangan yang membuat para pendukung saling melakukan pembenaran atas isu yang sedang bersinggungan. Diperkuat dengan kedua pasang calon presiden dan wakil presiden beserta pendukungnya yang saling asal klaim kemenangan sebelum Komisi Pemilihan Umum mengumumkan hasil resminya. Inilah yang kemudian menjadi tugas kita para anak muda untuk hadir menjadi oase atas ketidaksehatan ruang publik kita. Lalu, bagaimana seharusnya anak muda bersikap?

Pemilu Bukan Akhir Partisipasi Politik Anak Muda

            Hal lain yang menarik pada konstelasi Pemilu kali ini adalah tingginya angka pemilih generasi milenial. Berdasarkan data dari Voxpop Center menyebut ada sekitar 40% pemilih milenial (usia antara 17-35 Tahun) pada Pemilu 2019 lalu. Tidak heran, jika tempo hari peserta politik memperebutkan suara milenial. Tidak terkecuali penyelenggara Pemilu yang kerap menyelenggarakan event ala anak muda agar untuk membujuk anak muda menggunakan hak suaranya.

            Sebagai anak muda, hal yang harus dipahami adalah jangan sampai makna politik kita persempit hanya sekadar ikut serta dalam pencoblosan di balik bilik suara. Namun, yang harus dimengerti oleh anak muda adalah bahwa Pemilu hanya merupakan satu langkah dari sekian banyak langkah yang anak muda juga harus kawal dalam menjalankan roda demokrasi. Artinya, tanggung jawab anak muda tidak selesai sampai bilik pencoblosan saja.

            Peran anak muda harus hadir dalam setiap proses demokrasi, begitu pula Pemilu. Pada pra Pemilu, anak muda harus mampu mengawal dan menjadi penengah dari panasnya persinggungan pendukung peserta Pemilu. Kalaupun anak muda menjadi bagian pendukung, anak muda harus mampu menjadi pendukung yang mencerdaskan dan mencerahkan bagi masyarakat. karena hal inilah yang absen pada fase pra Pemilu lalu.

            Pada Pra Pemilu lalu, kita sibuk dipertontonkan oleh narasi yang hanya mengungkap keburukan masing-masing calon yang kita sendiri pun masih meragukan kebenarannya. Sangat jarang kita temukan adanya narasi yang mencoba mempertontonkan kelebihan-kelebihan calon yang akan kita pilih. Hingga hari pencoblosan, kiranya banyak masyarakat yang memilih karena melihat keburukan lawannya, bukan melihat kelebihan orang yang Ia pilih.

Banyak hal positif yang bisa dilakukan anak muda Pra Pemilu hingga saat Pemilu tiba, sebagai contoh adalah mendaftarkan diri menjadi pengawas atau pemantau Pemilu, penyelenggara, atau yang lainnya. Karena gagasan dan inovasi khas anak muda sangat dibutuhkan sebagai penyegar dalam segala lini kehidupan.

            Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, peran anak muda tidak boleh berhenti hingga Pemilu saja, namun harapannya akan terus berlanjut hingga pasca Pemilu. Artinya, proyeksi anak muda tidak boleh terhenti hingga Pemilu saja, namun harus bisa memproyeksikan 10-20 Tahun ke depan akan memberikan kontribusi seperti apa untuk diri kita dan untuk Indonesia. Anak muda tidak akan mampu memproyeksikan masa depan jika hari ini anak muda masih terpecah belah dan terjebak dalam persinggungan nonproduktif di ruang publik.

            Menyaksikan hari ini masyarakat masih harap cemas menanti siapa yang menjadi pemenang Pilpres kali ini. Maka, saya harus mengatakan bahwa siapapun nanti yang diputuskan KPU menjadi pemenang, anak muda tidak boleh kalah dan tetap harus menjadi pemenang. Jika anak muda masih terpecah atas egonya masing-masing, maka bisa dipastikan anak muda kalah dan hanya menjadi receh dalam konstelasi kali ini. Maka dari itu, anak muda harus segera move on dari persinggungan dan panasnya tensi hari ini agar bisa bersatu dan bergerak ke depan mengawal demokrasi.

            Seyogyanya, masih banyak Pekerjaan Rumah (PR) bagi kita anak muda yang harus dikerjakan dalam proses mengawal demokrasi. Pasca Pemilu, anak muda harus hadir dalam mengawal jalannya roda pemerintahan. Dengan bersatunya anak muda, bisa membentuk kekuatan Civil Society sesungguhnya yang bisa menjadi Shock Breaker atas perpecahan yang terjadi hari ini. Secara jangka panjang, anak muda harus hadir pula dalam mengawal janji-janji yang dilontarkan oleh wakil kita di parlemen sebagai bentuk pertanggungjawaban kita telah memilih mereka. Jika orang yang kita pilih kalah, kita tetap berkewajiban mengawal semuanya agar kebijakan yang dikeluarkan tetap pro terhadap rakyat banyak terutama kepada anak muda.