Oleh:
Christian Deswinta
(Mahasiswa Tata Kelola Pemilu, Magister Ilmu Politik, Universitas Indonesia)
Sesuai jadwal
yang seharusnya yaitu tanggal 23 September 2020 akan dilaksanakan pilkada
serentak di 270 daerah yang dirinci menjadi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37
kota seperti Sumatera Barat, Jambi, Medan, Depok, Kabupaten Bandung, dan
lainnya. Tetapi karena pandemi Corona Virus Disease-19 yang muncul awalnya di
Wuhan pada bulan Desember 2019, kemudian mewabah ke negara Eropa seperti
Italia, begitu pula Amerika Serikat. Wabah ini mulai masuk ke Indonesia di akhir
bulan maret dengan 2 orang Depok yang menjadi kasus pertama. Imbasnya, pandemik
COVID-19 tidak hanya menembus ruang kehidupan sosial dan jatuhnya perekonomian.
Pandemik ini juga bahkan mengganggu proses elektoral di tingkat daerah terutama
dalam penjadwalan pelaksanaan pemilihan kepala daerahnya. Akibatnya ini
berakibat pada penundaan tahapan pilkada untuk sementara waktu.
Pada mulanya terdapat
3 opsi penundaan pilkada sebelum putusan yang menyelenggarakan pilkada serentak
pada 9 Desember 2020 disahkan. Pertama, opsi penundaan ke tanggal 9 Desember
2020 tetapi itu bergantung pada pra-pemungutan suara yang bisa dimulai pada Mei
atau Juni 2020. Opsi kedua Penundaan diarahkan ke tanggal 17 Maret 2021 atau 6
bulan dari jadwal awal yang telah ditentukan. Ketiga, lebih jauh lagi diarahkan
1 tahun kemudian tepatnya tanggal 29 September 2021. Siapapun khususnya
instansi seperti KPU, Bawaslu, DKPP, DPR dan Pemerintah memiliki pandangan yang
berbeda mengenai ketiga opsi tersebut. Namun pada akhirnya telah diputuskan
bahwa penyelenggaraan pilkada menggunakan opsi pertama. Pengambilan keputusan
pemerintah terhadap opsi pertama banyak pihak yang menilai hanya dilandasi oleh
optimisme pemerintah semata. Padahal keputusan tersebut bergantung pula pada
perkembangan situasi pandemik. Optimisme yang dinyatakan oleh pemerintah bukan
tanpa dasar, karena melihat penyelenggaraan pemilihan yang diselenggarakan di berbagai
Negara seperti, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Prancis yang tetap berjalan
meskipun ditunda.
Pada
kenyataannya setiap hari perkembangan wabah ini meningkat sangat signifikan,
sampai per-tanggal 10 Juni 2019. Kasus positif COVID-19 bertambah sekitar
30.000 orang. Karena wabah pandemik ini tidak dapat dipastikan peningkatannya,
dan vaksin sampai sekarang belumlah ditemukan maka timbulah banyak kecemasan
dari berbagai pihak mengenai penundaan Pilkada yang dianggap terlalu prematur
ini. Padahal Legitimasi mengenai pelaksanaan sudah dikeluarkan oleh presiden
melalui Perppu No. 2 Tahun 2020 yang ditandatangani oleh presiden tanggal 5 Mei
2020. Jika ditarik pada produk perundang-undangan sebetulnya perubahan pada
tahapan pilkada itu bersifat parsial berdasarkan UU No. 10 tahun 2016, atau
dengan kata lain tahapan pilkada pengajuan perubahannya bergantung pada
daerahnya masing-masing jika suatu daerah memiliki kegentingan tertentu yang
mengharuskan tahapan pilkadanya ditunda. Tetapi karena permasalahan Covid ini
bersifat nasional dan berpengaruh pada pilkada serentak mengharuskan Presiden
mengeluarkan Perppu, guna mempunyai legitimasi yang kuat.
Tantangan
dan Konsekuensi
Membahas
mengenai penundaan pilkada karena pandemik yang bisa dikatakan menjadi hal yang
tak terduga bagi penyelenggara Pilkada. Terutama hal ini menimbulkan tantangan
dan bahkan menimbulkan konsekuensi tersendiri. Sudah pasti adalah terbengkalainya
tahapan awal Pilkada seperti pendaftaran pemilih dan pendaftaran calon, begitu
pula dengan ketidakpastian kapan pandemik akan berakhir. Oleh karena itu KPU
perlu dituntut kesiapannya dan fleksibilitasnya dalam melaksanakan 4 tahapan
tertunda seperti pelantikan panitia pemungutan suara (PPS), verifikasi syarat
dukungan calon perseorangan, hingga pembentukan petugas pemutahkiran data
pemilih jika terjadi perubahan dalam pelaksanaan pilkada. Aspek kesiapan KPU
juga dapat teruji dari penyediaan anggaran. Dikarenakan Covid-19 menimbulkan
dampak yang signifikan terhadap perekonomian, hal ini menjadi tantangan
tersendiri bagi KPU untuk memanfaatkan APBN atau APBD. Hingga hari ini
berdasarkan keputusan Rapat Dengar Pendapat (RDP), wacana yang muncul di Komisi
II DPR RI akan ada penambahan anggaran demi menyesuaikan dengan protokol kesehatan.
Kebutuhan protocol kesehatan diperkuat dengan adanya surat rekomendasi dari
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Pada akhirnya seluruh tahapan
Pilkada baik kampanye, penghitungan suara, pendaftaran calon, dan lain-lain,
harus disesuaikan dengan protokol Kesehatan yang ada
Pada posisi administrasi
dan pemerintahan hal ini menimbulkan pro dan kontra tersendiri. Karena jika
pilkada ditunda otomatis setiap daerah harus mempersiapkan Pelaksana Tugas
(PLT) nya untuk mengisi kekosongan jabatan setelah periode kepala daerah petahana
terhenti. Penentuan PLT ini dapat mempengaruhi dinamika politik lokal khususnya
pada konfigurasi kepartaian di pemerintah. Disisi lain dinamika politik lokal
juga berpengaruh terlebih bagaimana daya tawar petahana terhadap koalisi partai
pengusung untuk kembali berkuasa harus digenjot karena penundaan pilkada ini.
Tetapi situasi pandemi juga dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan bantuan
sosial agar dapat menggalang dukungan guna meraih kemenangan di Pilkada. Tetapi
jika kebijakan untuk menentukan PLT serius digalakkan, bukan tidak mungkin
jangka waktu yang dimanfaatkan PLT dapat untuk menarik simpati publik agar
memiliki daya tawar dan kekuatan yang cukup untuk bersaing di Pilkada. Disisi
lain hal ini juga dapat meminimalisir keberadaan calon tunggal dan berpotensi
menciptakan pilkada serentak yang kompetitif.
Dari
posisi-posisi seperti pemerintah dan institusi penyelenggara Pilkada,
sebetulnya terdapat 1 aktor yang krusial dan perlu dipertimbangkan dalam
perubahan jadwal Pilkada yakni pemilih itu sendiri. Dalam sistem demokrasi di
Indonesia Pemilih menjadi penentu terhadap siapa eksekutif yang bertanggung
jawab bagi mereka. Meskipun pelaksanaan demokrasi prosedural menghadapi
tantangan seperti ini, hak konstitusional pemilih perlu pula dipertimbangkan.
Contohnya adalah situasi kondusif bagi pemilih ditengah-tengah pandemik untuk
memilih. Secara teoritis menurut Huntington dan Nelson (1994) jika perekonomian
seseorang meningkat maka individu akan tertarik untuk memilih. Situasi pandemi
yang bisa dikatakan mengkacaukan perekonomian juga menimbulkan urungnya pemilih
untuk fokus dalam isu pemilihan ini. Sikap penyeleggaraan yang masih labil ini
juga membuat pemilih kebingungan. Imbasnya adalah jika pelaksanaan Pilkada tetap
dilaksanakan Desember 2019 ini, terdapat perubahan pada perilaku memilih
seseorang dan dapat membuat angka golput meningkat. Tantangan aktor Pilkada
tidak hanya pada masalah legitimasi dan penyelenggaraan semata tetapi pada
aspek konstituen juga perlu diakomodir.
Usulan
Regulasi
Sebelum
perubahan tanggal pelaksanaan Pilkada dari 23 September 2020 ke 9 Desember
2020, beberapa tahapan Pilkada sudah terlewat seperti penentuan PPK dan PPS, dan
pelaksanaan verifikasi syarat dukungan calon perseorangan. Jika ditanggal normal,
berdasarkan PKPU No. 15 Tahun 2019, seharusnya tahapan Pilkada seperti
penentuan PPK dan PPS yang dijadwalkan dari 1 Januari hingga 21 Maret 2020. Begitu
pula dengan pelaksanaan verifikasi syarat dukungan 24 hingga 26 April 2020.
Jika dikaitkan dengan teori Siklus Pemilu menurut International IDEA, terdapat
11 tahapan pemilu yang terdiri atas: 1) penentuan kerangka hukum seperti
konsitusi atau produk perundang-undangan pemilihan umum, 2) perencanaan dan
implementasi seperti penyediaan logistik dan keuangan pemilu, 3) pelatihan dan
pendidikan pemilih, 4) pendaftaran pemilih, kandidat, pemantau pemilu, dan
akses terhadap media, 5) kampanye pemilu, 6) teknis pemilu seperti penghitungan
suara dan rekapitulasi hasil, 7) verifikasi hasil pemilihan termasuk banding, gugatan,
audit, dan evaluasi, serta 8) pasca-pemilu. Namun, sampai saat ini
Penyelenggaraan Pilkada masih tersendat di tahapan pembuatan kerangka hukum
teknis seperti PKPU. Penulis berasumsi perubahan pada tahapan penyelenggaraan
Pilkada bisa saja masih mungkin berubah apabila kerangka hukum dan kesiapan
protokol kesehatan belum terpenuhi.
Untuk
mengusulkan sebuah regulasi yang harus diterapkan di era new normal penulis
akan memilih 3 tahapan dan regulasi yang menjadi usulan seperti, perencanaan
dan implementasi, pendidikan pemilih, dan kampanye pemilihan umum. Jika mengacu
pada situasi new normal yang mengharuskan beberapa pekerjaan yang harus
dikerjakan dari rumah. Tahapan yang terdekat untuk dilaksanakan adalah
Penentuan Adhoc, PPK, dan PPS atau sedang dalam tahapan perencanaan dan
implementasi. Regulasi mengenai rekrutmen PPK dan PPS dan KPPS sudah diatur
dalam PKPU No. 36 Tahun 2018. Jika mengacu pada penelitian Kesehatan,
orang-orang yang rentan terkena virus adalah orang-orang yang sudah memasuki
usia lanjut, atau orang-orang yang terkena penykit kronis seperti asma,
jantung, dll. Fenomena-fenomena yang terjadi sebelumnya adalah banyak petugas
PPK, PPS, dan KPPS yang bertugas di Pemilu 2019 silam yang berusia tua sehingga
dengan tugas mempersiapkan pemilu dengan 5 surat suara tidak memiliki tenaga dan
ketahanan fisik yang cukup. Pasal 36 PKPU No. 36 Tahun 2018 tersebut hanya
menyatakan bahwa minimal usia untuk menjadi anggota PPK, PPS atau KPPS adalah
17 tahun, dan tidak dijelaskan rentang tahunnya. Seharusnya perlu pula
dipertimbangkan rentang umur minimal misal 17-45 tahun yang tidak memungkinkan
lansia untuk terlibat. Di pasal 36 ayat 2 jika KPPS tidak dipenuhi di Tempat
Pemungutan Suara (TPS) yang bersangkutan, anggota KPPS dapat diambil dari
kelurahan desa terdekat. Menurut penulis ini juga perlu dibatasi, karena
menyangkut penyebaran virus jika diambil dari satu desa dan kelurahan dan
seharusnya fokus pada 1 kecamatan saja. Terakhir rekrutmen PPK ini juga terdiri
atas tahapan dari verifikasi berkas, seleksi tertulis berdasarkan pasal 7,
pasal 49, dan pasal 79. Didalamnya juga menyatakan bahwa yang terseleksi adalah
5-7 orang. Sedangkan penyeleksian terdapat 3 tahapan yaitu verifikasi
administrasi, tes tertulis dan wawancara. Menurut penulis meskipun yang dapat
mengikuti tes tertulis dan wawancara hanya 7 orang dan tidak melibatkan
berkumpulnya banyak orang sesuai dengan protokol kesehatan. Penulis kira
tahapan penyelenggaraan perlu juga untuk dibatasi hanya verifikasi administrasi
online dan wawancara secara online, jika KPU ingin tetap melaksanakan pilkada 9
Desember 2019. Sebagai tambahan, KPU juga perlu menambahkan aturan untuk
menyediakan surat hasil Tes Covid-19 dan juga keterangan sehat mengenai Riwayat
Penyakit calon PPK/PPS.
Tantangan tersulit
dalam penyelenggaraan Pilkada di era pandemi seperti ini adalah bagaimana
mengakomodir pemilih. Terlebih lagi dalam masa pandemi dan tingkat persebaran pandemik
Covid-19 yang terus meningkat, membuat banyak orang yang ragu untuk keluar
rumah. Pada PKPU No. 10 tahun 2018, pasal yang mengatur mengenai materi
sosialisasi cukup memadai. Tetapi yang perlu dikaji Kembali adalah sudah pasti
metode sosialisasi itu sendiri. Untuk mengakomodir hak dan kewajiban pemilih
sesuai dengan Pasal 19, maka perlu dipertimbangkan untuk mengurangi setiap
kegiatan forum tatap muka sesuai dengan
dan tetap memastikan bahwa informasi kepada pemilih juga sampai.
Contohnya dengan membuat live streaming sosialisasi Pilkada oleh KPU lalu PPK dan
TPS melakukan koordinasi kepada TPS TPS untuk menyebarkan link streamingnya.
Bisa juga melakukan sosialisasi dengan pertemuan langsung, tetapi pengunjungnya
dibatasi sisanya bisa melakukan streaming atau diakses melalui daring seperti
Google meet atau Zoom.
Tahapan ketiga adalah kampanye pemilihan yang juga menjadi tantangan tersendiri untuk masing-masing kandidat. Selama ini kampanye yang kita kenal adalah tatap muka, door to door dan penyebaran pamflet atau flyers. Meskipun masih belum diketahui kapan diselenggarakannya, tetapi perlu dipertimbangkan dari sekarang karena hal ini juga terkait dengan bertemunya banyak orang. Sampai saat ini kampanye media sosial masih dalam tahap pembahasan regulasi. Yang menjadi pertimbangan saat ini adalah seperti apa kontennya apakah mengandung unsur SARA? Mengenai Kampanye, diatur pada PKPU No. 4 Tahun 2017 yang didalamnya msih belum diatur secara detail terkait kampanye media sosial teknisnya sepeti apa dan apa muatannya. Penulis mengajukan agar muatannya harus berisi program dan tentunya tidak mengandung muatan SARA. Untuk substansi perlu diarahkan agar tidak melakukan bantuan sosial sembarangan yang berujung pada vote buying, terlebih lagi karena kasus covid-19 ini. Muatan Kampanye selain memperkenalkan kandidat juga perlu memberi pesan waspada Covid-19 di kampanye media sosialnya tanpa bermaksud memberikan pesan tersirat yang bersifat memberikan iming-iming imbalan.