KISP BERSILATURAHMI KE KPU DAN BAWASLU KOTA DEPOK

Dalam memantau jalannya tahapan Pilkada di Kota Depok, Tim Relawan Pemantauan Pilkada Kota Depok dari KISP melakukan silaturahmi dan audiensi bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Depok dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Depok. Hal ini bertujuan untuk melihat sejauh mana persiapan mengenai penyelenggaraan Pilkada di Kota Depok. Oleh karena itu, hasil kunjungan dan audiensi yang dilakukan pada hari Senin, tanggal 29 Juni 2020 menghasilkan beberapa poin diantaranya:

  1. Penyelenggaraan tahapan lanjutan Pilkada di Kota Depok berada pada tahapan pembentukan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) untuk melakukan Pencocokan dan Penelitian Data (Coklit) di Kota Depok. Adapun tahapan ini dilakukan secara offline dengan mencocokan data di RT/RW setempat tentunya dengan disertai beberapa protokoler kesehatan dan alat pelindung diri bagi yang bertugas sebagai PPDP.
  2. Pendidikan Pemilih harus dilakukan secara continue guna mencegah terjadinya potensi penurunan partisipasi pemilih dikarenakan Wabah Pandemik Covid-19. Pendidikan pemilih nantinya akan membantu proses pengawasan partisipatif dari masyarakat guna mencegah upaya-upaya pragmatis yang dapat dilakukan oleh peserta Pilkada semisal politik uang. Selain itu, Bawaslu Kota Depok juga berencana akan mengaktifkan Zona Integritas Pemilu (ZIP) di sebelas titik kecamatan yang ada di Kota Depok.
  3. KPU dan Bawaslu mendorong masyarakat sipil untuk terlibat dalam gelaran Pilkada terutama ikut memantau jalannya Pilkada saat ini. Peran masyarakat sipil dinilai begitu penting dalam melihat potensi pelanggaran yang akan terjadi nantinya. Sehingga upaya sinergitas antara penyelenggara dan masyarakat sipil dapat mewujudkan pemilihan yang free and fair untuk seluruh kalangan masyarakat.
Bersama Bawaslu Kota Depok
Bersama KPU Kota Depok

Dari catatan tersebut, Tim Relawan Pemantauan Pilkada Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) menilai bahwa penyelenggaraan Pilkada di Kota Depok dapat dikatakan siap dalam pelaksanaan tahapan lanjutan pilkada. Serta hal ini harus selalu memerhatikan keselamatan dan kesehatan warga negara diirngi dengan kelengkapan protokoler kesehatan bagi petugas penyelenggara.

Narahubung

Wildhan Khalyubi (081383956705)

Oleh: Muhammad Naufal Rofi

(Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)

Indonesia sebagai Negara demokrasi tentunya memiliki kewajiban untuk terus menjaga eksistensi dari adanya pemilihan para calon pejabat politik yang dalam jangka waktu tertentu terus memimpin berjalannya roda pemerintahan. Tentunya hal tersebut perlu dijadikan perhatian dengan mengingat keharusan Negara untuk melibatkan secara penuh partisipasi dari rakyat dalam menyelenggarakan pemilihan tersebut. Hal itu bukan saja diperhatikan untuk sekedar meramaikan panggung politik, namun sebagai suatu kewajiban Negara untuk menyukseskan pemilihan dengan salah satunya memberikan serta menjamin keamanan dalam hak memilih bagi rakyatnya.

Dalam berjalannya roda kepemimpinan dalam pemerintahan, sudah sepatutnya diperlukan regenerasi pemimpin. Regenerasi menjadi suatu hal yang penting mengingat konsep Negara demokrasi bukanlah melahirkan para pemimpin diktator sehingga menjalankan konsep Negara otoriter untuk semata-mata memenuhi hasrat politik golongan tertentu, namun konsep demokrasi ditunjukkan terhadap kemampuan rakyat pada Negara tersebut menjadi sebuah kekuatan yang berdaulat, sehingga muncul timbal balik serta hubungan yang sehat antara Negara dengan masyarakat. Begitu juga konsep kepemimpinan yang terdapat di Indonesia dengan mengutamakan musyawarah secara mufakat, sehingga segala pertimbangan yang terdapat di masyarakat dapat diterima oleh Negara. Kedaulatan berada di tangan rakyat, dimana Negara diharapkan berjalan sesuai dengan apa yang seluruh rakyat harapkan, Negara berdiri untuk menyelaraskan keinginan seluruh masyarakat sehingga diharapkan kebijakan yang diciptakan oleh pemerintah semata-mata untuk mensejahterakan masyarakatnya.

Kita mengenal di Indonesia dalam regenerasi kepemimpinan lingkungan pemerintahan memiliki beberapa jenis pemilihan umum, salah satunya adalah Pilkada. Suatu bentuk pemilihan terhadap kepala dan wakil kepala daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 ini menentukan kepala pimpinan dari wilayah di Indonesia setingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Di tahun 2020 ini masyarakat Indonesia akan kembali menyelenggarakan pesta demokrasi Pilkada pada bulan Desember mendatang namun dengan situasi yang kemungkinan berbeda dengan pemilihan-pemilihan sebelumnya. Dengan situasi terjadinya penyebaran wabah Covid-19 yang belum terselesaikan secara tuntas di dalam Negara kita, tentunya segala aktivitas kenegaraan maupun yang terdapat dalam masyarakat sangat terganggu terutama pelaksanaan Pilkada ini, sehingga menjadi pertanyaan untuk semua unsur masyarakat, mampukah Pilkada ini berhasil dilaksanakan dengan tetap memperhatikan kondisi demokrasi agar tetap sehat dan keselamatan jiwa masyarakat di tengah bahaya wabah yang terjadi ?

Kesehatan dan keselamatan manusia untuk Pilkada saat ini menjadi satu kunci tambahan dalam menyukseskan Pilkada 2020, disamping kunci utamanya adalah kesehatan dan keselamatan demokrasi.  Berbicara mampu atau tidak diselenggarakannya Pilkada 2020 ini menurut penulis terletak terhadap bagaimana kesiapan dalam manajemen prosedur pelaksanaan. Manajemen yang dimaksudkan diantaranya seperti :

  1. Menetapkan protokol Covid-19 dengan aturan yang ketat dan tegas. Panitia pelaksana pemilu diharuskan mampu untuk memberikan penjelasan secara intensif terhadap masyarakat mengenai aturan yang ditetapkan sesuai protokol yang ada baik sebelum pelaksanaan maupun saat pemilihan melalui sosialisasi dengan memanfaatkan media massa berupa media elektronik, cetak maupun melalui media online. Sosialisasi juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan peran dari komunitas-komunitas peduli pemilu dan demokrasi yang terdapat di kalangan akademisi maupun masyarakat secara umum. Sosialisasi diberikan sekaligus dengan melaksanakan simulasi mengenai bagaimana prosedur pelaksanaan Pilkada sesuai protokol, seperti memberikan pengetahuan berupa batas maksimal jumlah pemilih yang harus berada di TPS dalam jangka waktu tertentu, lalu bagaimana pengaturan jaga jarak yang harus dilakukan setiap pihak yang berada di TPS tersebut. Contoh tersebut merupakan cara bagaimana memberikan rasa aman dan nyaman bagi pemilih untuk berpartisipasi dalam menentukan hak suaranya, sehingga diharapkan pemilihan berjalan dengan baik.
  2. Menguatkan peran dari panitia pelaksana dan pengawas Pilkada. Pentingnya penguatan terhadap para stakeholder pelaksana dan pengawas pemilu pada Pilkada 2020 ini sebab mengingat kondisi pelaksanaan yang dikhawatirkan akan banyak terjadinya penyelewengan dibandingkan dengan saat situasi normal, ancaman tersebut dapat datang dari besar kemungkinan adanya politik uang, dengan kondisi di tengah pandemi jelas jika sektor perekonomian masyarakat sangat terpuruk, oleh karena itu masyarakat yang berada dalam kesulitan ekonomi memungkinkan menjadi sasaran pemanfaatan pemberian bantuan sosial yang terselubung dalam program Covid-19 berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) ataupun sembako di masing-masing daerah. Ancaman lain juga datang dari kemungkinan penyalahgunaan regulasi terkait pelaksanaan Pilkada karena keterbatasan ruang untuk melakukan pengawasan sehingga berpengaruh terhadap terbatasnya proses penanganan dugaan pelanggaran. Penguatan peran ini dapat dilaksanakan dengan memperhatikan betul regulasi yang ditetapkan untuk mengawasi dan menindak secara tegas adanya tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh calon paslon ataupun tim suksesnya melalui bantuan pengawasan dari masyarakat serta memanfaatkan peran sosial media, seperti Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR!).
  3. Pemerintah harus mampu memaksimalkan perannya dalam mencegah peningkatan kasus Covid-19. Bagaimanapun dengan kondisi saat ini, TPS dianggap sebagai sebuah ‘calon’ baru dari episentrum nasional penyebaran wabah Covid-19, sehingga justru jika pemerintah dalam hal ini panitia penyelenggara pemilu tidak mampu memberikan kepercayaan terhadap masyarakat dalam hal keamanan dan kesehatan, dikhawatirkan sikap skeptisme yang ada dalam masyarakat akan timbul dalam skala lebih besar. Situasi di tengah pandemi saat ini membuat Pilkada yang akan dilaksanakan menjadi tidak prioritas, sebab masyarakat akan lebih fokus kepada pemulihan ekonomi mereka, tuntutan kepada pemerintah pun bukan dalam persoalan pergantian pemimpin daerah mereka, namun kepada urusan kebutuhan hidup mereka. Sehingga wajar jika salah satu kewajiban dalam demokrasi ini tidak dipedulikan. Oleh karena itu, penting bagi Pemerintah bisa memberikan kepastian dengan bertindak secara lebih baik lagi dalam memutus permasalahan wabah Covid-19 ini.

Berhasil atau tidaknya pelaksanaan Pilkada 2020 ini tergantung kepada kesiapan Pemerintah sebagai penyelenggara dan masyarakat sebagai pelaksana. Bagaimana manajemen yang seharusnya dilaksanakan Pemerintah dengan tetap memperhatikan kesehatan, keselamatan demokrasi dan manusia. Pengawasan lebih ketat harus dijadikan kunci dalam Pilkada 2020 ini dengan tetap berorientasi terhadap aturan protokol kesehatan yang ada. Tugas bersama bagi kita untuk tetap sehat dalam berdemokrasi dan saling menjaga keselamatan jiwa di tengah pandemi.

KISP MENDORONG AKSESIBILITAS PILKADA 2020 BAGI DIFABEL

Dalam menyambut Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) Serentak 2020 yang rencananya diselenggarakan di tengah kondisi pandemi covid-19, Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) menyelenggarakan Diskusi Daring bertajuk “Ngaji Pemilu #5: Pilkada di Tengah Pandemi Covid-19 dan Aksesibilitas bagi Pemilih Difabel #Awaspilkadarawan”. Diskusi diselenggarakan melalui aplikasi Zoom pada Sabtu (27/6).

Ngaji Pemilu #5 merupakan rangkaian agenda Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) dalam mengawal proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. KISP merupakan salah satu organisasi yang memiliki konsentrasi dalam isu pemilu dan demokrasi, serta terus mengedepankan kepedulian dalam pengawalan proses pelaksanaan Pilkada Serentak yang akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Pengawalan secara konsisten dilakukan bertujuan agar dapat terciptanya pelaksanaan Pilkada yang berkualitas.

Dalam diskusi kali ini, KISP menghadirkan empat pembicara diantaranya: Sadar Narimo (DPRD DIY), M. Amir Nashiruddin (BAWASLU DIY), Moh. Zaenuri Ikhsan (KPU DIY), dan KISP juga menghadirkan seorang aktivis pengawal isu disabilitas dari Sarana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel yang diwakili oleh Ajiwan Arief Hendrardi.

Menurut Moch Edward Trias Pahlevi selaku Koordinator Umum KISP, Ngaji Pemilu #5 KISP mengangkat isu berkaitan dengan pemilih difabel karena isu ini masih dipandang sebelah mata dengan isu-isu lainnya. Diskusi ini dilaksanakan pada momentum yang sangat tepat dikarenakan tahapan coklit (cocok data pemilih) akan dilaksanakan pada bulan juli mendatang, maka pemetaan terkait daftar pemilih bagi penyadang difabel sangat penting dalam menciptakan pemilihan yang inklusif. Serta bagaiamana cara pelibatan para penyandang difabel dalam ikut menjadi relawan maupun sebagai penyelenggara di tingkat ad hoc.

Dalam situasi pelaksanaan Pilkada di tengah pandemi Covid-19, pemilih difabel sangat rentan terinfeksi Covid-19.  Menurut organisasi kesehatan dunia, disalibilitas merupakan salah satu kelompok rentan dalam masa pandemi Covid – 19. Hal ini karena difabel memiliki kerentanan lebih terpapar Covid-19. Ada beberapa sebab yaitu; Pertama, tempat cuci tangan kemungkinan tidak aksesibel. Kedua, difabel tertantu sulit menjaga jarak dengan orang lain karena selalu butuh bantuan (pendamping). Ketiga, difabel netra sangat rentan karena selalu meraba atau menyentuh  untuk mengetahui sesuatu. Maka ketiga hal ini perlu menjadi perhatian khusus penyelenggara pemilu untuk menyiapkan standart protokol kesehatan yang memadai nantinya dalam pemungutan suara di 9 Desember 2020.

Selain itu, difabel juga merupakan salah satu kelompok rentan yang sangat merasakan dampak pandemi Cobid-19. Berdasarkan hasil assessment cepat jaringan organisasi difabel respons Covid-19, menunjukan bahwa mayoritas difabel bekerja disektor informal dan sangat terdampak oleh Covid-19. Banyak diantara mereka yang bahkan tidak berpenghasian selama Covid-19. Kemiskinan yang menimpa difabel, sangat rentan dimanfaatkan pihak tak bertanggungjawab jelang pilkada. Hal ini karena rawan money politik dan suap jelang pilkada.

Dalam kontestasi demokrasi, isu pemilih difabel menjadi isu yang jarang menjadi fokus dalam diskursus kepemiluan. Padahal, selain memiliki hak memilih, penyandang disalibitas memiliki hak-hak khusus yang harus dipenuhi untuk menunjang mereka menggunakan hak suara. Hak itu antara lain: Hak mendapat pendataan khusus, hak Mendapat Sosialisasi Pemilu, hak mendapat TPS yang Sesuai dan aksesibel, hak mendapat surat suara khusus, dan hak mendapat pendampingan.

KISP menemukan ada beberapa catatan penting hambatan pemilih difabel dalam diskusi Ngaji Pemilu #5 ialah

  1. Memiliki hambatan untuk mengakses informasi terkait pemilihan
  2. Sosialisasi kurang masif dilakukan
  3. Diabaikan oleh stakeholder dan pemerihtah setempat
  4. Data difabel tidak ada, tidak valid
  5. Tempat memilih tidak aksesibel
  6. Pemilihan tidak ramah difabel
  7. Ketidakpercayaan kepada petugas

Ke empat pembicara juga memberikan pandangannya terkait permasalahan isu disalibitalitas dalam Pilkada Serentak mendatang.

Moh. Zaenuri Ikhsan selaku perwakilan dari KPU DIY menekankan pentingnya pendataan khusus pemilih difabel dengan mengajak kolaborasi elemen civil society, terkhusus SIGAP selaku LSM yang fokus pada isu difabel. “Ragam difabel mesti didata guna penyelenggara melihat dan memberikan fasilitas dan upaya terhadap pemilih difabel. Perlu adanya sinkronisasi antara data difabel yang dimiliki oleh KPU DIY dengan Sigab agar adanya kesesuaian dan keakuratan data.” Terang Zaenuri

Hal senada juga diungkapkan M. Amir Nashiruddin selaku perwakilan dari Bawaslu DIY, ia menerangkan bahwa Implementasi dilapangan perlu dikoordinasikan dengan masyarakat sipil agar tidak terjadinya perbedaan data. Dalam konsolidasi data, ini menjadi titik krusial guna menentukan seseorang termasuk pemilih atau tidak.

Dalam kesempatan yang sama, Sadar Narimo perwakilan dari DPRD DIY mengungkapkan pentingnya pengakomodasian sarana dan prasarana di TPS agar disiapkan dengan matang oleh penyelenggara.

Sementara itu, Ajiwan Arief selaku perwakilan dari SIGAB mengungkapkan lebih kepada kerawanan kondisi Pandemi Covid-19. “Dalam Pilkada pemilih difabel berpotensi lebih dapat terpapar dengan virus covid-19. Hal itu dilihat dari bebeapa faktor ialah pertama, tempat cuci tangan tidak aksesibel terutama bagi teman-teman yang menggunakan kursi roda atau teman-teman tuna netra. Kedua, jarak antrian di TPS yang menjadi perhatian khusus bagi teman-teman difabel. Ketiga, difabel netra memiliki kesulitan dalam mengetahui sesuatu yang mesti diraba terlebih dahulu. Keempat, yakni terbatasnya akses informasi yang begitu terbatas. Ini menjadi permasalahan umum yang sering didapati.” Ungkap Ajiwan Arief.

Harapannya, rembuk gagasan dan opini dalam diskusi ini bisa menambah kesadaran semua pihak akan pentingnya pemenuhan hak disalibitas pada Pilkada yang diselenggarakan di Tengah Pandemi ini. Sehingga, seluruh pemangku kepentingan menjadikan isu pemenuhan hak difabel dalam Pilkada Serentak sebagai prioritas.

Materi Ngaji Pemilu 5: Pilkada di Tengah Pandemi Covid-19 dan Aksesibilitas Bagi Pemilih Difabel

Berikut Mater Ngaji Pemilu 5: Pilkada di tengah pandemi Covid-19 dan aksesibilitas bagi pemilih difabel. Materi ini merupakan materi yang disampaikan oleh Bapak Moh. Zaenuri Ikhsan (KPU DIY Divisi Teknis) dan BapakAjiwan Arief Hendardi (Staf Media Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel serta Redaktur Media Solider.id).

Materi dapat diunduh di bawah ini

DILEMA PILKADA SERENTAK 2020 DITENGAH WABAH COVID-19: ANTARA PREFERENSI KEKUASAAN ATAU KESEHATAN MASYARAKAT

Oleh: Fikri Ardiyansyah

(Mahasiswa Tata Kelola Pemilu, Magister Ilmu Politik, Universitas Indonesia)

Dengan melihat banyaknya kasus Covid di Indonesia. Pemerintah khususnya Komisi II DPR RI Bersama kementerian dalam negeri, KPU, Bawaslu dan DKPP pada 27 Mei 2020. Hasil dari rapat tersebut pemilu tetap diselenggarakan pada 9 desember 2020 dengan aturan yang ketat dan protokol kesehatan yang memadai. Dari rapat tersebut mengartikan bahwa pilkada pada 9 desember 2020 mau tak mau harus tetap dilakukan walaupun disisi lain kita tidak menjamin bahwa covid-19 pada tahun depan bisa mereda begitu saja. Akan tetapi yang menjadi kendala apabila diadakan pemilu 9 desember 2020 tentu haruslah disertai dengan protokoler kesehatan seperti masker, hand sanitaizer, serta alat pelindung diri lainnya. Hal ini guna mencegah terpaparnya virus Covid-19 yang nantinya bisa saja menimbulkan cluster baru. Masalah lanjutannya ialah karena budget yang dibutuhkan tidaklah sedikit untuk menyiapkan semua itu. Ini merupakan konsekuensi logis apabila Pilkada tetap dilaksanakan ditengah pandemik Covid-19. Penyelenggaraan Pilkada haruslah memerhatikan aspek keselamatan warga negara, dalam hal ini pemilih, peserta, dan penyelenggara. Oleh sebab itu manajemen kesehatan menjadi tuntutan yang perlu diterapkan pada pemilu 2020 terutama dengan memerhatikan lansia sebagai variabel.

Kerawanan Pilkada

Di lain hal, dengan adanya Pilkada 9 desember nanti incumbent menjadi pihak yang setidaknya diuntungkan dalam aspek kontestasi. Bukan tanpa alasan, penyelewengan kekuasaan dengan dalih bantuan sosial bisa saja berpotensi terjadi, bahkan ragamnya akan lebih meluas. Sehingga pengawsan pencegahan dan penindakan pada aspek ini perlu diperhatikan khusus baik itu melalui kerangka hukum pilkada atau kerangka hukum lainnya. Ini yang sebenarnya menjadi kerawanan Pilkada, dimana akan banyak pihak yang menggunakan anggaran negara untuk kepentingan kontestasi elektoralnya. Diperlukannya kerangka hukum yang didalamnya meliputi pengawasan, pencegahan, dan penindakan ekstra bagi Bawaslu untuk mengawasi setiap tahapan yang dinilai rawan.

Kemudian, pada tahapan pencocokan dan penelitian (Coklit) juga perlu diperhatikan karena pada tahapan ini tentunya berhubungan langsung dengan data pemilih yang akan digunakan untuk dijadikan DPT. Apabila ada kesalahan dalam hal input data maka akan berdampak langsung dengan DPT. Ini tentu sulit dilakukan pada masa ditengah pandemik Covid-19 ini, karena mengingat setiap kepala keluarga membatasi setiap tamu untuk berkunjung ke rumahnya maka akan sulit untuk pengambilan data langsung ke masyarakat. Justru nanti yang ada malah Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) hanya menempel stiker dan meminta data kepada RT atau RW atau bahkan kepada lingkup petugas TPS setempat untuk diambil data. hal ini sebenarnya bisa dilakukan namun data yang diberikan oleh pihak ketiga tersebut bisa saja meleset. Hal itu dikarenakan keakuratan dan keaktualan data tentu dipertanyakan. Oleh sebab itu perlu regulasi yang tepat untuk melakukan coklit dengan protokol kesehatan yang baik dan disertai dengan sosialisasi secara massif. pengambilan data dimasa covid ini sangat sulit jika menggunakan sistem door to door. Asumsi penulis akan banyak penolakan dimana-mana mengingat kewaspadaan akan kesehatan setiap individu. Oleh sebab itu perlu dilakukan sosialisasi serta kepastian protokol kesehatan baik bagi petugas atau pun warga yang dimintai data.

Penyelenggaraan Pilkada ditengah situasi pandemik dinilai begitu riskan. Berbeda halnya dengan Korea Selatan dimana mereka tahapan pemilihan hanya tinggal melakukan pemungutan suara. Jika membandingkan dengan Indonesia, tentu masih sangat banyak tahapan Pemilu/Pilkada yang harus dilewati agar bisa menyelenggarakan pemungutan suara. Hal ini yang menjadi beban tersendiri bagi penyelenggara khususnya KPU dan Bawaslu yang harus mempersiapkan segalanya dengan keterbatasan waktu yang ada. Sama halnya dengan dua penyelenggara tersebut, DKPP juga akan menjadi pihak yang mengalami banyak pengaduan mengenai pelanggaran Pilkada. Hal itu dikarenakan Pilkada tahun ini begitu kompleks dengan waktu yang terbatas dan tingkat kerawanan yang juga akan meningkat.

Penulis menilai bahwa pelaksanaan Pilkada di tanggal 9 Desember merupakan keputusan yang sulit serta harus memerhatikan segala aspek. Apabila ini dipaksakan tentu harus mengeluarkan biaya tidak sedikit untuk memenuhi protokol kesehatan. Sekali lagi, keselamatan warga negara merupakan hal yang sangat penting. KPU melalui PKPU-nya perlu menyusun regulasi teknis yang tepat dengan memerhatikan segala aspek dan resiko guna mencegah penyebaran Covid-19.

Yang Setidaknya Harus Dilakukan

Penulis berpendapat mengenai berbagai tahapan. Pertama kegiatan pencocokan dan penelitian kegiatan pencocokan dan penelitian (coklit) yang akan dimulai pada 6 Juli-25 Juli 2020. Kegiatan coklit ini dilakukan dengan cara mencoret data pemilih yang telah dipastikan tidak ada keberadaannya setelah melakukan konfirmasi kepada keluarga, tetangga atau pengurus rukun tetangga/rukun warga. Hal ini menjadi kendala ketika dimasa covid karna akan berpotensi banyaknya warga yang menolak untuk dikunjungi ke rumah masing-masing karena takut tertular covid. Oleh sebab itu KPU harus merumuskan cara agar proses coklit bisa dijalankan dengan baik. Hemat pandangan penulis langkah yang paling mudah untuk dilakukan dalam mengindari adanya penyebaran covid-19 salah satunya dengan menekankan terus sosialisasi serta memberikan himbauan terlebih dahulu kepada warga yang akan dicoklit untuk melengkapi diri dengan alat kesehatan. Begitu pun dengan pihak PPDP yang juga diharuskan membekali diri dengan protokol kesehatan.

Sebenarnya pihak KPU sudah melakukan inovasi untuk pemutahin data dengan melakukan e-coklit dengan sistem berbasis kepada internet namun dari hasil pengamatan beberapa ahli bahwa sistem e-coklit rentan tak akurat karena hanya melibatkan RT saja. Oleh karena itu menurut penulis peran petugas dilapangan juga diperlukan untuk memastikan anggota keluarga yang berada di rumah tersebut

Kedua tahapan pemungutan suara, proses ini dilakukan pada saat 9 desember 2020. Tahapan ini merupakan yang paling rawan dari semua tahapan karena disini ada aktifitas perkumpulan massa yang cukup banyak untuk melakukan pemungutan suara. Langkah yang harus dilakukan oleh pihak KPU nantinya menyiapkan alat kesehatan berupa hand sanitizer pada pintu masuk TPS. Hal ini juga harus disertai aturan khusus bagi para pemilih yakni berupa wajib mencuci tangan sebelum masuk ke TPS. Selain itu harus dibuat jarak tempat duduk antar warga agar tidak berdekatan dan berdempetan. Dalam pemungutan suara harus juga dipertegas mengenai garis antrian yang kerap menimbulkan perkumpulan massa. Hal itu bertujuan untuk meminimalisir kerumunan yang ada di TPS. Perlu dibuat protokol keamanan yang ketat pada saat pemungutan suara serta diberikan nomor urut kepada pemilih agar tidak menimbulkan adanya lagi kerumunan di TPS.    

Produksi dan pendistribusian Logistik pemilu yang dilakukan pada 24 september – 8 desember 2020, tahapan ini merupakan tahapan yang sangat rawan karena melibatkan banyak pihak yang terlibat pada proses ini mulai dari vendor hingga penyelenggara Pilkada. Oleh sebab itu diperlukan regulasi mengenai aturan tentang produksi dan pendistribusian logistik pemilu dengan memerhatikan risk assignment dan ketepatan waktu. Selain itu, pada saat pendistribusian logistik juga diperlukan protokol kesehatan yang ketat. Dimulai dengan menggunakan sarung tangan, masker dan hand sanitaizer. Sehingga penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) diharuskan tersedia dalam pendistribusian logistik ini. Bukan tanpa alasan, pendistribusian logistik nantinya akan memasuki wilayah yang rawan dari terpaparnya Covid-19.

Jadi dapat disimpulkan bahwa dengan adanya regulasi yang direkomendasikan oleh penulis. Maka penulis rasa Pilkada bisa dilaksanakan. Akan tetapi hal ini disertai dengan perlunya anggaran tambahan guna memenuhi perlengkapan kesehatan seperti masker dan hand sanitaizer di setiap TPS. Namun dengan kondisi negara yang seperti ini masih sangat sulit melakukan hal tersebut karena pendapatan negara juga menurun akibat covid-19. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan normalisasi terhadap keuangan negara dan tidak tergesa-gesa dalam melaksanakan Pilkada apabila angka kasus Covid-19 tidak menurun dan justru malah semakin bertambah.

TANTANGAN DAN KONSEKUENSI PILKADA DITENGAH PANDEMIK COVID-19

Oleh: Christian Deswinta

(Mahasiswa Tata Kelola Pemilu, Magister Ilmu Politik, Universitas Indonesia)

Sesuai jadwal yang seharusnya yaitu tanggal 23 September 2020 akan dilaksanakan pilkada serentak di 270 daerah yang dirinci menjadi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota seperti Sumatera Barat, Jambi, Medan, Depok, Kabupaten Bandung, dan lainnya. Tetapi karena pandemi Corona Virus Disease-19 yang muncul awalnya di Wuhan pada bulan Desember 2019, kemudian mewabah ke negara Eropa seperti Italia, begitu pula Amerika Serikat. Wabah ini mulai masuk ke Indonesia di akhir bulan maret dengan 2 orang Depok yang menjadi kasus pertama. Imbasnya, pandemik COVID-19 tidak hanya menembus ruang kehidupan sosial dan jatuhnya perekonomian. Pandemik ini juga bahkan mengganggu proses elektoral di tingkat daerah terutama dalam penjadwalan pelaksanaan pemilihan kepala daerahnya. Akibatnya ini berakibat pada penundaan tahapan pilkada untuk sementara waktu.

Pada mulanya terdapat 3 opsi penundaan pilkada sebelum putusan yang menyelenggarakan pilkada serentak pada 9 Desember 2020 disahkan. Pertama, opsi penundaan ke tanggal 9 Desember 2020 tetapi itu bergantung pada pra-pemungutan suara yang bisa dimulai pada Mei atau Juni 2020. Opsi kedua Penundaan diarahkan ke tanggal 17 Maret 2021 atau 6 bulan dari jadwal awal yang telah ditentukan. Ketiga, lebih jauh lagi diarahkan 1 tahun kemudian tepatnya tanggal 29 September 2021. Siapapun khususnya instansi seperti KPU, Bawaslu, DKPP, DPR dan Pemerintah memiliki pandangan yang berbeda mengenai ketiga opsi tersebut. Namun pada akhirnya telah diputuskan bahwa penyelenggaraan pilkada menggunakan opsi pertama. Pengambilan keputusan pemerintah terhadap opsi pertama banyak pihak yang menilai hanya dilandasi oleh optimisme pemerintah semata. Padahal keputusan tersebut bergantung pula pada perkembangan situasi pandemik. Optimisme yang dinyatakan oleh pemerintah bukan tanpa dasar, karena melihat penyelenggaraan pemilihan yang diselenggarakan di berbagai Negara seperti, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Prancis yang tetap berjalan meskipun ditunda.

Pada kenyataannya setiap hari perkembangan wabah ini meningkat sangat signifikan, sampai per-tanggal 10 Juni 2019. Kasus positif COVID-19 bertambah sekitar 30.000 orang. Karena wabah pandemik ini tidak dapat dipastikan peningkatannya, dan vaksin sampai sekarang belumlah ditemukan maka timbulah banyak kecemasan dari berbagai pihak mengenai penundaan Pilkada yang dianggap terlalu prematur ini. Padahal Legitimasi mengenai pelaksanaan sudah dikeluarkan oleh presiden melalui Perppu No. 2 Tahun 2020 yang ditandatangani oleh presiden tanggal 5 Mei 2020. Jika ditarik pada produk perundang-undangan sebetulnya perubahan pada tahapan pilkada itu bersifat parsial berdasarkan UU No. 10 tahun 2016, atau dengan kata lain tahapan pilkada pengajuan perubahannya bergantung pada daerahnya masing-masing jika suatu daerah memiliki kegentingan tertentu yang mengharuskan tahapan pilkadanya ditunda. Tetapi karena permasalahan Covid ini bersifat nasional dan berpengaruh pada pilkada serentak mengharuskan Presiden mengeluarkan Perppu, guna mempunyai legitimasi yang kuat.

Tantangan dan Konsekuensi

Membahas mengenai penundaan pilkada karena pandemik yang bisa dikatakan menjadi hal yang tak terduga bagi penyelenggara Pilkada. Terutama hal ini menimbulkan tantangan dan bahkan menimbulkan konsekuensi tersendiri. Sudah pasti adalah terbengkalainya tahapan awal Pilkada seperti pendaftaran pemilih dan pendaftaran calon, begitu pula dengan ketidakpastian kapan pandemik akan berakhir. Oleh karena itu KPU perlu dituntut kesiapannya dan fleksibilitasnya dalam melaksanakan 4 tahapan tertunda seperti pelantikan panitia pemungutan suara (PPS), verifikasi syarat dukungan calon perseorangan, hingga pembentukan petugas pemutahkiran data pemilih jika terjadi perubahan dalam pelaksanaan pilkada. Aspek kesiapan KPU juga dapat teruji dari penyediaan anggaran. Dikarenakan Covid-19 menimbulkan dampak yang signifikan terhadap perekonomian, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi KPU untuk memanfaatkan APBN atau APBD. Hingga hari ini berdasarkan keputusan Rapat Dengar Pendapat (RDP), wacana yang muncul di Komisi II DPR RI akan ada penambahan anggaran demi menyesuaikan dengan protokol kesehatan. Kebutuhan protocol kesehatan diperkuat dengan adanya surat rekomendasi dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Pada akhirnya seluruh tahapan Pilkada baik kampanye, penghitungan suara, pendaftaran calon, dan lain-lain, harus disesuaikan dengan protokol Kesehatan yang ada

Pada posisi administrasi dan pemerintahan hal ini menimbulkan pro dan kontra tersendiri. Karena jika pilkada ditunda otomatis setiap daerah harus mempersiapkan Pelaksana Tugas (PLT) nya untuk mengisi kekosongan jabatan setelah periode kepala daerah petahana terhenti. Penentuan PLT ini dapat mempengaruhi dinamika politik lokal khususnya pada konfigurasi kepartaian di pemerintah. Disisi lain dinamika politik lokal juga berpengaruh terlebih bagaimana daya tawar petahana terhadap koalisi partai pengusung untuk kembali berkuasa harus digenjot karena penundaan pilkada ini. Tetapi situasi pandemi juga dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan bantuan sosial agar dapat menggalang dukungan guna meraih kemenangan di Pilkada. Tetapi jika kebijakan untuk menentukan PLT serius digalakkan, bukan tidak mungkin jangka waktu yang dimanfaatkan PLT dapat untuk menarik simpati publik agar memiliki daya tawar dan kekuatan yang cukup untuk bersaing di Pilkada. Disisi lain hal ini juga dapat meminimalisir keberadaan calon tunggal dan berpotensi menciptakan pilkada serentak yang kompetitif.

Dari posisi-posisi seperti pemerintah dan institusi penyelenggara Pilkada, sebetulnya terdapat 1 aktor yang krusial dan perlu dipertimbangkan dalam perubahan jadwal Pilkada yakni pemilih itu sendiri. Dalam sistem demokrasi di Indonesia Pemilih menjadi penentu terhadap siapa eksekutif yang bertanggung jawab bagi mereka. Meskipun pelaksanaan demokrasi prosedural menghadapi tantangan seperti ini, hak konstitusional pemilih perlu pula dipertimbangkan. Contohnya adalah situasi kondusif bagi pemilih ditengah-tengah pandemik untuk memilih. Secara teoritis menurut Huntington dan Nelson (1994) jika perekonomian seseorang meningkat maka individu akan tertarik untuk memilih. Situasi pandemi yang bisa dikatakan mengkacaukan perekonomian juga menimbulkan urungnya pemilih untuk fokus dalam isu pemilihan ini. Sikap penyeleggaraan yang masih labil ini juga membuat pemilih kebingungan. Imbasnya adalah jika pelaksanaan Pilkada tetap dilaksanakan Desember 2019 ini, terdapat perubahan pada perilaku memilih seseorang dan dapat membuat angka golput meningkat. Tantangan aktor Pilkada tidak hanya pada masalah legitimasi dan penyelenggaraan semata tetapi pada aspek konstituen juga perlu diakomodir.

Usulan Regulasi

Sebelum perubahan tanggal pelaksanaan Pilkada dari 23 September 2020 ke 9 Desember 2020, beberapa tahapan Pilkada sudah terlewat seperti penentuan PPK dan PPS, dan pelaksanaan verifikasi syarat dukungan calon perseorangan. Jika ditanggal normal, berdasarkan PKPU No. 15 Tahun 2019, seharusnya tahapan Pilkada seperti penentuan PPK dan PPS yang dijadwalkan dari 1 Januari hingga 21 Maret 2020. Begitu pula dengan pelaksanaan verifikasi syarat dukungan 24 hingga 26 April 2020. Jika dikaitkan dengan teori Siklus Pemilu menurut International IDEA, terdapat 11 tahapan pemilu yang terdiri atas: 1) penentuan kerangka hukum seperti konsitusi atau produk perundang-undangan pemilihan umum, 2) perencanaan dan implementasi seperti penyediaan logistik dan keuangan pemilu, 3) pelatihan dan pendidikan pemilih, 4) pendaftaran pemilih, kandidat, pemantau pemilu, dan akses terhadap media, 5) kampanye pemilu, 6) teknis pemilu seperti penghitungan suara dan rekapitulasi hasil, 7) verifikasi hasil pemilihan termasuk banding, gugatan, audit, dan evaluasi, serta 8) pasca-pemilu. Namun, sampai saat ini Penyelenggaraan Pilkada masih tersendat di tahapan pembuatan kerangka hukum teknis seperti PKPU. Penulis berasumsi perubahan pada tahapan penyelenggaraan Pilkada bisa saja masih mungkin berubah apabila kerangka hukum dan kesiapan protokol kesehatan belum terpenuhi.       

Untuk mengusulkan sebuah regulasi yang harus diterapkan di era new normal penulis akan memilih 3 tahapan dan regulasi yang menjadi usulan seperti, perencanaan dan implementasi, pendidikan pemilih, dan kampanye pemilihan umum. Jika mengacu pada situasi new normal yang mengharuskan beberapa pekerjaan yang harus dikerjakan dari rumah. Tahapan yang terdekat untuk dilaksanakan adalah Penentuan Adhoc, PPK, dan PPS atau sedang dalam tahapan perencanaan dan implementasi. Regulasi mengenai rekrutmen PPK dan PPS dan KPPS sudah diatur dalam PKPU No. 36 Tahun 2018. Jika mengacu pada penelitian Kesehatan, orang-orang yang rentan terkena virus adalah orang-orang yang sudah memasuki usia lanjut, atau orang-orang yang terkena penykit kronis seperti asma, jantung, dll. Fenomena-fenomena yang terjadi sebelumnya adalah banyak petugas PPK, PPS, dan KPPS yang bertugas di Pemilu 2019 silam yang berusia tua sehingga dengan tugas mempersiapkan pemilu dengan 5 surat suara tidak memiliki tenaga dan ketahanan fisik yang cukup. Pasal 36 PKPU No. 36 Tahun 2018 tersebut hanya menyatakan bahwa minimal usia untuk menjadi anggota PPK, PPS atau KPPS adalah 17 tahun, dan tidak dijelaskan rentang tahunnya. Seharusnya perlu pula dipertimbangkan rentang umur minimal misal 17-45 tahun yang tidak memungkinkan lansia untuk terlibat. Di pasal 36 ayat 2 jika KPPS tidak dipenuhi di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang bersangkutan, anggota KPPS dapat diambil dari kelurahan desa terdekat. Menurut penulis ini juga perlu dibatasi, karena menyangkut penyebaran virus jika diambil dari satu desa dan kelurahan dan seharusnya fokus pada 1 kecamatan saja. Terakhir rekrutmen PPK ini juga terdiri atas tahapan dari verifikasi berkas, seleksi tertulis berdasarkan pasal 7, pasal 49, dan pasal 79. Didalamnya juga menyatakan bahwa yang terseleksi adalah 5-7 orang. Sedangkan penyeleksian terdapat 3 tahapan yaitu verifikasi administrasi, tes tertulis dan wawancara. Menurut penulis meskipun yang dapat mengikuti tes tertulis dan wawancara hanya 7 orang dan tidak melibatkan berkumpulnya banyak orang sesuai dengan protokol kesehatan. Penulis kira tahapan penyelenggaraan perlu juga untuk dibatasi hanya verifikasi administrasi online dan wawancara secara online, jika KPU ingin tetap melaksanakan pilkada 9 Desember 2019. Sebagai tambahan, KPU juga perlu menambahkan aturan untuk menyediakan surat hasil Tes Covid-19 dan juga keterangan sehat mengenai Riwayat Penyakit calon PPK/PPS.

Tantangan tersulit dalam penyelenggaraan Pilkada di era pandemi seperti ini adalah bagaimana mengakomodir pemilih. Terlebih lagi dalam masa pandemi dan tingkat persebaran pandemik Covid-19 yang terus meningkat, membuat banyak orang yang ragu untuk keluar rumah. Pada PKPU No. 10 tahun 2018, pasal yang mengatur mengenai materi sosialisasi cukup memadai. Tetapi yang perlu dikaji Kembali adalah sudah pasti metode sosialisasi itu sendiri. Untuk mengakomodir hak dan kewajiban pemilih sesuai dengan Pasal 19, maka perlu dipertimbangkan untuk mengurangi setiap kegiatan forum tatap muka sesuai dengan  dan tetap memastikan bahwa informasi kepada pemilih juga sampai. Contohnya dengan membuat live streaming sosialisasi Pilkada oleh KPU lalu PPK dan TPS melakukan koordinasi kepada TPS TPS untuk menyebarkan link streamingnya. Bisa juga melakukan sosialisasi dengan pertemuan langsung, tetapi pengunjungnya dibatasi sisanya bisa melakukan streaming atau diakses melalui daring seperti Google meet atau Zoom.

Tahapan ketiga adalah kampanye pemilihan yang juga menjadi tantangan tersendiri untuk masing-masing kandidat. Selama ini kampanye yang kita kenal adalah tatap muka, door to door dan penyebaran pamflet atau flyers. Meskipun masih belum diketahui kapan diselenggarakannya, tetapi perlu dipertimbangkan dari sekarang karena hal ini juga terkait dengan bertemunya banyak orang. Sampai saat ini kampanye media sosial masih dalam tahap pembahasan regulasi. Yang menjadi pertimbangan saat ini adalah seperti apa kontennya apakah mengandung unsur SARA? Mengenai Kampanye, diatur pada PKPU No. 4 Tahun 2017 yang didalamnya msih belum diatur secara detail terkait kampanye media sosial teknisnya sepeti apa dan apa muatannya. Penulis mengajukan agar muatannya harus berisi program dan tentunya tidak mengandung muatan SARA. Untuk substansi perlu diarahkan agar tidak melakukan bantuan sosial sembarangan yang berujung pada vote buying, terlebih lagi karena kasus covid-19 ini. Muatan Kampanye selain memperkenalkan kandidat juga perlu memberi pesan waspada Covid-19 di kampanye media sosialnya tanpa bermaksud memberikan pesan tersirat yang bersifat memberikan iming-iming imbalan.

9 DESEMBER KITA PILKADA

Oleh: Fajar Randi Yogananda

(Komisioner KPU Kota Pekalongan)

Estela menjalani rangkaian Rapat Dengar Pendapat (RDP), tepat pada tanggal 12 Juni 2020, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) akhirnya menerbitkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga PKPU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2020. Serta Keputusan KPU RI Nomor 258/PL.02-Kpt/01/KPU/VI/2020, tertanggal 15 Juni 2020 Tentang Penetapan Pelaksanaan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Wali Kota Dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan Tahun 2020.

PKPU dan Keputusan tersebut menjadi landasan hukum bagi Bagi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Tahun 2020, untuk melanjutkan kembali tahapan-tahapan yang sempat ditunda. Agenda pertama pasca terbitnya PKPU dan keputusan ini adalah mengaktifkan kembali penyelenggara adhoc di tingkat kecamatan dan kelurahan/desa, mulai tanggal 15 Juni 2020.  

Pro dan Kontra

Tahapan Lanjutan Pilkada Serentak 2020 berlangsung di tengah pandemi Covid-19 dan penulis berharap sebelum tanggal 9 Desember 2020 pandemi ini bisa berakhir. Pro dan kontra pun bermunculan berkaitan pelaksanaan Pilkada tersebut. Dari data yang ada 66 Negara yang memutuskan untuk melakukan penundaan Pemilihan Nasional dan subnasional karena Covid-19. Sedangkan 33 Negara memutuskan untuk tetap mengadakan pemilihan (Sumber: IDEA 2020)

Salah satu dari ke 33 (tiga puluh tiga) Negara tersebut Negara Korea Selatan, bisa dikatakan contoh sukses dalam penyelenggaraan pemilihan di tengah pandemi. Ukurannya sederhana, mereka menggunakan protokol kesehatan serta angka partisipasinya melonjak dari tahun sebelumnya (2016) 58,03% menjadi 66,2% di Tahun 2020. Namun tidak bagi Prancis, pemilihan kepala daerah putaran pertama yang dilaksanakan pada tanggal 15 Maret menghasilkan angka partisipasi sebesar 46%, mengalami penurunan dari periode sebelumnya yaitu 63,5% (Sumber: IDEA 2020).

Seperti halnya hasil pemilu di luar negeri, ada yang berhasil dan ada yang tidak. Laporan jajak pendapat yang dilakukan oleh kompas menunjukan tiga hal sebagai berikut. Pertama, 64,8% responden tetap bersedia untuk ikut serta saat pencoblosan di masa pandemi, 28,1% tidak bersedia dan 7,1% tidak tahu/tidak jawab. Kedua, 8,12% responden bersedia didatangai petugas KPU untuk pencocokan data dengan syarat menggunakan APD, 7,4% bersedia ditemui tanpa APD, 10% tidak bersedia karena takut tertular dan 1,4% tidak tahu. Ketiga, 64,4% responden bersedia dikunjungi calon kepala daerah untuk kampanye jika menggunakan APD, 5,6% tanpa APD, 26,9% tidak bersedia ditemui dan 3,1% tidak tahu (Sumber: Kompas 8 Juni 2020)

Protokol Kesehatan

Hasil jajak pendapat memang menunjukan optimisme berkaitan pelaksanaan Pilkada serentak 2020. Lalu cukupkan dengan semangat opitimisme? Tentu tidak, setidaknya ada langkah lanjutan yang di tempuh Oleh KPU RI dan menjadi pedoman bagi KPUD untuk pelaksanaan Pilkada. Yaitu, seluruh tahapan, program, dan jadwal Pemilihan serentak lanjutan harus dilaksanakan sesuai dengan protokol kesehatan dan hal ini tidak lepas dari surat ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (Gugas) Nomor: B-196 tertanggal 27 Mei 2020 yang menegaskan tentang syarat protokol kesehatan dalam pelaksanaan pilkada.

Upaya mewujudkan pelaksanaan pilkada serentak dengan protokol kesehatan tentu membawa konsekuensi pada penambahan penganggaran untuk membiayai: Pertama, kenaikan jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS), yang disebabkan oleh pembatasan jumlah pemilih dari semula 800 menjadi 500 untuk setiap TPS. Pembatasan bertujuan untuk mengurangi potensi kerumunan yang terjadi di TPS, karena dengan bergesernya waktu pelaksanaan pilkada dari bulan September ke Desember akan mengakibatkan kenaikan jumlah pemilih pemula. Kedua, penyelenggara harus dilengkapi dengan Alat Pelindung Diri (APD) dalam melaksanakan setiap tahapan.

Ketiga, TPS harus dilengkapi dengan protokol kesehatan seperti hand-sanitizer atau fasilitas cuci tangan, dilarang bersalaman dengan petugas penyelenggara pemilihan, alat untuk mengecek suhu tubuh pemilih, Bilik Khusus untuk pemilih yang bersuhu tinggi dan penyemprotan cairan disinfektan. Keempat, Pemilih harus difasilitasi dengan sarung tangan dan masker. Realisasi protokol kesehatan bisa kita lihat dari kesimpulan RDP hari kamis, 11 Juni 2020 antara penyelenggara pemilu, Komisi II DPR RI, Kementerian Dalam Negeri, Kepala BNPB dan Kementerian Keuangan (kemenkeu). Kemenkeu menjamin bahwa kelanjutan penyelenggaraan pilkada serentak akan dikukung oleh APBN dengan memperhatikan kemampuan APBD masing-masing daerah.

Peta Sebaran

Peta sebaran Covid-19 juga menarik untuk dicermati, setidaknya ada empat kategori wilayah yang dibagi berdasarkan empat zona. Merah berarti beresiko tinggi; Oranye sedang; Kuning rendah dan hijau berarti tidak terdampak. Jika kita melihat rilis yang dikeluarkan oleh Gugus Tugas pada 8 Juni 2020, terkait 92 kabupaten/kota tidak terdampak (zona hijau) dan 136 kabupaten/kota berisiko rendah. Dari 261 Kabupaten/Kota yang melaksanakan Pilkada Serentak, ada 44 daerah yang masuk ke dalam zona hijau dan 75 daerah yang masuk ke dalam zona kuning. Sisanya bisa dianalogikan masuk ke dalam zona orannye dan merah, karena belum ada data yang dirilis (Sumber: Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Data diolah)

Lalu bagaimana dengan 9 Provinsi yang mengadakan pilkada? Melalui rilis yang dikeluarkan oleh gugus tugas pada 8 Juni 2020. Frekuensi Daerah jumlah kumulatif Kasus aktif Covid-19 di tandai dengan empat warna, dengan keterangan sebagai berikut: Hijau 1-100, Kuning 101-500, Oranye 501-2.000 dan Merah > 2000. Hasilnya 5 (lima) provinsi masuk kategori hijau dan 4 (empat) provinsi masuk kategori kuning. (Sumber: Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19)             Meskipun banyak daerah yang masuk ke dalam zona hijau dan kuning, namun itu bukan berarti kita bisa abai berkaitan dengan protokol kesehatan. Justru menjadi Pekerjaan Rumah  bagi para penyelenggara, agar protokol kesehatan bias ditaati oleh pemilih. Jangan sampai apa yang dikatakan oleh Steven levitsky dalam bukunya Bagaimana Demokrasi Mati bahwa “mundurnya demokasi dimulai dari kotak suara”, menjadi terbukti.

PILKADA SEHAT TANPA TIRANI PARPOL

Oleh : Rizal Zainudin

(Mahasiswa Hukum Islam Universitas Islam Indonesia)

Hasil dari pesta demokrasi yang sehat merupakan impian setiap masyarakat umum, begitu juga dengan penetapan para paslon. Keterlibatan rakyat secara langsung dalam pesta demokrasi kali ini merupakan salah satu edukasi yang baik. Karena pada dasarnya rakyat memegang peran penting dalam memberikan gagasan maupun masukan terkait integritas dan kredibilitas tiap pasangan calon. Artinya ada keselarasan antara parpol dan masyarakat umum terkait regulasi maupun proses yang kredibel, transparan dan bersih agar menjadi pemimpin yang berkualitas, terutama oleh partai politik yang menjadi sorotan dan mesin produksi pemimpin politik. Pilkada yang sehat merupakan milik massa yang mewakili rakyat umum, dan tidak bisa di ganggu gugat oleh golongan elit. Demokrasi juga  merupakan kehendak bersama dalam menjunjung tinggi nilai keadilan serta memberikan kesempatan yang besar kepada rakyat untuk bersama dalam mengambil keputusan yang regulasinya menyangkut kebijakan public. Demokrasi juga bukan hanya berkaitan dengan  tujuan dari setiap visi misi, tetapi juga berkaitan dengan seluruh proses dalam membuat ketetapan itu sendiri.

Namun melihat dari realita saat ini kata demokrasi hanya sebagai hiasan dinding belaka, aspirasi rakyat seakan hanya penunjang formalitas tiap elit politik, bahkan rakyat tidak di libatkan dalam proses rangkaian penetapan para pasangan calon yang akan maju ke pemilihan kepala daerah. Artinya pemilihan kepala daerah hanya di eksekusi oleh golongan yang kuat di partai politik, sehingga cenderung otoriter dalam penetapannya. Di sini tampak jelas bahwa partai politik menuju kepada penguasa yang bertindak sekehendak hatinya. Tidak ada lagi musyawarah mufakat dalam penetapannya, dan apakah setiap pasangan calon yang akan di daftarkan ke badan pengawas pemilu sesuai dengan suara rakyat?. ketika satu golongan parpol berwewenang lebih keras tanpa partisipasi rakyat dalam menetapkan kekuasaan terhadap individu yang lain, maka akan membawa kepada tirani politik, sehingga menghasilkan perbudakan jenis baru yang bersumber dari kepentingan elit politik.

Hal ini tidak hanya sepengetahuan saja  melainkan terdapat regulasi yang mendukung  untuk menciptakan tirani parpol tersebut. Seperti Pasal 6 A ayat 2  dan pasal 22 E ayat 3 batang tubuh undang undang 1945 menyatakan bahwa untuk menjadi presiden dan wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat beserta Dewan Derwakilan Rakyat Daerah sebagai lembaga pembuat peraturan  harus dari partai politik. Hal ini beranggapan bahwa untuk bisa bergelut ke dalam dunia politik dan membentuk konfigurasi khusus dalam memajukan nilai demokrasi itu hanya kepada wewenang dan hak parpol saja , sedangkan peran individu atau suara rakyat akan lebih sulit dalam hal ini. Padahal untuk bersama memersatukan komponen bangsa yang baik itu tidak hanya kepada partai politik saja, melainkan kepada calon independen yang berkompeten dan banyak di percayai  oleh suara rakyat juga bisa masuk sebagai perwujudan kedaulatan rakyat. Melihat secara fakta dari regulasi dan aturan kompetisi pilkada yang di buat oleh politisi justru terlihat sengaja di rancang untuk menyulitkan calon independen untuk berpartisipasi dalam pilkada kali ini. Sehingga muncul istilah istilah buruk yang akan terjadi ketika bangsa di pimpin oleh orang orang yang di hasilkan dari tirani politik.

Platon dan Aristotle sebagai filsuf yunani mengembangkan ide-ide penting tentang pemerintahan dan politik pemerintahan. Dari banyak subjek politik yang ditulis sebagian adalah tirani dan supremasi hukum. Tirani terkehendaki ketika kekuasaan absolut diberikan kepada penguasa elit . Dalam pemerintahan tirani politik ,  sebagian penguasa cenderung menjadi korup dan menggunakan kekuatannya untuk memajukan kepentingannya sendiri daripada bekerja untuk kebaikan bersama. Secara garis besar hal ini mengintimidasi kepada rakyat kecil yang ikut serta andil dalam menyuarakan perwujudan kedaulaatan rakyat ,untuk tidak melawan partai politik sebagai setir pemerintahan jika memang benar terjadi hal hal buruk nantinya. Dan hak masyarakat yang non politik akan terlihat kecil di mata para elit politik.

 Aturan hukum yang tercipta pada dasarnya adalah  sebuah prinsip, tidak seorang pun dibebaskan dari prinsip hukum itu sendiri, bahkan mereka yang berada dalam posisi berkuasa sekalipun dalam pemerintahan. Aturan hukum yang ada juga masih dapat mengikat dan berfungsi sebagai perlindungan terhadap tirani politik, karena hukum yang adil memastikan  penguasa tidak akan menjadi korup.

Melihat dari hasil rapat yang di selenggarakan pada tanggal 14 April 2020, Oleh komisi II DPR, Pemerintah, KPU, Bawaslu dan DKPP, menyepakati Opsi A pemungutan suara pada pilkada 2020 yakni tanggal 9 Desember 2020 mendatang, dengan pernyataan telah dipastikan benar bahwa Virus Corona atau Covid 19 telah selesai dan status darurat kesehatan dinyatakan berakhir setidak tidaknya sampai dengan 29 Mei 2020. Tentunya memiliki tantangan tersendiri bagi Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu maupun para pasangan calon. Yaitu keterkaitan dengan kepercayaan public atau pada rakyat umumnya, apakah KPU sebagai penyelenggara pilkada dapat melaksanakan pemilihan sesuai dengan standart pemilu yang bebas dan adil? Dan apakah peran partai politik sebagai mesin parpol yang akan maju ke pesta demokrasi kali ini sudah sepenuhnya atas kepercayaan rakyat dan di pilih sesuai dengan demokrasi atas dasar kedaulatan rakyat?

 Pemilihan kepala daerah merupakan sarana penunjang akar dari demokrasi yang harus dilaksanakan secara berkualitas,trasparan dan bermartabat. Itu artinya melalui proses pilkada 2020 yang sehat, kadar demokratisasi sebagai sistem politik di suatu Negara akan terlihat jelas. Inilah yang menjadi acuan untuk menilai baik tidaknya sistem demokrasi di suatu Negara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemilihan kepala daerah 2020 merupakan sarana demokrasi untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang berkedaulatan rakyat sepenuhnya. Pemerintahan dibentuk atas dasar izin dari tangan rakyat, dijalankan bersama sesuai  dengan kehendak rakyat, dan dipilih untuk mensejahterakan rakyat. Idealnya bahwa pemilihan adalah suatu instrument penting di demokrasi, apalagi dalam menentukan suara dan hak warga negara yang harus dipenuhi dalam situasi apapun termasuk dalam masa pandemik Covid 19. Begitu juga dengan partai politik yang seharusnya menjadi wadah aspirasi untuk melakukan edukasi politik dan menjadi sari tauladan bagi rakyat awam bagaimana cara berdemokrasi dengan baik. Parpol juga harusnya menjadi mesin inisiator  dalam mewujudkan konsep-konsep politik yang sehat dalam rangka mensejahterakan rakyat. Maka dari itu sebagai element parpol dituntut untuk memiliki konsistensi ideologi dan prinsip dalam berdemokrasi.

Dengan demikian pengaruh tirani parpol terhadap demokrasi di negara harus bersama kita lirik dan kita tuntaskan bersama demi terwujutnya kedaulatan rakyat sepenuhnya, sebagai rakyat tidak banyak yang bisa kita lakukan melainkan bersama membangun sifat kesadaran dan kecerdasan berfikir dalam berdemokrasi,  rakyat juga harus menanamkan prinsip untuk membagun kedaulatan rakyat sehingga bisa hidup dalam keadilan dan berpegang teguh terhadap idealisme.

Sudah masanya yang muda dan rakyat bergerak dan bersuara! Bersatu bahu membahu mengawal pilkada 2020 dengan trasparan, kredibel dan bermartabat “boleh saja kalian mempunyai perahu untuk bahan perjual belian, tapi ingatlah, yang memiliki dasar lautan adalah rakyat kita”!.

POTENSI DAN MOMENTUM PEMURNIAN PENCALONAN DI TENGAH PANDEMI COVID-19

Oleh: Wildhan Khalyubi

(Pegiat Komite Independen Sadar Pemilu)

Dengan mewabahnya Covid-19, hal ini tentu menjadi permasalahan yang rumit dimana tahapan pilkada sempat terhenti untuk sementara waktu. Sehingga hal ini juga berlanjut pada pertanyaan akan kesiapan penyelenggaraan pilkada ditengah wabah Covid-19. Kendati begitu opsi penundaan pilkada hinga tahun 2021 begitu kencang digaungkan. Bukan tanpa alasan mengingat urgensi kesehatan dan keselamatan warga negara ditengah Covid-19 ini juga menjadi pertimbangan utama, disusul kesiapan penyelenggaraan juga tak luput menjadi pertimbangan lain. Namun, menyusul dengan adanya keputusan rapat oleh Kemendagri, DPR Komisi 2, dan KPU, maka penyelenggaraan pilkada tetap dilaksanakan pada tahun 2020 tepatnya tanggal 9 bulan Desember mendatang. Dari permasalahan tersebut maka munculah pertanyaan terkait kesiapan 3 elemen kunci dalam pilkada; penyelenggara, peserta pilkada, dan pemilih.

Yang menjadi perhatian penulis dalam hal ini ialah dimana proses pencalonan juga berpengaruh pada suara dan partisipasi masyarakat. Sebagaimana Milbrath (dalam Rush, Michel dan Altoff, 1989), dilihat dari partisipasi politik masyarakat dengan beberapa indikator diantaranya: 1) sejauh mana masyarakat menerima peransang politik; 2) karakteristik pribadi seseorang atau calon ; 3) karakteristik sosial seseorang atau calon; dan 4) keadaan politik atau lingkungan politik seseorang. Pandangan ini juga mempertegas adanya candidate-centered politics.

Dalam keadaan wabah sekarang, ada momentum dan potensi pencalonan yang mungkin terjadi. Pertama, keadaan pandemik Covid-19 yang belum tentu usai dan telah menimbulkan kegelisahan termasuk perihal perekonomian, menandakan bahwa masyarakat hari ini mengalami reses ekonomi. Keadaan ini lah yang semestinya bisa dilihat oleh partai politik dimana dalam proses pencalonan untuk melihat dari sosok figure. Seringkali pencalonan kandidat oleh partai politik melalui upaya pragmatisme, dimana partai politik kerap memilih calon yang memiliki padat modal dan sumber daya sehingga dianggap mampu untuk “membeli perahu”. Rasionalisasinya ialah semakin lama atau sering tahapan pilkada ditunda, akan semakin membebankan modal pada calon yang akan maju. 

Meninjau kebelakang dalam pemilihan umum Amerika Serikat tahun 1988, Part Roberstson cukup menyita perhatian dalam pencalonannya pada pemilihan kandidat Partai Republik. Seperti diketahui bahwa Part Robertson merupakan pendeta yang karismatik dan juga seorang televangelist. Sehingga pencalonannya merupakan salah satu bentuk candidate-centered politics dalam internal partai. Kandidasi Part Robertson dalam hal ini dilihat sebagai bentuk kritik pada prosess kandidasi partai politik yang bersifat permeabel, yang berarti bahwa penominasian individu dapat berlaku bagi siapa saja dengan pertimbangan partai politik terutama oleh pemimpin partai yang dipandang memiliki pengaruh sentralistik.

Part Robertson dianggap memiliki modal menaikan pendukung Partai Republik. Para pendukung Part Robertson berbeda dengan pendukung lingkup Partai Republik pada umumnya Hal ini  dikarnakan Part Robertson memiliki modal politik dengan dilatar belakangi sebagai pendeta yang sering tampil di televisi. Sehingga pemilih mudah mengenali Part Robertson dalam kandidasi Partai Republik serta mampu manggandeng kalangan-kalangan fundamentalis umat kristiani yang juga dianggap sebagai pendatang baru. Ini dibuktikan dengan dua isu yang dibenturkan dalam kandidasi Partai Republik tersebut. Partai Republik tidak melarang adanya aborsi sementara Part Robertson membawa isu melarang adanya praktik aborsi.

Kendati demikian dengan munculnya Part Robertson pada kandidasi Calon Presiden Partai Republik menunjukan adanya positive carryover dan positive spillover. Meskipun Part Robertson tidak terpilih sebagai calon Presiden pada pemilihan umum Amerika Serikat di tahun 1988, Partai Republik mendapatkan keuntungan dengan beralihnya dukungan para pendukung Part Robertson pada Josh W. Bush. Ini merupakan modal kemenangan yang besar bagi Partai Republik dan merupakan bukti bagaimana konflik internal partai pada proses kandidasi dapat ditekan.

Ada beberapa hal yang dapat ditelaah lebih lanjut dari fenomena candidate-centered yang diperlihatkan oleh kandidasi Part Robertson. Pertama, dalam hal ini semakin besar tingkat keterlibatan dalam kontes nominasi, semakin besar pula tingkat partisipasi dalam kampanye pemilihan presiden dan kongres selanjutnya. Hal ini dikarenakan ada efek dari mobilisasi pada pengikut Part Robertson. Kedua, Prediposisi untuk berpartisipasi. Dalam artian ini memanfaatkan variabel-variabel demografis yang dikaitkan dengan partisipasi kampanye seperti identifikasi partai, waktu aktivitas, komunitas, dan usia. Selain itu variabel tersebut juga dikaitkan pada tingkat partisipasi sebelumnya baik berupa aktivitas politik sebelumnya, keterlibatan dalam kampanye presiden, dan keterlibatan kampanye legislatif. Faktor yang ketiga ialah efek mobiliasasi pemilihan umum yang dinilai pada nominasi oleh partai politik yang cukup menarik perhatian pemilih.            

Namun ada juga potensi yang dapat terjadi apabila partai politik tidak memiliki calon yang memiliki padat modal, hal ini memungkinkan basis dukungan terhadap incumbent begitu kuat. Dimana incumbent selalu memiliki modal yang cukup untuk terjun kedalam pertarungan politik periode dua. Implikasi dari keadaan seperti ini tentu bisa saja akan berdampak pada semakin banyaknya kotak kosong sebagai competitor dalam pilkada.Dalam keadaan Covid-19, seharusnya ini menjadi momentum bagi partai politik setidaknya mengikis bentuk pencalonan yang pragmatis. Akan tetapi tentu bisa berupa figure politik yang lebih ditonjolkan. Sehingga hal ini juga dapat membangun sebuah partisipasi masyarakat untuk juga turut serta mengambil bagian pada Pilkada ditengah wabah Covid-19 ini.