DISKUSI KOLABORATIF: PENDIDIKAN POLITIK KAUM PEREMPUAN KULON PROGO

Sebagai serial terakhir pendidikan politik kaum perempuan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) kembali mengadakan pendidikan politik bersama Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DIY (Kesbangpol DIY) dan Komisi Pemilihan Umum DIY (KPU DIY) di Kulonprogo yang sebelumnya sempat dilakukan di Kota Yogyakarta, Sleman, Bantul, dan Gunung Kidul. Diskusi pendidikan politik ini dilakukan melalui media daring dengan menghadirkan perwakilan dari organisasi perempuan di wilayah Kulonprogo pada Kamis (23/09/21).

Dalam diskusi tersebut, Slamet, selaku Kepala Bidang Politik Dalam Negeri Kesbangpol DIY memaparkan “keterwakilan perempuan di legislatif masih perlu ditingkatkan lagi, padahal sejatinya perempuan memiliki peluang yang cukup besar”, jelasnya. Beliau juga menambahkan bahwa rendahnya angka keterwakilan ini berpengaruh secara langsung terhadap Indeks Demokrasi Indonesia (IDI).

Sementara itu, Ketua KPU DIY, Hamdan Kurniawan menyinggung bahwa hari ini masih banyak orang yang menyalahartikan kata partisipasi hanya sekadar hadir di Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebagai pemilih. “Padahal ruang partisipasi itu banyak, bisa sebagai peserta, pemantau, penyelenggara atau dapat memasuki ruang sosialisasi pendidikan pemilih,” jelasnya.  

Selaras dengan hal tersebut, Azka Amrurobbi, selaku Peneliti KISP menyampaikan bahwa peran masyarakat dalam negara demokrasi mestinya terlibat dalam setiap kebijakan publik. Untuk dapat mengartikulasikan kepentingan dan keterlibatannya dalam kebijakan, masyarakat masih memerlukan kompetensi yang memadai. “Hal tersebut sebetulnya bisa kita capai dengan adannya pendidikan politik. Kami disini sedikit merangkum bahwasanya pendidikan politik adalah proses pembelajaran, pemahaman, dan pemberdayaan tentang hak, kewajiban, tanggung jawab, serta melakukan artikulasi kepentingan publik setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” jelasnya.

Peserta dalam diskusi politik kali ini juga turut memberikan rekomendasi, bahwa pendidikan politik seperti ini semestinya bukan hanya diberikan kepada kaum perempuan, namun turut dihadirkan kepada seluruh elemen masyarakat sebagai bekal jika ingin mencalonkan diri. Sehingga dengan kebijakan ‘siapa saja bisa mencalonkan diri’ setidaknya sudah memiliki pengetahuan yang cukup sebagai wakil rakyat.

DISKUSI KOLABORATIF: PENDIDIKAN POLITIK KAUM PEREMPUAN GUNUNG KIDUL

Setelah melakukan pendidikan politik kaum perempuan di Bantul dan Sleman, Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) kembali mengadakan pendidikan politik bersama Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Daerah Istimewa Yogyakarta (Kesbangpol DIY) dan Komisi Pemilihan Umum DIY (KPU DIY) di Gunung Kidul. Diskusi pendidikan politik ini dilakukan melalui media daring dengan menghadirkan perwakilan dari organisasi perempuan di wilayah Gunung Kidul.

Di dalam diskusi tersebut, Sih Utami, selaku Kepala Subbidang Pendidikan Politik, menyampaikan partisipasi perempuan dalam politik masih perlu ditingkatkan. “Pentingnya peningkatan peran perempuan supaya pengambilan keputusan politik yang lebih akomodatif dan substansial, serta penguatan demokrasi yang senantiasa memberi gagasan terkait perundang-undangan yang pro perempuan dan anak di ruang publik,” jelasnya.

Sementara itu, Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KPU DIY, Siti Ghoniyatun, menjelaskan bahwa perempuan dan laki-laki harus bisa saling asah, asih, asuh dalam demokrasi, bukan untuk saling mendiskriminasi satu sama lain. Selain itu, beliau juga menambahkan bahwa perempuan juga bukan saingan bagi perempuan yang lain. Oleh karena itu, sebaiknya di dalam proses pencalonan, kita dapat melihat perempuan-perempuan yang potensial untuk tidak disatukan di dalam satu Daerah Pemilihan (Dapil). Hal ini dilakukan sebagai strategi penguatan perempuan dalam politik. Sedangkan menurut Moch Edward Trias Pahlevi, selaku Koordinator Umum KISP, adanya Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di tahun 2024 secara bersamaan menjadi tantangan dan catatan yang sangat kompleks. “Mesin partai juga akan terbagi konsentrasinya, bagaimana sebenarnya posisi perempuan dan politik di partai dalam melihat kompleksitas dalam Pemilu 2024 ini, akan ada tujuh pemilihan yang terjadi di 2024” jelasnya. Beliau juga merekomendasikan bahwa perlu kita pikirkan bersama, bagaimana solidaritas kelompok perempuan maupun organisasi perempuan untuk dapat melakukan konsolidasi mulai sejak dini dalam menyongsong Pemilu 2024.

DISKUSI KOLABORATIF: PERAN PEREMPUAN DALAM POLITIK DI KABUPATEN SLEMAN

Sebagai upaya peningkatan partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik, Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) kembali melakukan diskusi pendidikan politik bersama Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Daerah Istimewa Yogyakarta (Kesbangpol DIY) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) DIY melalui media daring yang dihadiri berbagai perwakilan kelompok perempuan dari Sleman DIY pada Kamis (16/09/21).

Dalam diskusi tersebut, Azka Abdi Amrurobbi, Peneliti KISP, menjelaskan bahwa tantangan perempuan dalam politik dipengaruhi oleh faktor internal berupa kurangnya keterampilan politik, minimnya modal finansial, dan kurangnya rasa percaya diri. Selain itu, perempuan dalam politik juga dipengaruhi oleh faktor eksternal berupa budaya patriarki di masyarakat, faktor keturunan tokoh politik, kaderisasi partai politik yang tidak inklusif, kurangnya kesadaran kolektif perempuan, biaya politik yang tinggi, atau bahkan alasan agama yang melarang dipimpin oleh perempuan.

Azka juga menambahkan bahwa saat ini keterwakilan perempuan di parlemen sudah cukup tinggi hingga 20%, namun belum sesuai dengan target yaitu 30% dan masih belum mampu mengartikulasikan kepentingan perempuan “Perlu adanya konsolidasi yang kuat bagi perempuan agar mampu menghasilkan politisi perempuan yang mampu mengusung political will atau komitmen,” jelasnya.

Sedangkan Muhammad Zainuri Ikhsan, selaku Komisioner KPU DIY, memaparkan strategi yang penting dilakukan oleh organisasi perempuan dalam upaya peningkatan peran serta perempuan dalam politik, diantaranya melalui strategi aksi politik di parlemen, strategi aksi di masyarakat, strategi penguatan jaringan aktivis perempuan, dan strategi konsolidasi gerakan perempuan.

Beliau juga mengutarakan harapannya dalam diskusi ini “diskusi ini menjadi semangat baru dalam optimalisasi peran perempuan dalam bidang politik, sehingga dapat meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen Sleman itu sendiri. Selain itu, harapannya perempuan dapat meningkatkan kapasitas diri, serta dapat merumuskan rekomendasi untuk mendorong keterwakilan politik yang lebih besar,” jelasnya.

DISKUSI KOLABORATIF: PEREMPUAN DAN POLITIK

Sebagai upaya peningkatan partisipasi perempuan dalam politik, Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) bersama Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Daerah Istimewa Yogyakarta (Kesbangpol DIY) dan Komisi Pemilihan Umum DIY (KPU DIY) mengadakan diskusi kolaboratif berkelanjutan dalam rangka pendidikan politik yang dihadiri berbagai perwakilan organisasi perempuan pada Senin (13/09/21).

Dalam diskusi bertajuk “Perempuan dan Politik” tersebut, Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan Sumber Daya Manusia KPU DIY, Ahmad Shidqi, menjelaskan mengenai hak politik perempuan. Bahwa di dalam UUD 1945 telah dijelaskan hak dan kedudukan setiap warga negara adalah sama, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) pasal 7 pun sudah dijabarkan bahwa setiap negara harus memberikan hak-hak perempuan (hak memilih dan dipilih, hak berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya, hak memegang jabatan, dan hak berpartisipasi dalam organisasi atau persyarikatan). Beliau juga menambahkan bahwa di Indonesia, kesetaraan perempuan dan laki-laki atas hak memilih dan dipilih sudah ada sejak Pemilu 1955. Namun dalam pelaksanaannya, keterwakilan perempuan dalam legislatif belum memenuhi harapan, sehingga dibuatlah peraturan minimal 30% perempuan dalam parlemen (UU No.7 tahuun 2017). Melihat kondisi saat ini, beliau juga menambahkan bahwa dikhawatirkan terjadi kemunduran demokrasi di Indonesia ditinjau dari Indeks Demokrasi Indonesia.

Sedangkan menurut penjelasan Moch Edward Trias Pahlevi, Koordinator Umum KISP, “Jika kita mendeklarasikan sebagai negara demokrasi, mau-tidak mau, suka-tidak suka, pemerintah atau negara wajib melibatkan warga negara baik dari setiap pelaksanaan pemerintahan, menentukan jabatan publik, merumuskan kebijakan publik, dan perilaku pejabat publik,” jelas Edward. Beliau juga menambahkan bahwa keterlibatan tersebut juga harus disertai dengan adanya pemahaman dan keterampilan politik yang memadai. Edward mengatakan, isu gender dalam politik dan demokrasi dewasa ini bukan hanya tanggung jawab perempuan, namun semua pihak, termasuk laki-laki. Sehingga perubahan dan langkah konkret harus diambil bersama, mulai dari melakukan pemetaan permasalahan Pemilu 2019 untuk menyongsong Pemilu 2024, hingga pengalokasian dana negara dalam memberi fasilitas kampanye perempuan, atau bahkan dengan mengaplikasikan sistem pencalonan selang-seling perempuan dan laki-laki (zipper murni).

DISKUSI KOLABORATIF: SOSIALISASI PENDIDIKAN POLITIK KELOMPOK PEREMPUAN YOGYAKARTA

Yogyakarta, 8 Spetember 2021 – Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) kembali melaksanakan diskusi kolaboratif bersama Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Daerah Istimewa Yogyakarta (Kesbangpol DIY) dan Komisi Pemilihan Umum DIY (KPU DIY) melalui media daring.

Dalam diskusi kolaboratif ini, membahas mengenai upaya peningkatan partisipasi perempuan dalam politik. Diskusi yang dihadiri oleh beberapa organisasi perempuan di DIY ini dilakukan sebagai upaya pendidikan politik kelompok perempuan yang diinisiasi oleh Kesbangpol DIY. Kepala Badan Kesbangpol DIY, Dewo Isnu Broto Imam Santoso mengemukakan bahwa diskusi ini didasari atas fenomena kurangnya partisipasi dan kesadaran peran masyarakat dalam berdemokrasi. “Masyarakat tidak bisa menghindari peran politik karena proses politik adalah salah satu komponen yang penting bagi kemajuan kehidupan masyarakat itu sendiri, oleh karena itu sadar dan melek politik juga menjadi penting demi berjalannya proses demokrasi yang ideal,” jelas Dewo Isnu. Beliau juga menambahkan bahwa menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakan ruang publik sebagai upaya peningkatan partisipasi demokrasi masyarakat.

Kondisi tersebut juga diaminkan oleh Slamet, selaku Kepala Bidang Politik Dalam Negeri Kesbangpol DIY. Beliau mengatakan bahwa keterwakilan perempuan dalam parlemen masih belum mengalami peningkatan yang signifikan. “Harapannya bukan hanya partisipasi, tapi juga keterwakilan perempuan dalam politik,” jelas beliau.

Menurut Wawan Budiyanto, Ketua Divisi Perencanaan, Data dan Informasi KPU DIY, Perempuan sebagai warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk mendapat ruang partisipasi dalam Pemilu, baik sebagai peserta, pemantau, penyelenggara, atau bahkan mengambil peran dalam memberikan sosialiasasi dan pendidikan pemilih (sosdiklih).

Berdasarkan pemaparan Titin Purwaningsih, selaku Penasehat KISP, beliau mengemukakan mengenai peran dan tantangan perempuan dalam politik. Meskipun telah ada regulasi 30% kuota perempuan dalam parlemen, namun hasilnya belum sesuai dengan harapan. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari kebijakan pemerintah, kebijakan partai politik, media, penyelenggara Pemilu, pemilih (masyarakat), maupun motivasi dan modalitas perempuan itu sendiri.

Dalam diskusi tersebut setiap narasumber bersepakat bahwa kita perlu mengambil langkah untuk perbaikan kondisi ini, yakni dengan upaya calon perempuan itu sendiri untuk meningkatkan kapasitas, kapabilitas dan elektabilitas dalam politik, serta perlu adanya perubahan regulasi pelaksanaan Pemilu yang masih terdapat banyak celah yang harus diperbaiki.

DISKUSI KOLABORATIF: PARTISIPASI DIFABEL DALAM KEHIDUPAN BERDEMOKRASI

Yogyakarta, 7 September 2021– Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) melaksanakan diskusi kolaboratif bersama Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Daerah Istimewa Yogyakarta (Kesbangpol DIY) dan Komisi Pemilihan Umum DIY (KPU DIY).

Diskusi yang dilakukan melalui media daring ini membahas mengenai partisipasi difabel dalam kehidupan berdemokrasi. Hal ini berangkat dari banyaknya permasalahan yang ditemukan terkait aksesibilitas dan partisipasi aktif difabel dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkada. “Penyandang difabilitas adalah kelompok masyarakat yang sama kedudukannya sebagai warga negara dan berhak mendapatkan perlindungan dan manfaat hukum yang setara tanpa mendapatkan diskriminasi, tak terkecuali hak politik,” jelas Dewo Isnu Broto Imam Santoso, S.H selaku Kepala Badan Kesbangpol DIY dalam sambutan sekaligus penyampaian materi pada diskusi kolaboratif tersebut.

Hal ini juga selaras dengan penjelasan Siti Ghoniyatun, selaku Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KPU DIY bahwa seluruh warga negara memiliki hak yang sama dalam Pemilu baik sebagai peserta, pemilih maupun penyelenggara, namun dalam teknis pelaksanaannya tetap disesuaikan dengan persyaratan perundang-undangan yang berlaku.

Namun berdasarkan pemaparan dari Azka Abdi Amrurobbi, S.IP.M.A, hasil penelitian yang dilakukan oleh KISP menemukan bahwa masih terdapat beberapa hak penyandang difabel yang termarjinalkan seperti hak atas pekerjaan yang layak, hak atas fasilitas infrastruktur yang memadai, dan hak untuk berpartisipasi pada pemilihan umum. Hak tersebut diakibatkan oleh beberapa permasalahan dalam Pemilu seperti permasalahan Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tidak aksesibel, penyelenggara yang tidak ramah difabel, peraturan yang tidak dijalankan dengan baik, hak dipilih dan memilih, dan lain sebagainya.

Adapun sebagai langkah perbaikan, pemateri memberikan rekomendasi yang dapat dilakukan untuk meminimalisir pengabaian hak difabel, yakni dengan melakukan sosialisasi ke keluarga difabel dan memastikan bahwa keluarga yang memiliki anggota keluarga yang difabel tercatat dalam administrasi kependudukan yang sah dalam hukum (Dinsos, Disdukcapil, KPU, Kesbangpol, dll). Selain itu juga dapat dilakukan diskusi publik yang melibatkan seluruh elemen masyarakat, serta memberikan pendidikan politik, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan mengenai penggunaan teknologi, dan lain sebagainya (Diskominfo, Kesbangpol, Parpol, KPU, Bawaslu, dll).