Oleh: Nasarudin Sili Luli (Pegiat Kebangsaan)
Sejumlah pejabat (pj) kepala daerah dilantik oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian pada Kamis, 12 Mei 2022. Pada pelantikan itu, lima pj kepala daerah diamanatkan untuk mengemban jabatannya sebagai gubernur untuk menggantikan lima kepala daerah sebelumnya yang masa jabatannya habis pada Mei 2022. Adapun lima pejabat tinggi madya masing-masing provinsi dilantik sebagai pj kepala daerah yaitu, Al Muktabar sebagai Pj Gubernur Banten yang sebelumnya juga menjabat sebagai sekda Banten, Ridwan Djamaluddin sebagai Pj Gubernur Kepulauan Bangka Belitung dan juga merangkap sebagai Dirjen ESDM, Hamka Hendra Noer sebagai Pj Gubernur Gorontalo dan juga menjabat sebagai staf ahli Kemenpora, Akmal Malik sebagai Pj Gubernur Sulawesi Barat dan juga menjabat sebagai Dirjen Kemendagri, dan Komjen (Purn) Paulus Waterpauw sebagai Pj Gubernur Papua Barat, saat ini juga menjabat Debuti BNPP Kemendagri.
Dengan merujuk pada aturan dan mekanisme penetapan Pj kepala daerah dalam mengisi kekosongan jabatan jelang masa pemilu, sudah semestinya penunjukan para pengganti pemimpin yang mengisi jabatan tersebut dapat dilakukan dengan transparan. Hal ini menjadi penting guna menjaga marwah dan tujuan kehadiran pemimpin daerah yang semestinya dapat bekerja secara profesional dan terbebas dari berbagai kepentingan politik mana pun sebab jika penetapan pejabat kepala daerah dilakukan secara diam-diam akan menimbulkan tafsir liar di tengah masyarakat. Publik beropini apakah pengangkatan pj pejabat daerah ini adalah kepentingan penguasa atau saling tukar tambah antar elit parpol tertentu dalam menghadapi pemilu serentak tahun 2024.
Polemik penunjukan Pj kepala daerah, dengan potensi kekosongan jabatan yang harus diisi begitu banyak sempat kembali bermunculan. Kredibilitas dan transparansi pemerintah, dalam hal ini terutama Kemendagri, kembali dipertanyakan publik saat melakukan ploting pengisian jabatan kepala daerah, baik untuk gubernur maupun bupati dan wali kota/penunjukan penjabat kepala daerah ini sebetulnya juga sempat terjadi pada momentum pilkada sebelumnya. Terutama yang acap kali mencuat menjadi pertanyaan masyarakat terkait dengan ditunjuknya sejumlah tokoh dari kalangan TNI atau pun Polri aktif untuk menduduki posisi penjabat kepala daerah.
Bagi sebagian kalangan masyarakat dan aktivis, kondisi tersebut tak ubahnya kembali menggaungkan adanya dwifungsi militer yang mencampuri urusan sipil yang sarat banyak kepentingan di dalam. Sudah semestinya transparansi dan kesesuaian kriteria penunjukan penjabat perlu diwujudkan.Polemik yang belum lama terjadi dan cukup menarik perhatian publik terjadi saat momentum Pilkada 2018. Secara mengejutkan, pemerintah menunjuk Komjen Mochammad Iriawan untuk mengisi posisi penjabat Gubernur Jawa Barat.
Saat itu, Iriawan diketahui masih berstatus aktif sebagai Perwira Tinggi Polri dengan Jabatan Asisten Operasi Kapolri. Namun belakangan, Kemendagri memberikan penjelasan bahwa yang bersangkutan telah menduduki jabatan Sekretaris Utama Lemhannas dan memenuhi kriteria sebagai pejabat publik yang layak dipilih menjadi Pj kepala daerah.Sebelumnya juga tercatat, pada tahun 2017, penunjukan Pj kepala daerah juga justru diisi oleh perwira aktif Polri. Saat itu, Irjen Carlo Brix Tewu ditunjuk sebagai Pj Gubernur Sulawesi Barat.Tak jauh berbeda, tahun 2008, Pj Gubernur Sulawesi Selatan pernah diisi oleh Mayjen TNI Achmad Tanribali Lamo, yang saat itu masih berstatus sebagai perwira militer. Seusai pensiun tahun 2009, Achmad Tanribali justru ditunjuk menjadi Dirjen Kesatuan Bangsa dan Politik Kemendagri dan sempat beberapa kali menjadi penjabat kepala daerah.
Berkaca dari hal tersebut, sudah semestinya transparansi dan kesesuaian kriteria penunjukan penjabat perlu diwujudkan. Jangan sampai justru kepercayaan publik kembali harus dipertaruhkan dengan proses penunjukan penjabat kepala daerah yang bernuansa membawa konflik kepentingan politik dan elit tertentu. Penciptaan suasana kondusif jelang masa pemilu sejatinya juga dimulai sejak pengisian kekosongan jabatan para kepala daerah tersebut.
Memahami Putusan MK
Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus tiga perkara yang dimohonkan sejumlah pihak menyangkut pengujian konstitusionalitas peniadaan Pilkada 2022 dan 2023 serta pengisian penjabat kepala daerah. Perkara-perkara tersebut diputus melalui Putusan MK No 67/PUU-XIX/2021, Putusan MK No 15/PUU-XX/2022, dan Putusan MK No 18/PUU-XX/2022. Terdapat sejumlah substansi penting yang ditekankan MK dalam putusan-putusan itu, khususnya berkaitan dengan penyelenggaraan pilkada secara nasional serta mekanisme pengisian penjabat kepala daerah secara demokrati.
Pertama, pilkada secara nasional pada November 2024 merupakan bagian dari ketentuan peralihan (transitional provision) yang memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lama. MK menilai, penundaan atas pemenuhan hak warga negara untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be candidate), pada sebagian pilkada dalam rangka menuju pelaksanaan pilkada secara nasional 2024 masih dalam kerangka pembatasan hak konstitusional warga negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Kedua, MK berpendapat, pengisian penjabat kepala daerah dapat dibenarkan dalam hal dilakukan untuk mengisi jabatan pada masa transisional dan sepanjang penjabat yang ditunjuk memenuhi kualifikasi oleh undang-undang, serta kinerjanya dapat dievaluasi pejabat yang berwenang setiap waktu, bahkan mungkin dapat dilakukan penggantian apabila dipandang tidak mempunyai kapabilitas untuk memberikan pelayanan publik.
Ketiga, MK menegaskan proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah juga masih dalam ruang lingkup pemaknaan secara demokratis sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Oleh karenanya, perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU No 10 Tahun 2016. Jadi, tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi, sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah.
Keempat, mengingat peran sentral yang dimiliki kepala daerah dan wakil kepala daerah serta dengan mempertimbangkan lamanya daerah dipimpin penjabat kepala daerah, MK berpandangan perlu dipertimbangkan pemberian kewenangan penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju pilkada nasional, yang sama dengan kepala daerah definitif. Dengan kewenangan penuh yang dimiliki penjabat kepala daerah yang ditunjuk, akselerasi perkembangan pembangunan daerah tetap dapat diwujudkan, tanpa ada perbedaan antara daerah yang dipimpin penjabat kepala daerah dan yang definitif.
Kelima, prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tidak dapat menjadi penjabat kepala daerah, kecuali telah mengundurkan diri dari dinas aktif dan berstatus JPT madya atau JPT pratama sesuai dengan ketentuan UU Aparatur Sipil Negara. Pertimbangan hukum MK yang eksplisit tertuang dalam Putusan MK No 15/PUU-XX/2022 ini sudah semestinya mengakhiri polemik dan kontroversi soal pengisian penjabat kepala daerah dari personel TNI/Polri. MK telah menegaskan bahwa personel aktif TNI/Polri tidak dapat diangkat sebagai penjabat kepala daerah.
Keenam, dalam proses mengangkat penjabat kepala daerah, pemerintah terlebih dahulu harus membuat pemetaan kondisi riil setiap daerah dan kebutuhan penjabat kepala daerah yang memenuhi syarat sebagai penjabat kepala daerah dan memperhatikan kepentingan daerah dan dapat dievaluasi setiap waktu secara berkala oleh pejabat yang berwenang. Jadi, akan menghasilkan para penjabat kepala daerah yang berkualitas dalam memimpin daerahnya untuk waktu sementara sampai adanya kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif berdasarkan hasil pilkada nasional tahun 2024.
Ketujuh, mengenai keserentakan waktu penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota, menurut MK, tidak hanya merujuk pada waktu pemungutan suara (voting time), tetapi juga waktu pelantikan (inauguration time) yang juga perlu diatur dan disinkronkan keserentakannya. Keserentakan tersebut merupakan langkah awal bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih untuk menyinergikan kebijakan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat serta menyinkronkan tata kelola pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Dengan disinkronkannya waktu penyelenggaraan, baik pemungutan suara maupun pelantikan pasangan calon terpilih, diharapkan tercipta efektivitas dan efisiensi kebijakan pembangunan antara daerah dan pusat (Litbang Kompas)
Peraturan Teknis
Legitimasi pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 menjadi taruhan apabila pemerintah tidak menerbitkan aturan teknis pengisian penjabat kepala daerah. Sebab, tanpa ada proses yang transparan, akuntabel, dan demokratis, penunjukan penjabat kepala daerah rentan dimanfaatkan oleh kepentingan politik tertentu.
Pelantikan lima penjabat gubernur tanpa didahului pembentukan aturan teknis pengisian jabatan penjabat kepala daerah pada pekan lalu dapat dinilai tidak demokratis, sehingga rentan dipersoalkan. Masyarakat dapat membawa keputusan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan salah satu alasannya adalah Mendagri tidak melaksanakan amanat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang setara dengan undang-undang dalam proses pengisian penjabat tersebut.
Persoalan ini suda di ingatkan oleh peneliti otonomi daerah, Mardyanto Wahyu Tryatmoko beliau mengungkapkan, aturan teknis pengisian penjabat kepala daerah sebagai turunan dari Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada) sangat diperlukan. Namun, peraturan teknis terkait dengan pengisian penjabat hingga kini belum ada. Padahal, pembentukan aturan teknis juga merupakan mandat dari putusan MK Nomor 67/PUU-XX/2022.
Meskipun pemerintah telah menunjuk lima penjabat gubernur penerbitan peraturan teknis pengisian penjabat kepala daerah masih bisa dilakukan. Sebab, masih ada sekitar 96 kepala daerah yang masa jabatannya akan berakhir pada tahun ini. Mereka antara lain Gubernur Aceh Nova Iriansyah yang masa jabatannya berakhir pada 5 Juli 2022 dan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan pada 16 Oktober 2022.
Menurut hemat penulis selain mengenai proses yang demokratis, pengisian penjabat kepala daerah juga terkait dengan upaya menghasilkan pemilu yang sah. Kalau kemudian hanya dipasang sesuai dengn selera dan kepentingan elit tertentu, bisa jadi ini menjadi tedensi conflict of interest yang sangat berbahaya bagi kelanjutan berdemokrasi yang akan datang. Kemudian juga tidak ada mekanisme di daerah sendiri untuk memilih, persoalan ini akan menimbulkan khawatirnya jadi birocratic politic. Jadi politik birokrasi yang dikhawatirkan mengintervensi pemilihan sehingga akhirnya pemilunya tidak legitimate.
Belum lagi kita berbicara soal legitimasi dari masyarakat kepada pejabat yang di angkat tidak sesuai dengan permasalahan yang dipimpin didaerah tersebut,jika daerah tersebut permasalahannya adalah soal kemiskinan,maka seharus dan selayaknya Mendagri menempatkan orang punya latar belakang yang mampu menyelesain persoalan kemiskinan didaerah tersebut,bukan menempatkan orang yang punya latar belakang dibidang olahraga.
Meskipun pemerintah telah menunjuk lima penjabat gubernur tanpa disertai dengan peraturan teknis, penerbitan peraturan teknis pengisian penjabat kepala daerah masih bisa dilakukan. Sebab, masih ada sekitar 96 kepala daerah yang masa jabatannya akan berakhir tahun ini.
Apabila pemerintah tetap bersikukuh mengangkat penjabat kepala daerah seperti yang dilakukan di lima daerah sebelumnya, publik akan semakin bertanya-tanya. Apalagi bagi pihak yang menggugat hasil pemilu misalnya akan menjadi semakin kompleks permasalahan di tengah masyarakat, alih-alih pejabat yang di angkat untuk menyelesaikan persoalan di daerah yang ia pimpin melaikan sibuk menghadapi gugatan sana-sini akhirnya waktunya habis buat urusan yang tidak produktif untuk masyarakat.
Bagaimanapun juga tantangan elektoral 2024 yang tidak mudah yang harus dihadapi penjabat kepala daerah. Pertama, penjabat tersebut harus memastikan anggaran pilkada serentak 2024 bisa direncanakan dan diadakan sesuai dengan kebutuhan. Selama ini, persoalan penganggaran pilkada tidak mudah dilakukan oleh kepala daerah karena perlu komunikasi dengan stakeholder di daerah, terutama DPRD.
Tantangan elektoral kedua, penjabat yang diangkat wajib menjaga netralitas ASN, menjaga stabilitas politik dan sosial ditengah kuatnya pertarungan kontestasi Pemilu 2024,menambahkan bahwa pertaruhan untuk 2024 tersebut tidaklah mudah dan tidak ringan. Penjabat kepala daerah mesti tidak mendekatkan diri pada tarik-menarik dan gonjang-ganjing politik kontestasi 2024.
Putusan MK No 67/2022 sebenarnya ingin menjaga esensi atau amanat Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 agar seorang pimpinan daerah meskipun hanya menjabat di masa transisi (sebelum pelaksaan pilkada serentak) tidak keluar dari pakem pemilihan secara demokratis. Konstitusi menyebutkan bahwa kepala daerah harus dipilih secara demokratis. Apabila kemudian Kemendagri memilih lima penjabat kepala daerah tanpa proses yang diketahui publik, publik tidak salah jika berpikir penunjukan penjabat dilakukan secara tiba-tiba dan sangat sarat dengan konflik kepentingan para elit. Masa transisional atau masa antara untuk menuju penataan pilkada. Tapi tidak boleh menggeser nilai-nilai dalam konstitusi yang menyebutkan secara eksplisit bahwa harus dipilih secara demokratis. Itu yang ingin dijaga MK, ingin melindungi nilai dan pesan konstitusi. Dengan tindakan seperti ini, pemerintah tidak sejalan dengan perintah MK artinya publik mulai ragu dengan pengangkatan pejabat daerah tersebut ,karna masyarakat suda menganggap bahwah kecurangan pemilu suda dimulai dari pengangkat pejabat daerah dan syarat konflik kepentingan parah elit politik, semoga persoalan ini tidak terulang kembali.