PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM (PKPU) NO 15 TAHUN 2019 TENTANG TAHAPAN, PROGRAM DAN JADWAL PENYELENGGARAAN PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR, BUPATI DAN WAKIL BUPATI, DAN/ATAU WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA TAHUN 2020

Berikut Peraturan KPU No 15 tahun 2019 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2020.

Link download di bawah Ini!!

UNDANG-UNDANG PILKADA HARUS DIREVISI : SALAH SATUNYA KEWENANGAN BAWASLU

Tahapan pemilihan Kepala Daerah akan dimulai pada bulan Oktober mendatang, ada hal yang perlu direvisi dari Undang-Undang Pilkada, salah satunya ialah kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dalam Undang-undang Pilkada tidak mengenal kata Bawaslu Kabupaten/Kota. Sebab, pengawasan di tingkat Kabupaten/Kota hanya dilakukan oleh Panitia Pengawas (Panwas). Sekretaris KISP, Azka Abdi Amrurobbi menganggap bahwa ini menjadi kemunduran dari lembaga pengawas dalam mengawasi tahapan pemilihan Kepala Daerah. Pada Undang-Undang Pemilu, Bawaslu memiliki kewenangan mengadili dan memutus sengketa administrasi pemilihan, sedangkan Panwaslu dalam Undang-Undang Pilkada hanya memiliki kewenangan memberikan rekomendasi. Peran Bawaslu mengalami kemunduran dan menyebabkan badan pengawas pemilu tidak memiliki taring dalam proses pengawasan di Pilkada.

“Undang-Undang Pilkada juga tidak menjabarkan secara jelas pihak mana yang menjadi kordinator Sentra Penegakan Hukum Terpadu Atau Gakumdu, yang pada Undang-Undang Pemilu ialah Bawaslu, tentunya ini menjadi kebingungan dan masalah baru” tegasnya.

Selain itu, persoalan pemantau pemilu yang dijelaskan dalam Undang-Undang Pemilu yaitu melakukan pendaftaran pemantau pemilu di Bawaslu. Begitu pula dengan pengawasannya. Namun berbeda dengan Undang-Undang Pilkada, dimana pendaftaran pemantau pemilu ada dan dilakukan di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Seharyusnya, kerja-kerja pemantau lebih pas sekirannya di bawah naungan Bawaslu, karena memiliki kemiripan dalam kerja-kerja pengawasan.

Perlu adanya kajian yang lebih mendalam dan revisi Undang-Undang terkait Pemilu Kepala Daerah khususnya terkait dengan Bawaslu, jangan sampai adanya Undang-Undang yang tidak jelas bahkan hingga tumpang tindih.

INDONESIA SIAGA NASIONALISME

Oleh: Hafidz Nur Ockta Kustiyanto

Peringatan Hari Ulang Tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya tinggal menghitung hari, seluruh rakyat Indonesia menyambut dengan gembira. Aroma nasionalisme sangat terasa kental di seluruh penjuru Nusantara, namun apa yang terjadi jika Agustus telah pergi??? Apakah aroma Nasionalisme masih kuat terasa???

Sudah tidak lagi menjadi rahasia umum khususnya bagi kita warga negara Indonesia yang tinggal di Negara ini, apalagi bagi yang lahir, tinggal, dan tua di Indonesia mengenai lunturnya rasa nasionalisme kita terhadap bangsa kita sendiri. Hal itu dapat dilihat dari sikap kita terhadap banyaknya fenomena yang terjadi di bangsa ini, seperti kita tidak peduli dengan pihak-pihak tidak bertanggungjawab yang ingin merusak pancasila sebagai ideologi sekaligus pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara.

Nasionalisme ini sebenarnya bermakna sangat luas, namun masih menjadi ironi karena banyak yang hanya memandang nasionalisme sebelah mata bahkan dengan mata buta apalagi hati yang mati. Misalnya mencintai dan menggunakan produk lokal, menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, dan melawan semua paham yang bertentangan dengan pancasila di Indonesia.

Sosialisasi dari keluarga sebagai aktor pertama dalam membina generasi bangsa sangatlah penting untuk memupuk rasa cinta tanah air, ditambah lembaga formal seperti pendidikan, masyarakat, dan sebagainya. Karena dengan seperti itu generasi muda akan memiliki bekal nasionalisme dalam menghadapi arus tantangan global.

Fenomena yang paling tampak saat ini adalah hedonisme atau perilaku konsumtif berlebihan juga westernisasi atau gaya kebarat-baratan, hal ini sudah sangat jelas terlihat bagaimana banyak di antara kita yang lebih suka menggunakan produk asing apalagi sudah enggan dan gengsi dengan produk lokal. Kemudian juga hilangnya rasa solidaritas empati sesama, kita sudah tidak lagi peduli dengan apa yang terjadi pada saudara kita, hanya mementingkan ego dan kepentingan khusus sampai mengorbankan orang lain.

Remi dalam kampanye persatuan mencontohkan perilaku masyarakat dulu yang lebih menerima pluralisme yang terlihat dari perdamaian antaragama dan ras sehingga terwujud keanekaragaman agama dan budaya seperti yang kita kenal saat ini. ”Jika dibandingkan dengan masyarakat sekarang yang kerap mudah terprovokasi hingga terpecah hanya karena berita hoaks, fenomena ini sungguh tidak merepresentasikan Indonesia yang sesungguhnya.”

Kabid Humas Polda Daerah Istimewa Yogyakarta dalam acara Silaturahmi dan Pembinaan Netizen pada hari Jumat, 9 Agustus 2019 menuturkan dan meminta seluruh masyarakat agar tetap menjaga pancasila yang sudah diperjuangkan oleh para pahlawan kita, di mana Pancasila ini sudah sangat tepat dengan kondisi bangsa Indonesia yang majemuk dan plural agar tetap terjaga persatuan dan kesatuan kita. Jika bangsa lain ingin belajar pancasila kepada kita untuk menjaga kemanan negaranya, Bagaimana dengan kita sebagai tuan rumah pemiliknya??? Apa yang sudah kita berikan pada bangsa ini??? Apakah nasionalisme kita sudah baik???

KONSEPSI POLITIK JAWA DAN REALITA POLITIK KONTEMPORER INDONESIA

Oleh: Moch Edward Trias Pahlevi, S.IP

( Pegiat/Kordinator Umum Komite Independen Sadar Pemilu)

Politik jawa pada saat ini masih menjadi kekuatan dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Argumen ini dapat dilihat dari dominasi orang jawa dalam kancah perpolitikan nasional. Terbukti secara aklamasi orang jawa terpilih secara aklamasi terpilih sebagai presiden dari periode ke periode. Sejarah mencatat dimulai dari rezim orde lama (Orla) dan Orde baru (orba). Terpilihnya seoeharto sebagai presiden Indonesia kedua pemerintahan bersifat patron-klien, dengan sistem politik jawa mendominasi kekuasaan hal itu. Hal itulah yang mendorong terjadinya budaya “Bapakisme”, asal bapak senang, dengan sistem kekuasaan yang bersifat sentralistik bertahan selama 32 tahun. Keadaan politik saat orde baru awal dari munculnya “politik jawa atau javaisme” javaisme adalah taat dan setia kepada atasa yang pada akhirnya menjurus kepada fasisme

Pasca soeharto runtuh, pergantian kekuasaan tetap di dominasi orang jawa. B.J Habibie pun mengakui berdarah jawa dari ibunya, kemudian mengantikan soeharto menjadi Presiden Indonesia yang ketiga, tetapi kekuasaannya tidak berlangsung lama. Sejak masa reformasi telah terjadi 5 kali pemilhan Presiden. Pertama, pemilihan presdien pada tahun 1999 dilakukan secara tidak langsung dipilih dan di tetapkan melalui sidang MPR, dan DPR, Ketika itu Gus Dur terpilih menjadi presiden keempat. Kemudian megawati terpilih menjadi presiden kelima mengantikan Gus Dur yang dilengserkan melalui sidang istimewa MPR. Kedua, pilpres secara langsung oleh rakyat pada tahun 2004 dan 2009 terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden keenam. Dari dua kali pemilihan langsung dimenangkan oleh orang Jawa sebagai Presiden Indonesia, dilanjutkan pada tahun 2014 dan 2019 terpilihnya Jokowi sebagai Presiden Indonesia ketujuh dengan gaya fenomenal dari walikota hingga menuju kursi Istana yang tidak melepas konsepsi prilaku politik sebagai orang jawa.

Konsep Politik Jawa

Konsep politik jawa tentu tidak dapat melepaskan sejarah zaman dahulu saat penguasaan kerajaan-kerajaan hindu berkuasa di Nusantara. Ada empat komponen kekuasaan masyarakat jawa.

Skema 1. Konsepsi Kekuasaan Masyarakat Jawa Pandangan Pramoedya

Pertama, pada zaman jawa hindu kekuasaan diraih melalui sistem kasta, tapi ada kesempatan untuk naik kasta melalui perjuangan politik. Adapun pada zaman jawa Islam di tentukan dari usaha seseorang untuk memperjuangkannya. Kedua, kekuasaan dapat di pengaruhi dari adanya moral senjata, ataupun prajurit yang setia. Dengan bermodalkan senjata seorang penguasa dapat menjadi pahlawan ataupun penjahat. Sedangkan dari modal teman yang setia seseorang dapat dengan memudah membangun suatu negeri atau menghancurkan negeri tersebut.

Ketiga, kekuasan membuhtukan biaya yang besar, sehingga seorang aktor politik harus menguasai berbagai sumber daya alam dan memonopoli perdangngan baik darat maupun laut. Keempat kekuasaan dapat didapatkan melalui pendekatan ke penguasa, untuk meminta suatu jabatan ataupun posisi penting, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain yang berasal dari kelompoknya. Keempat konsep ini saling memengaruhi dan berkaitan satu dengan yang lain, dan aktor politik harus memulai dari proses perjuangan politik baik secara individu maupun kelompok.

Empat konsep kekuasaan ini selalu digunakan oleh masyarakat jawa dalam fenomena kerajaan zaman dahulu seperti Tunggul Ametung, Arok, Arya Teja  Tumenggung Wilwakita, fenomena majapahit, kerajaan demak, mataram, dan kasultanan ngayogyakarta hadiningrat.

Perilaku Dalam Model Kekuasaan Jawa Dalam Novel Arok Dedes dan Arus Balik Karya Pramoedya

Perilaku model kekuasaan jawa kita coba melihat dalam kasus Tunggul ametung okoh dalam Pararaton yang menjabat sebagai akuwu wilayah Tumapel, yaitu salah satu daerah bawahan kerajaan Kadiri pada masa pemerintahan Kertajaya (1185 – 1222). Ia kemudian mati dibunuh pengawalnya sendiri yang bernama Ken Arok, yang kemudian mendirikan Kerajaan Singhasari. Dan arok pendiri Kerajaan Tumapel (yang kemudian terkenal dengan nama Singhasari). Ia memerintah sebagai raja pertama bergelar Sri Rajasa Bathara Sang Amurwabhumi pada tahun 1222 – 1227 (atau 1247). Arok mendapatkan kekuasaan melalui proses membunuh Tunggul ametung. Dan Arya Teja keturunan dari renggalawe menjadi patih karena kebijaksanaan dan kecerdikannya, mendapatkan gelar Tumenggung Wilwatikta dan memperoleh wilayah Tuban dan Jepara.

Dari kisah ketiga aktor politik yang disebutkan mungkin bisa sedikit menjadi gambaran terhadap fenomena perpolitikan masa kini. Analisis Pramoedya dalam melihat ketiga sosok tersebut dengan menganalisa sepuluh karakteristik aktor politik dalam Novel Arok Dedes dan Arus balik. Pertama, menyingkirkan teman-teman dan pasukannya yang setia sedangkan cara lain meenjalin kerjasama dengan cara memberikan kedudukan. Hal itu dilakukan agar tetap kekuasaannya tetap langgeng. Kedua, diberikan kepercayaan menjadi penguasa suatu wilayah, dengan perlindungan dari penguasa pusat. Ketiga, mengindentifikasi pemerintah pusat dalam hal kebijakan , kemewahan hidup, dan bangunan Istana. Keempat, mereka yang mendapatkan perlakuan intimidasi dan diskriminasi dari penguasa, kemudian melakukan pertemuan mempersiapkan rencana politik, bertujuan menjatuhkan atau menggatikan penguasa. Kelima, memiliki sikap tenang, tidak emosional, berwibawa mempunyai perencanaan yang matang, dan pintar berdalih, serta berbohong apabila dalam keadaan ditekan. Keenam, pintar memanfaatkan situasi dan peluang, didalam hal ini mengadu domba antar kekuatan politik, baik lawan politik yang berpotensi besar maupun kecil. Ketujuh, selalu menyebarkan desas-desus yag menjelk-jelekan lawan politik, dengan tujuan agar wibawa dan popularitas lawan politik turun di khalayak umum. Kedelapan mengorbankan bawahan ataupun teman dengan tujuan untuk mengamankan jabatan atau kedudukan. Kesembilan mengitimidasi dan mendiskriminasi lawan politik. sepuluh aktor politik harus menyebarkan mata-mata untuk mengawasi lawan politik.

Kisah novel Arok Dedes dan Arus Balik ini sesungguhnya menjadi cerminan perpolitikan Indonesia dari orde baru hingga reformasi hari ini. Point kedua dan kedua dapat dimaknai dalam bagi-bagi kekuasaan untuk menjaga stabilitas politik merupakan kharakteristik yang tercemin hingga dahulu. Ini dapat di kaji dan dibenturkan fenomena pasca pemilu 2019, aktor politik yang berkuasa dapat memberikan tawaran posisi kepada lawan politik agar mendapatkan stablitas politik. point keempat kita juga dapat sadingkan dengan fenomena perpolitikan nasional, paling dekat ialah fenomena Pa 212, merasa ada diskriminasi yang didapatkan oleh rezim yag berkuasa. Kelompok ini melakukan konsolidasi dan menghasilkan kekuatan politik yang besar dalam ingin menumbang rezim. Point-point selanjutnya pembaca dapat menafsirkan sendiri dengan pembenturan realitas sosial, penulis merasa point selanjutnya membuat anda berfikir dan memiliki analisis sendiri yang sama dengan penulis bahwa realita perpolitikan Indonesia hari ini sama dengan realita kondisi perpolitikan masa lampau.

Pengendalian Kekuasaan Politik Jawa

Pramoedya menjelaskan ada tiga komponen penting dalam pengendalian kekuasaan politik jawa. Pertama memberikan kekuasaan maupun jabatan kepada keluarga maupun kerabat dekat dilingkaran kekuasaanya. Hal itu bertujuan untuk mengamankan jabatan dan kekuasaanya. Kedua, memberikan kekuasaan maupun jabatan kepada orang yang berjasa, dengan tujuan untuk menyetujui kebijakan yang dibuat. Ketiga, kekuasaan diberikan oleh penguasa kepada orang lain atau kelompok lain suatu jabatan, kemudian diikuti dengan perjanjian syarat-syarat harus mematuhi kebijakan dan peraturan yang dibuat penguasa. Jadi ketiga hal tersebut yang dimaksud adalah oligarki politik atau dinasti.             Bagaimana dengan konteks fenomena perpolitikan di Indonesia. Mengulas di point pertama, kita bisa mengkroscek peta parpol di Indonesia dipimpin oleh kalau tidak Militer, Pengusaha, dan teknokrat lama. Tiga latarbelakang ini mewarnai partai politik di Indonesia. Di Indonesia partai politik atau kekuasaan tingkat daerah menurunkan kekuasaan kepada kerabat dan keluarga merupakan hal yang sangat mudah ditemui dan dianalisis namun kadang kali masyarakat kelas menengah kebawah  pekewuh dalam mengungkapkan. Pekewuh ialah tidak enakan. Tujuan dari ini semua bagi saya ialah mengamankan aset kekayaan tidak hanya sekedar jabatan. Maka iklim perpolitikan di Indonesia sangat oligarki.  Point kedua memberikan jabatan kepada orang yang berjasa di Indonesia adalah hal yang umum , salah satu tujuannya adalah memberikan tanggung jawab yang dapat di kontrol oleh penguasa. Point ketiga dianamakan politik dagang sapi, memberikan kekuasaan kepada orang namun dengan syarat yang harus di ikuti dan dijalankan sesuai perintah atasan. Model ini telah berjalan saat orde baru.

MEMBONGKAR KONSTRUKSI PIKIRAN ARIEL HERYANTO DAN ASEP BAYAT: KEHADIRAN POST-ISLAMISME DALAM BINGKAI BUDAYA POPULER DI INDONESIA

Oleh : Fairuz Arta Abhi Praya

(Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)

Seorang penjual buku yang memiliki sebuah “kegilaan” terhadap kajian politik identitas pernah beberapa kali menarik perhatian saya terhadap fokus studinya menegenai hubungan integral antara islam dan modernitas budaya populer dalam bingkai personifikasi identitas beberapa remaja di Indonesia. Saya pribadi mencoba untuk sangat berhati-hati untuk mendiskusikan perihal fenomena ini, mengingat bahwasanya agar tidak ada pemahaman yang bias serta hasil dari proses salah tangkap untuk memahami sedikit kajian politik identitas dalam tulisan ini.

Sebelum membahas lebih mendalam mengenai pokok bahasan yang ada ditulisan ini, alangkah lebih berimbangnya jika kita (termasuk penulis) untuk memahami definisi dasar dari fenomena Islamisme itu senditi.  Merujuk pada tulisan Ariel Heryanto dalam bukunya yang berjudul Identitas dan Kenikmatan; Politik Budaya layar Indonesia[1], definisi mendasar mengenai konsep islemisme sendiri adalah sekumpulan gerakan sosial yang berupaya untuk menerapkan ajaran islam dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dalam lingkup seluas mungkin, termasuk pada aspek hukum yang bersifat syariah sebagai dasar pemerintahan sebuah negara.

Sedikit bernostalgia bagaimana ideologi yang berlawanan terhadap pancasila dihantam habis, termasuk juga dengan fenomena islamisme yang sempat meredup di era pemerintahan otoriter mantan presiden soeharto dibalik ideology hyper-nasionalisme yang selalu di disebar luaskan (bahkan merabah sampai sentimen anti-cina). Gerakan islamisme mulai marak diusung kembali pasca jatuhnya rezim otoriter dan dimulainya era reformasi pada tahun 2000-an, ditandai dengan gerakan kelompok islam yang hadir dengan mengibarkan simbol identitas, ajakan yang massif dan berbagai munculnya gerakan identitas teologis dalam bingkai kebebasan demokrasi.

Gerakan islamisasi telah menemukan bingkai rancanganya sendiri untuk menembus batasan-batasan dan isi dalam pergulatan ideologi di Indonesia pasca order baru, Padahal gerakan-gerakan semacam itu pernah ditekan begitu kerasnya pada era orde baru dan meninggalkan luka tersendiri.

Namun sebuah hal yang perlu digaris bawahi adalah menguatnya politik identitas (dalam konteks ini adalah islamisme) bukan serta-merta terjadi karena jatuhnya soeharto dan kebangkitan reformasi saja, berpindahnya haluan soeharto untuk menyikapi kembali kelompok islam dalam roda pemerintahanya menjelang akhir jabatanya pada 1990-an, juga turut menyumbang upaya penguatan politik identitas, meskipun era reformasi adalah pusat dari menguatnya politik identitas dalam sejarah Indonesia.

Ariel Heryanto 1secara lugas memaparkan perjalanan proses penguatan politik identitas di Indonesia dari mulai order baru hingga reformasi, tegasnya pada pertengahan 1980-an pelajar prempuan dihukum karena menggunajakan hijab di seklah sekuler, pada tahun 2003 beberapa daerah di Indonesia mulai memperkenalkan konsep syariah yang menghukum pelajar prempuan yang tidak menggunakan hijab dan pada tahun 2003 sebuah kelompok teater terkenal bernama teater koma terpaksa menghapus beberapa naskah yang memiliki kesan guyonan terhadap kelompok islam. Islamisme mulai mampu menembus batasan-batasan yang sudah lama terkubur pada masa pemerintahan otoriter.

Sampai mahakarya film terbesar dan tersukses yang turut membantu agenda proses post-islamisme yaitu film ayat-ayat cinta pada tahun 2008, juga dituding sebagai upaya memperkenalkan islam ke khalayak publik dalam bingkai budaya populer.

Film yang bertemakan islami ini menggunakan latar belakang timur tengah dengan menggambarkan sosok keislaman para aktornya, dan di akhir film ini menggambarkan tentang kesuksesan islam sebagai sebuah identitas yang sedang digandrungi banyak remaja. Berbagai film bertemakan islam yang menggambarkan tentang puncak kesuksesan dari seseorang adalah mengenai bertaubat, masuk islam, menjadi muslim yang sesungguhnya, popularitas dan sukses dalam hal kapital.

 Namun dari berbagai deretan film bernuansa islami, film ayat-ayat cinta masih menjadi idola berbagai kalangan khususnya remaja dalam menyikapi sebuah film bernuansa islam,  kemunculan film ini juga memulai sebuah konsep budaya populer remaja islam di Indonesia yang menjadi salah satu pendorong kemunculan post-islamisme.

Sedikitnya Asep Bayat[2] telah memberikan penjelasan mengapa post-islamisme dimulai dari sebuah gerakan demokratisasi, Bayat memamparkan bahwa post-islamisme muncul sebagai bahasa guna memunculkan rasa percaya diri sebuah kelompok, tujuanya adalah untuk memobilisasi massa kelas menengah yang merasa kalah dalam dominasi politik, ekonomi serta budaya ditengah kekosongan ideology sebuah bangsa. Dan menurut mereka kekosongan ideology ditengah kegagalan kapitalisme dan utopia sosialisme yang sedang merebak, mampu di isi dengan kajian agama (moralitas) sebagai pengganti kendaraan berpolitik.

Asef Bayat[3], adalah seorang ilmuwan sosial yang meneliti mengenai fenomena serupa di Iran, dalam karyanya yang berjudul The Coming of a Post-Islamist Society, Critique: Critical Middle East Studies, Bayat berhasil menjelaskan bahwa kemunculan pendakwah baru menjadi faktor bangkitnya post-islamisme, selama berabad-abad sebelumnya kelompok pendakwah telah mengorbankan waktu dan tenaganya untuk mempelajari kajian agama secara sangat serius didalam institusi pendidikan agama seperti pesantren maupun sekolah formal islam di timur tengah.

Namun kehadiran kelompok pendakwah baru turut menggeser keberadaan mereka dimata para remaja, tampilan yang begitu mentereng bak “millenialistik” serta materi kajian yang terkesan ringan dan tidak jauh dari pembahasan pernikahan, pertemanan dan pekerjaan. Bahkan tak jarang kebanyakan dari kelompok pendakwah baru ini hadir bukan karena latar belakang pendidikan agama mereka, melainkan Karen kemampuan komunikasi, berpidato, busana serta kemampuan dalam memaksimalkan media baru.

Kelompok pendakwah baru berhasil memuaskan dahaga para remaja yang mencoba mencari sebuah jalan pintas untuk belajar hal-hal teologis agama, dengan berbagai kelebihan yang telah disebutkan diatas maka sangat wajar jika kelompok pendakwah baru mampu menjangkau seluruh kalangan remaja, para pemburu popularitas dan pemburu kekayaan. Sedangkan untuk para kelompok pendakwah tradisional hal ini menjadi sebuah tantangan baru dalam era demokratisasi dan pertarungan ideology, bahkan remaja Indonesia tidak mengenal kyai sepuh dari NU dan Muhammadiyah.

Hari ini kita dapat melihat bagaimana banyak pendakwah baru yang muncul dalam menyerukan hijrah massal, dan hal ini telah banyak diikuti oleh para remaja Indonesia karena kelebihan-kelebihan yang telah dimiliki oleh para pendakwah baru. Namun hasil dari ‘hijrah’ masal tersebut memiliki implikasi serius dalam menghasilkan remaja yang tidak bias meninggalkan sikap konsuptif terhadap apa yang selama ini mereka kerjakan.

Sebagai contoh seorang remaja prempuan yang memutuskan untuk hijrah dan mengikuti syariat-syariat islam dengan getol, namun tetap saja mereka memiliki kefanatikan terhadap boyband korea. Contoh selanjutnya adalah bagaimana remaja prempuan hijrah masih memandang kontes kecantikan prempuan muslim berjilbab sebagai puncak kesuksesan seorang muslimah, contoh lain ada juga yang mengikuti makeup artist khusus pengguna hijab untuk mempercantik diri sendiri.

Hal ini mengindikasikan bahwa ada sebuah kegundahan massal antara remaja yang ingin mengeksplorasi islam secara besar-besaran, namun di sisi lain mereka tidak ingin kehilangan budaya populer modern yang selama ini mereka kerjakan. Sebenarnya yang menjadi sebuah inti pertanyaan adalah siapa yang menciptakan standar kecantikan untuk para remaja berhijab?

Perpaduan antara islamisme dengan budaya populer yang menghasilkan fenomena post-islamisme telah merangsang para agent kapitalisme untuk terus menciptakan produk-produk dengan tujuan dikonsumsi oleh para remaja hijrah. Hal ini merupakan implikasi khusus bahwa ada sebuah keberhasilan para agent kapitalisme dalam bentuk produk kecantikan untuk menciptakan standar kecantikan bagi para muslimah Indonesia, dan akhirnya ini merupakan sebuah bentuk keberhasilan kapitalisme dalam upaya menjinakan islam itu sendiri.

Menurut Heryanto, Hal-hal tersebut juga didukung oleh menyusulnya para agent of halal yang menawarkan produknya dengan tujuan memuaskan rasa konsuptif remaja post-islamisme di Indonesia. Para actor Agent of Halal tersebut bias dikatakan sebagai para public figure yang secara tiba-tiba hijrah dengan cara mengekspresikanya di ruang public, contoh saja bagaimana Teungku Wisnu sudah merubah penampilanya secara total pasca berhijrah.

Produk-produk yang ditawarkan bias berupa kosmetik, jasa, barang sampai dengan bank-bank berlabel syariah yang sengaja di promosikan oleh para agent of halal disegala segmen. Eksploitasi islam secara brutal melalui media baru juga turut membangkitkan bentuk post-islamisme di Indonesia, media baru yang berperan sebagai alat promosi serta menyebar luaskan dakwah merupakan bentuk yang paling mutakhir era modern dalam mengisi kekosongan ideology sebuah bangsa.

Namun hal pokok yang menjadi pertanyaan adalah, apakah tingkat ketakwaan para remaja muslim di era post-islamisme dengan gaya konsumtif pendakwah baru, agent of halal dan produk-produk keberhasilan kapitalisme memiliki implikasi serius kepada tingkat ketakwaan mereka? Atau hanya sebagai pelengkap dalam mengisi kekosongan ideology sebuah bangsa? Mari kita diskusikan.


[1] Heryanto, A. (2014). Identitas dan Kenikmatan; Politik Budaya Layar Indonesia

[2] Bayat, Asef. (2990). The Coming of a Post-Islamist Society, Critique: Critical Middle east Studies.

[3] Bayat, Asef. (2990). The Coming of a Post-Islamist Society, Critique: Critical Middle east Studies.