PENGUMUMAN PESERTA SEKOLAH PEMANTAU KISP

Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) pada bulan Juli membuka pendaftaran Sekolah Pemantau KISP bagi masyarakat yang mau ikut untuk berdiskusi terkait dengan pemantauan Pilkada 2020.

Berikut ini daftar peserta yang lolos tahap administrasi dan dapat mengikuti Sekolah Pemantau KISP. Daftar peserta dapat diunduh pada berkas di bawah ini:

Note: Setelah peserta dinyatakan lolos, peserta akan dihubungi oleh Tim dari Komite Independen Sadar Pemilu (KISP)

REALISASI ANGGARAN KESEHATAN PILKADA

Oleh: Christian Deswinta

Relawan Pemantau KISP Kota Depok

Sejak penyelenggaraan Pilkada pertama kali yang merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Otonomi Daerah untuk pertama kalinya dilaksanakan di Kendari, dan secara khusus pada tahun 2007 dilaksanakan di DKI Jakarta. Perjalanan penyelenggaraan Pilkada tidak lepas dari berbagai permasalahan yang pelik. Mulai dari politik uang, partisipasi memilih yang rendah di beberapa daerah, kehadiran calon tunggal di beberapa provinsi, bahkan secara kontroversial di tahun 2014 ada upaya tarik ulur keberadaan Pilkada oleh DPR RI melalui sidang paripurna terkait penyelenggaraan Pilkada dipilih secara langsung oleh rakyat atau dikembalikan ke DPRD. Dewasa ini penyeleggaraan Pilkada dihadapkan kembali pada sebuah tantangan baru yakni mewabahnya Covid-19 di Indonesia. Penyelenggaraan Pilkada kali ini akan menjadi yang pertama sebagai penyelenggaraan ditengah situasi bencana non-alam. Ini menjadi pertanyaan lebih lanjut bagaimana angka partisipasi pemilih nantinya?

Perkembangan partisipasi politik yang terjadi pada pilkada serentak atau biasa disebut sebagai voter turnout menunjukkan bahwa rata-rata partisipasi Pilkada serentak sejak pertama kali diselenggarakan hanya berkisar dibawah 60 persen. Itu terjadi dibeberapa kota seperti di Surabaya yang hanya 48 persen, Tangerang Selatan dengan 55 persen, dan Kota Depok dengan 53 persen. Lebih parah lagi adalah kota Medan yang partisipasi memilihnya hanya mencapai 25 persen. Hal ini juga dapat menjadi tantangan, khususnya dalam meraih legitimasi partisipasi masyarakat sipil. Memilih adalah “hak” bagi setiap warga negara dan sudah dijamin dalam konstitusi kita, namun kembali ke pertanyaan tadi, seberapa besar masyarakat mau dating ke tempat pemungutan suara (TPS) dengan adanya pandemic Covid-19 yang mengancam kesehatan dan keselamatannya? Ini tentu bersandar pada kesadaran masyarakat, tidak hanya kesadaran atas hak politiknya, tetapi ha katas kesehatannya yang turut perlu diperhatikan.

Selain itu penyelenggaraan Pilkada hari ini diatur lebih lanjut dalam PKPU No. 6 Tahun 2020 yang beberapa tahapan krusial disandarkan pada protokol kesehatan. Dalam realisasinya pemerintah perlu merogoh kocek untuk penyediaan alat kesehatan seperti hand sanitizer, alat pelindung diri, face shield, dan lain sebagiannya. Secara khusus, di Kota Depok anggaran Pilkada yang disetujui adalah berkisar 60 miliar, akan tetapi untuk realisasi alat kesehatan jelas membutuhkan anggaran tambahan. Ditambah lagi dalam penambahan TPS di setiap 11 kecamatan. Meskipun begitu, Permasalahan pencairan dana pilkada juga tidak begitu saja muncul. Proses realisasi anggaran Pilkada dilakukan secara bertahap. Bertahapnya proses pencairan anggaran juga bisa menimbulkan ketimpangan antara rencana dan praktik nantinya mengingat TPS-TPS baru masih dalam tahap perencanaan dan bahkan bias saja menimbulkan pengeluaran yang tak terduga lainnya. Anomali yang terlihat adalah ketika anggaran yang diperlukan untuk penyelenggaraan Pilkada sangat ambisius, tetapi pada praktiknya proses pencairan anggaran lambat. Permasalahan anggaran ini berpotensi menjadi celah untuk terjadinya politisasi yang nantinya menimbulkan asumsi electoral fraud di masyarakat. Karena seluruh tahapan Pilkada membutuhkan kepastian anggaran untuk menjamin tahapan dapat dilakukan. Kepastian anggaran akan selalu berimplikasi pada terjaminnya alat kesehatan. Kita bisa melihat bahwa permasalahan anggaran merupakan masalah yang serius apalagi menyoal konsistensi penerapan protokol kesehatan. Penerapan protokol kesehatan dari penyelenggara setidaknya dapat meyakinkan publik bahwa ditengah pandemik Covid-19, Pilkada bisa dilaksanakan dengan memerhatikan keselamatan dan kesehatan warga negara, baik itu penyelenggara, peserta, hingga pemilih. Sejatinya, momentum penyelenggaraan Pilkada ditengah pandemi ini dapat dijadikan sebagai langkah awal pendewasaan demokrasi di Indonesia.

MATERI SHARING BARENG: STRATEGI PENDIDIKAN PEMILIH DALAM PENINGKATAN KUALITAS PEMAHAMAN PEMILIH DI PILKADA 2020 #AwasPilkadaRawan

Berikut Materi Sharing Bareng: Strategi Pendidikan Pemilih dalam Peningkatan Kualitas Pemahaman Pemilih di Pilkada 2020 #AwasPilkadaRawan. Materi ini merupakan materi yang disampaikan oleh Bapak Antoniyus selaky Komisioner KPU Provinsi Lampung dan Ibu Nurlia Dian Paramita selaku Peneliti Senio JPPR.

Materi dapat diunduh di bawah ini

PILKADA DI TENGAH PANDEMI COVID-19 UNTUNGKAN PETAHANA?

Oleh: Muh. Nandi

(Alumni Fakultas Hukum Universitas Andi Djemma Palopo/Ketua Bidang Pembinaan Anggota HMI Cabang Palopo)

Pemilihan Kepala Daerah akan kembali digelar pada Tahun 2020 di 270 Daerah, dengan rincian 9 Provinsi, 224 Kabupaten dan 37 Kota. Sebanyak 220 daerah berpotensi  terdapat calon petahana. Pilkada 2020 berbeda jika dibandingkan dengan penyelenggaraan pilkada sebelumnya karena saat ini Indonesia sedang dilanda wabah penyakit Covid-19. Dengan adanya pandemi Covid-19, KPU RI pada 21 Maret 2020 memutuskan untuk menunda tahapan pilkada yang tertuang dalam Keputusan Nomor:179/PL.02-Kpt/01/KPU/III/2020 tentang Pelaksanaan Keputusan KPU tersebut.

Pilkada merupakan pesta demokrasi daerah, dimana calon kepala daerah dipilih secara demokratis dengan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pilkada serentak tahun 2020 yang rencananya dilaksanakan pada tanggal 23 September ditunda karena adanya pandemi Covid-19. Penyelenggaraan pilkada di masa pandemi Covid-19 menjadi polemik ditengah masyarakat, akademisi maupun politisi. Melalui berbagai pertimbangan antara Komisi II DPR, Pemerintah dan KPU, menyepakati Pilkada serentak dilaksanakan pada 9 Desember 2020 sesuai dengan PERPPU No 2 Tahun 2020 tentang Pilkada. Kepastian pelaksanaan Pilkada 9 Desember 2020 disampaikan langsung oleh Ketua Komisi II Ahmad Doli Kurnia, ia mengemukakan kesepakatan juga sudah merujuk pertimbangan dan dukungan dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 terhadap pelaksanaan Pilkada melalui surat “Ketua Gugus Tugas Nomor: B 196/KA GUGAS/PD.01.02/05/2020 Tanggal 27 Mei 2020”. Pemerintah yang diwakili Kemendagri juga berpendapat bahwa tanggal 9 Desember 2020 merupakan opsi paling optimistis untuk melaksanakan pemungutan suara pemilihan Kepala Daerah (pilkada) dibandingkan dengan dua opsi lainnya yaitu Maret 2021 dan Desember 2021, karena tidak ada yang menjamin pandemi Covid-19 akan berakhir pada tahun 2021.

Sesuai dengan Keputusan KPU Nomor:258/PL.02-Kpt/01/KPU/VI/2020 Tahapan Pilkada serentak lanjutan dimulai pada tanggal 15 Juni 2020. Tahapan verifikasi faktual pasangan calon perseorangan dimulai pada tanggal 18 Juni, tahapan pendaftaran pasangan calon dimulai pada tanggal 4-6 September, penetapan pasangan calon tanggal 23 September  dan masa kampanye 26 September-5 Desember.

Pelaksanaan pilkada serentak dimasa pandemi Covid-19 dinilai membutuhkan biaya yang cukup tinggi, karena petugas maupun pemilih diwajibkan mematuhi protokol kesehatan. Selain biaya yang cukup tinggi, pilkada dimasa pandemi Covid-19 juga dianggap akan menguntungkan calon petahana atau incumbent. Sebab penyelenggaraan pilkada di masa pandemi Covid-19 bisa menjadi momentum calon petahana untuk lebih dekat dengan pemilih. Apalagi, jika ada calon petahana yang mengambil kesempatan dari kesempitan dengan memanfaatkan situasi pandemi sebagai ajang pencitraan. Disisi lain, komunikasi politik calon penantang petahana dengan masyarakat dalam kondisi pandemi Covid-19 sangat terbatas. Calon penantang  tidak bisa bergerak seluas-luasnya dan mengumpulkan massa yang banyak, karena di beberapa daerah masih melarang adanya kerumunan warga di tempat tertentu. Kandidat mana pun memang akan kesulitan untuk melakukan sosialisasi ke masyarakat karena adanya aturan yang larangan berkerumun. Namun, apabila calon penantang petahana tidak bergerak dari sekarang, ia akan tertinggal atau disalip oleh kandidat lain.

Sementara itu, petahana sudah dikenal luas oleh masyarakat. Calon petahana dapat memanfaatkan situasai pandemi Covid-19 ini untuk menarik simpati masyarakat. Jika Kepala Daerah mampu menangani Covid-19  dengan baik, itu akan menjadi nilai tambah untuk calon petahana. Petahana berkesempatan memanfaatkan program bantuan penanganan Covid-19 yang disalurkan pemerintah pusat maupun daerah untuk memperoleh perhatian dari pemilih/masyarakat. Dengan cara menyalurkannya secara merata dan adil kepada masyarakat yang ekonomi nya terdampak Covid-19. Apalagi jika Kepala Daerah (calon petahana) turun langsung ke masyarakat membagikan sembako dan bantuan lain, itu akan menjadi nilai tambah di mata masyarakat. Jadi boleh dikatakan calon petahana sudah jalan duluan untuk menarik simpati dari konstituen. Sementara itu, penantang petahana tak punya akses terhadap hal tersebut. Kalau Pilkada saat ini dilaksanan dalam situasi pandemi Covid-19 dengan protokol kesehatan, di mana ada batasan-batasan pertemuan massa, itu tentu lebih menguntungkan calon incumbent daripada calon non-incumbent yang sebenarnya mungkin mereka belum dikenal tapi mereka butuh mengenalkan diri di tahapan pencalonan/kampanye. Sebaliknya, pilkada ditengah pandemi Covid-19 merupakan ujian bagi calon petahana, sebab masyarakat akan menilai kepemimpinannya dalam situasi yang tidak normal bukan hanya bisa memimpin dalam situasi normal. Situasi pandemi Covid-19 bisa menjadi kerugian bagi petahana, kalau kemudian Kepala Daerah (calon petahana) dinilai gagal dalam menangani Covid-19 dan tidak meratanya bantuan sosial ke masyarakat, maka publik bisa berpaling atau akan memilih kandidat lain yang bisa lebih dipercaya. Apalagi kasus pandemi Covid-19  merupakan masalah yang saat ini menjadi perhatian publik. Situasi ini bisa menjadi ajang adu gagasan dan adu berbuat bagi calon petahana dan calon lainnya karena ini jadi satu hal yang menarik. Kegagalan petahana menangani Covid-19  menjadi amunisi bagi lawannya dalam berkampanye. Pandemi Covid-19 juga dapat menyebabkan kinerja Kepala Daerah (calon petahana) tak fokus. Apalagi jika terjadi perpecahan kongsi ditengah jalan antara kepala daerah itu sendiri dan wakilnya. Jika keduanya hendak maju kembali di pilkada tetapi tak lagi berpasangan, maka, baik kepala daerah maupun wakilnya akan bersaing merebut suara pemilih, termasuk dengan memanfaatkan situasi pandemi Covid-19.

MATERI NGOBROL BARENG #AWASPILKADARAWAN: ANCAMAN POLITIK UANG DI PILKADA 2020

Berikut Materi Ngobrol Bareng #AwasPilkadaRawan: Ancaman Politik Uang di Pilkada 2020. Materi ini merupakan materi yang disampaikan oleh  Bapak Giri Suprapdiono selaku Direktur Dikyanmas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia dan Ibu Sutrisnowati, Sh., MH., M.Psi selaku Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Daerah Istimewa Yogyakarta.

Materi dapat diunduh di bawah ini

Policy Brief Pilkada di Tengah Pandemi Covid-19 dan Aksesibilitas badi Pemilih Difabel

Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) merilis Policy Brief dari acara Ngaji Pemilu #5: Pilkada di Tengah Pandemi Covid-19 dan Aksesibilitas badi Pemilih Difabel.

Policy Brief ini berisi analisia terkait dengan pelaksanaan Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19 dan implikasinya terhadap pemilih difabel.

Lebih lengkapnya, Policy Brief dapat diunduh pada link di bawah ini: