KISP AJAK KELOMPOK PEREMPUAN BERBAGI PERAN DALAM PEMANTAUAN PEMILU

Komite Independen Sadar Pemilu yang diwakili oleh Moch Edward Trias Pahlevi selaku Koordiantor Umum berkesempatan untuk berkolaborasi dan terlibat sebagai narasumber dalam agenda Pendidikan Pemilih untuk Segmen Perempuan dengan tema “Partisipasi Organisasi Perempuan dalam Pemilu 2024″. Agenda ini dilaksanakan pada Selasa (30/8/2022) bertempat di Science Theater Taman Pintar Yogyakarta.

Agenda ini dihadiri oleh sebanyak 50 peserta dari berbagai organisasi perempuan yang tergabung dalam Gabungan Organisasi Wanita (GOW) di Kota Yogyakarta.

Acara dibuka langsung oleh Ketua KPU Kota Yogyakarta Hidayat Widodo, dan Kepala UPT Taman Pintar yang diwakili oleh Maria Novi Setyowati.

Adapun narasumber lainnya yang dihadirkan adalah Siti Nurhayati selaku Komisioner KPU Kota Yogyakarta. Diskusi ini juga dimoderatori langsung oleh Frenky Argitawan Mahendra yang juga merupakan Komisioner KPU Kota Yogyakarta.

Dalam penyampaiannya, Edward menyoroti optimalisasi peran perempuan sebagai bagian dari keluarga dan juga organisasi perempuan, agar dapat berperan menjawab tantangan masalah-masalah dalam pemilu. Beberapa peran yang dapat diambil diantaranya pemberantasan politik uang hingga pemanfaatan media sosial untuk berpartisipasi dalam Pemilu 2024 mendatang.

Selain itu, Edward juga mengajak para peserta untuk berbagi peran dalam melakukan pemantauan di tiap-tiap tahapan Pemilu 2024 saat ini.

KISP LAKUKAN AUDIENSI BERSAMA KPU RI DAN SERAHKAN POLICY BRIEF

Dalam rangka menyongsong persiapan pemantauan Pemilu 2024, Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) yang melakukan kunjungan audiensi kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, pada Senin (29/8/22) bertempat di Kantor KPU RI Jakarta. Agenda audiensi ini dilakukan sekaligus dalam rangka penyerahan Policy Brief dan penjajakan kolaborasi antara KISP dan KPU RI. Dari pihak KPU RI dihadiri oleh August Mellaz yang merupakan Komisioner KPU RI beserta jajaran kesekretariatan.

Policy Brief yang diaudiensikan ini berisikan tentang penerapan digital leadership dalam pelayanan pendidikan pemilih, yang merupakan hasil penelitian KISP kepada KPU dan Bawaslu di Lima Provinsi, yakni: 1) Sumatera Utara; 2) DKI Jakarta; 3) Jawa Barat; 4) Jawa Tengah; dan 5) Jawa Timur.

KISP kemudian memaparkan hasil temuan dari policy brief tersebut yang meliputi beberapa aspek evaluasi penerapan digital leadership diantaranya: 1) Faktor Kelembagaan; 2) Kompetensi Sumber Daya Manusia; dan 3) Infratruktur Digital.

“Poin temuan kami ialah belum ada tersedianya roadmap digitalisasi di KPU di daerah-daerah, juga berkaitan dengan SDM yang masih kebingungan dalam hal optimalisasi penerapan digital,”

jelas Edward selaku Koordinator Umum KISP

KISP juga menyoroti potensi pemanfaatan digital sebagai medium optimalisasi partisipasi masyarakat dalam menyongsong Pemilu 2024. Selain itu, KISP juga melakukan penjajakan kerja sama dan menyampaikan komitmennya untuk bersinergi dengan KPU guna mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam Pemilu.

Merespon baik hal tersebut, August Mellaz juga menyatakan kesiapan jajarannya baik di pusat, provinsi hingga kabupaten/kota untuk berkoordinasi dan berkolaborasi dalam berbagai program guna menyukseskan pemilu.

“Apa yang disampaikan oleh KISP (temuan data) dengan apa yang sedang kami bangun sangat selaras, sehingga ini menjadi masukan yang baik buat kami,”

terang August Mellaz.

ERA DIGITAL, DEMOKRASI, DAN LAJU RADIKALISME

Oleh:

Nur Kholis S.Sos (Duta Damai Jatim, Guru SMA Annur Bululawang Malang, Lembaga Pers PC IPNU Kab. Mojokerto, Mahasiswa S2 Sosiologi FISIP UNSOED)

*Tulisan ini sepenuhnya mewakilkan pandangan penulis dan tidak mewakili pandangan KISP secara kelembagaan

Era digital ditandai dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasiserta digitalisasi di banyak aspek kehidupan manusia. Di era ini, kita dimanjakan dengan berbagai fasilitas, salah satunya adalah kemudahan dalam mengakses beragam informasi dengan menggunakan internet dan berbagai platform digital yang lain. Bahkan, kehadiran internet dan platform digital bukan barang mewah saat ini, karena pembangunan membawa dampak signifikan yang membuat kita semakin mudah berselancar menjelajahi dunia maya.

 Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Data Portal, dalam laporan yang berjudul Digital 2022: jumlah pengguna media sosial di Indonesia mencapai 191,4 juta pada Januari 2022. Angka ini bertambah 21 juta atau sekitar 12,6 persen dari tahun 2021. Jumlah ini setara dengan 68,9 persen dari total populasi penduduk Indonesia yang saat ini menyentuh angka 277,7 juta per Januari 2022.

Berbagai kemajuan di era digital, seharusnya membawa energi positif dan semangat perbaikan bagi kehidupan masyarakat. tetapi, nampaknya bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi. Bagaimana kita melihat nilai-nilai dan norma-norma sosial mulai memudar karena orang-orang lebih memilih berinteraksi menggunakan media sosial.

Ketika di sebuah acara dan kita bertemu dengan teman-teman kita ngobrol, diskusi, saling dialog secara langsung sehingga lebih mendekatkan secara emosional. Kemudian dengan hadirnya smarthphone seakan-akan mampu mengubah segalanya. Budaya kita yang awalnya menyukai diskusi, membangun komunikasi, interaktif seolah-olah berubah menjadi individualis. Orang-orang meskipun duduk bersebelahan, namun tidak saling bertegur sapa dan lebih asyik bermain dengan handphone-nya masing-masing.

Internet dan media sosial di era digital bukan hanya sebagai aksesoris belaka, melainkan media informasi bagi banyak orang. Media sosial bukan sekedar sebagai alat pelengkap pada momen-momen membahagiakan dan penting semata, tapi sudah menjelma menjadi kebutuhan wajib bagi sebagian besar orang.

Tetapi, di tengah pesatnya kemajuan teknologi dan media sosial, justru memunculkan permasalahan baru beberapa waktu terakhir. Bahkan persoalan tersebut dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Persoalan tersebut disebabkan karena penyalahgunaan media sosial. Media sosial yang seharusnya digunakan untuk menggali informasi dan ilmu pengetahuan, banyak disalahgunakan untuk hal-hal yang negatif dan tidak layak. Seperti digunakan untuk menyebarkan berita bohong, ujaran-ujaran kebencian, hasutan, hoaks bahkan sarana penyebaran paham radikalisme.

Pertumbuhan media sosial digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk menebarkan virus-virus kebencian. Kita dengan mudahnya menemukan akun-akun yang secara aktif menebarkan kebencian atas nama kelompok, suku, agama, dan individu yang beredar secara luas di internet. Internet digunakan untuk menghujat dan mencaci maki orang atau kelompok yang berbeda pandangan dengan dirinya.

Di masa pandemi Covid-19, kelompok teroris memaksimalkan aktivitas daring. Kelompok-kelompok tersebut menggunakan media sosial untuk melakukan aktivitas propaganda, melaksanakan proses rekrutmen anggota baru hingga kegiatan pendanaan.  Kelompok radikal dan teroris menggunakan media sosial secara massif untuk menanamkan doktrin radikal di masyarakat.

Aktivitas di dunia maya relatif lebih mudah dilakukan, dan cenderung lebih efektif dalam mendogma generasi muda untuk turut serta mendukung ideologi radikal dan ikut terlibat aksi terror. Rekrutmen anggota secara daring juga menjadi program prioritas bagi kelompok-kelompok radikal untuk mendapatkan anggota sebanyak-banyaknya. Ruang digital yang bebas seperti ini menimbulkan problematika baru dalam kehidupan sosial.

Indonesia merupakan negara demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan dan kemerdekaan. Namun, kebebasan yang dimaksud bukan berarti kebebasan tanpa batas seperti sekarang.  Di mana kita bebas menyebarkan provokasi, hujatan, atau ujaran kebencian terhadap orang lain. Karena kebebasan seperti ini tidak sesuai dengan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Pancasila. Lebih dari itu, sikap seperti itu juga bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Seringkali kita terjebak pada sifat sombong, merasa paling benar, paling unggul, dan paling superior. Kebebasan seperti ini tidak membangun kesadaran mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa, tapi malah menciptakan sikap fanatisme buta. Kondisi yang demikian, mendorong paham-paham radikal dan ekstrem berkembang pesat di Indonesia. keadaan ini sangat disayangkan, bagaimana kebebasan yang kita terapkan, tidak diimbangi dengan pengetahuan dan kebijaksanaan menjadi lahan subur berkembangnya ideologi radikal. Kita tidak boleh memungkiri bahwa media sosial digunakan menjadi sarana penyebaran kebencian, informasi palsu, dan radikalisme.

Tapi kita harus bergerak untuk melakukan counter penyebaran paham-paham ekstremisme dan radikalisme. Beberapa tindakan yang bisa kita lakukan untuk memutus penyebaran paham radikalisme dan terorisme adalah pertama, kita dapat bekerja sama dengan pemerintah untuk membangun sebuah badan keamanan siber nasional yang secara konsisten menghalau berbagai pengaruh negatif dari penggunaan internet.

Kedua, bergabung dengan organisasi-organisasi yang konsisten mengembangkan dakwah yang moderat, santun dan menyejukkan. Dengan begitu kita mampu membangun konektivitas untuk mengkampanyekan nilai-nilai perdamaian dan toleransi dengan lebih massif dan optimal, serta dapat mengimbangi konten-konten negatif yang mengancam keutuhan bangsa di dunia maya dan kehidupan sosial.

Ketiga, membangun dialog lintas agama dan budaya secara berkala untuk saling mengenal, belajar, dan mencintai. Dengan dialog, maka semuanya bisa saling memahami, sehingga timbul rasa cinta dan perasaan saling memiliki. Dengan terciptanya perasaan saling memiliki akan menguatkan persatuan dan kesatuan bangsa yang kuat dan tangguh.

KISP GANDENG KPK DI KELAS KETIGA KURSUS KEPEMILUAN NASIONAL

Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia pada Kelas Ketiga Kursus Kepemiluan Nasional KISP yang digelar pada Sabtu (20/08/2022) secara daring melalui Zoom Meeting Apps. Pada kesempatan ini, KPK RI dihadiri oleh Dian Rachmawati yang saat ini menjabat sebagai Kepala Satuan Tugas Kampanye pada Direktorat Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK RI.

Acara yang dihadiri oleh 100 lebih peserta dari berbagai daerah asal ini dibuka oleh Muhammad Iqbal Khatami yang merupakan salah satu Peneliti KISP. Iqbal memberikan pengantar terkait urgensi pengawasan terhadap isu korupsi pemilu di Indonesia.

“Ada relasi yang sangat erat antara pemilih dan politisi dalam korupsi pemilu yang terjalin dalam fenomena-fenomena seperti pork barrel hingga clientelistic, semuanya merupakan akar dari banyak korupsi-korupsi yang terjadi di Indonesia,”

ucap Iqbal.

Agenda ini kemudian dilanjutkan dengan pemaparan dari Dian Rachmawati atau yang akrab disapa Dira. Dalam salah satu poin penyampaiannya, Dira menyoroti terkait besarnya biaya politik yang harus dikeluarkan saat pemilihan.

“Studi KPK pada 2021 menunjukan biaya politik pilkada sangat besar untuk calon kepala daerah. Untuk tiap paslon rata-rata mengeluarkan miliaran. Kondisi ini mendorong adanya alternatif kontestasi pilkada dibiayai sponsor, sehingga ada konsekuensi yang harus dipenuhi berkaitan dengan harapan pihak sponsor sebagai cikal bakal terjadinya korupsi ketika menjabat,”

jelas Dira.

Dira kemudian menjabarkan data terkait modal finansial hingga besarnya mahar politik di tiap daerah.

“Modal finansial juga masih menjadi faktor tertinggi sebagai faktor paling berpengaruh dalam pemenangan pilkada yakni sebesar 95,5%. Begitu juga dengan Mahar politik bisa yang mencapai miliayaran untuk proses kandidasi, sama halnya dengan biaya pencalonan antara calon dengan parpol,”

tambah Dira.

Pasca pemaparan, peserta begitu antusias mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam sesi diskusi. Agenda ini kemudian ditutup dengan Quiz yang berisi pertanyaann-pertanyaan dari materi yang dipaparkan oleh pembicara sebelumnya.

AMBIGUITAS PENANGANAN PELANGGARAN PENCATUTAN NAMA DI SIPOL

Oleh: Nasarudin Sili Luli (Pegiat Kebangsaan)

Tahapan pendaftaran dan verifikasi administrasi calon peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 tengah berlangsung. Partai politik yang hendak mengikuti pemilu telah mendaftarkan diri di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam kurun waktu 1-14 Agustus 2022. Merujuk Pasal 2 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 4 Tahun 2022 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu, partai politik yang mendaftar sebagai peserta pemilu harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan peraturan perundang-undangan.

Partai politik pendaftar akan diverifikasi oleh KPU, baik secara administrasi maupun faktual. Partai yang memenuhi syarat selanjutnya akan dinyatakan lolos dan ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024. Lantas, apa saja tahapan verifikasi dan kapan partai politik yang lolos sebagai peserta Pemilu 2024 diumumkan? Tahapan pendaftaran sebagaimana telah disebutkan, tahapan verifikasi partai politik calon peserta pemilu akan dilakukan secara administrasi dan faktual.

Verifikasi administrasi merupakan penelitian terhadap kelengkapan dan keabsahan dokumen sebagai pemenuhan persyaratan partai politik menjadi peserta pemilu. Sementara, verifikasi faktual dapat diartikan sebagai penelitian dan pencocokan terhadap kebenaran dokumen persyaratan dengan objek di lapangan. Peserta yang tak lolos verifikasi akan diberi waktu untuk memperbaiki dokumen persyaratan. Nantinya, hanya  partai politik yang memenuhi syarat yang ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024.

Dari deretan persyaratan yang harus di penuhi oleh partai politik di atas, hal yang kemudian menyita perhatian publik baru–baru ini adalah terkhususnya bagi penyelenggara pemilu KPU dan Bawaslu yang dicatut namanya oleh parpol sebagai anggota partai politik tertentu. Hingga hari ke-14 tahapan pendaftaran parpol dan hari ke-13 tahapan verifikasi administrasi, setidaknya terdapat 275 nama penyelenggara pemilu (Bawaslu) tercatat dalam keanggotaan dan kepengurusan parpol dari hasil pengawasan tahapan pendaftaran partai politik calon peserta pemilu 2024,komisi pemilihan umum (KPU) mendapati sebanyak 98 anggota penyelenggara pemilu di daerah namanya dicatut dalam keanggotaan partai politik. Hal ini didapati usai penyelenggara yang bersangkutan mengadukannya ke KPU. Atas temuan ini, KPU menyatakan hal itu terjadi karena Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) terbatas untuk membaca status pekerjaan di KTP elektronik (Kompas 2022).

Kewenangan Bawaslu

Pertanyaannya; bagaimana Bawaslu menangani dugaan pelanggaran  pencatutan nama  oleh partai politik seperti yang diuraikan di atas? Pencatutan nama penyelenggara pemilu yang diinput ke dalam sistem informasi partai politik (Sipol) merupakan data awal untuk bahan penelusuran. Bagi Bawaslu, dengan adanya data penyelenggara pemilu dan pihak yang dilarang tersebut dapat dijadikan informasi awal untuk dilakukan penelusuran kebenaran informasi.

Berdasarkan Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) Nomor 21/2018 tentang Pengawasan Penyelenggaraan Pemilu diatur mengenai akhir dari penelusuran terhadap suatu masalah. Salah satunya disebutkan dalam Pasal 8 Perbawaslu 21/2018, “Apabila hasil pengawasan yang dituangkan dalam formulir model A terdapat dugaan pelanggaran, Pengawas Pemilu dapat melakukan saran perbaikan dalam hal terdapat kesalahan administratif oleh penyelenggara”

Hasilnya akan direkomendasikan perbaikan kepada KPU dan parpol terkait anggota parpol dari unsur masyarakat yang dilarang menjadi anggota parpol. Dalam prosesnya penyelenggara pemilu dan atau parpol tidak menindaklanjuti hasil penelusuran Bawaslu yang berupa rekomendasi, maka akan dilakukan tindakan selanjutnya. Apabila saran perbaikan tidak ditindaklanjuti oleh KPU dan parpol, maka temuan pelanggaran tersebut akan ditindaklanjuti dan diproses sesuai ketentuan yang berlaku.

Dalam pasal 8 ayat (1) berbunyi dalam melakukan pengawasan setiap tahapan pemilu, pengawas pemilu wajib menuangkan setiap kegiatan pengawasan dalam formulir model A. Ayat (2) berbunyi apabila hasil pengawasan yang dituangkan dalam formulir model A terdapat dugaan pelanggaran, pengawasan pemilu dapat melakukan (a) saran perbaikan, dalam hal terdapat kesalahan administrasi oleh penyelenggara; (b) jika saran perbaikan tidak dilaksanakan maka dijadikan temuan dugaan pelanggaran; atau (c) pencatatan sebagai temuan dugaan pelanggaran hal ini sejalan dengan Pasal 180 UU 7 tahun 2017 ayat (1) Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota melakukan pengawasan atas pelaksanaan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu yang dilaksanakan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Ayat (2) Dalam hal Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota menemukan kesengajaan atau kelalaian yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU.

Kabupaten/Kota dalam melaksanakan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu sehingga merugikan atau menguntungkan partai politik calon Peserta Pemilu, maka Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota menyampaikan temuan tersebut kepada KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Ayat (3) Temuan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib ditindaklanjuti oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Artinya pada huruf (b) ada konsekuensi pidana terhadap KPU jika kemudian hasil temuan dari Bawaslu tidak di tindak lanjuti oleh KPU.

Anehnya, dalam penerapan pada ketentuan pidana, hanya mengatur kelengkapan verifikasi bakal calon DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dan presiden dan wakil presiden. Pasal 518 UU 7/2017 Setiap anggota KPU, KPU Provinsi, dan/atau KPU Kabupaten/Kota yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan/atau Bawaslu Kabupaten/ Kota dalam pelaksanaan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (3) dan/atau pelaksanaan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (3) dan Pasal 261 ayat (3) dan/atau pelaksanaan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon Presiden dan Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000.00 (tiga puluh enam juta rupiah)

Kondisi ini penulis menyebut sebagai ambiguitas dalam penanganan tindak pidana pemilu khususnya pada tahapan pendaftaran partai politik. Jika pencatutan nama tersebut dalam penerapan pasal hanya berkonsekuensi pada penyelenggara pemilu (KPU), maka bagaimana dengan pihak yang menjadi korban atas pencatutan nama tersebut?

Ambiguitas Pidana Pemilu

Jika kita menjadikan asas hukum  pada UU no 7 tahun 2017 Pasal 520 yang berbunyi “ setiap orang yang dengan sengaja membuat surat atau dokumen palsu dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai, atau setiap orang dengan sengaja memakai surat atau dokumen palsu untuk menjadi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi DPRD kabupaten/Kota, untuk menjadi pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagai mana dimaksud dalam pasal 254 dan pasal 260 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.72.000.000.00 (Tujuh puluh dua juta rupiah ).

Pertanyaan “selanjutnya” adalah soal pencatutan nama orang lain untuk kepentingan keterpenuhan sebagai syarat administrasi keanggotaan partai politik tidak ditemukan pada tahapan pendaftaran partai politik jika kita menggunakan pendekatan pasal 520 di atas, hal sama juga ditemukan pada ketentuan pidana dalam pasal 544 yang berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum memalsukan data dan daftar pemilih, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.72.000.000.00(tujuh puluh dua juta rupiah).

Artinya konstruksi yang dibangun dalam penerapan pasal 520 dan 544 sama sekali tidak menyentuh substansi “pemalsuan’’ dan ’pencatutan‘ pada tahapan pendaftaran partai politik, kondisi ini kemudian dari penyelenggara pemilu Bawaslu akan kesulitan jika menggunakan diksi ‘pemalsuan’ pada tahap pendaftaran partai politik karena sama sekali tidak menyebutkan unsur pemalsuan dokumen tersebut pada tahapan pendaftaran partai politik, inilah yang penulis sebut sebagai ambiguitas dalam penanganan pelanggaran pemilu pada saat pendaftaran partai politik.

Jika kondisi dalam penanganan pelanggaran pemilu pada saat pendaftaran partai politik tidak menemukan kepastian hukum di tengah masyarakat terkhusus yang merasa dirugikan oleh oknum parpol yang suda mencatut identitas pribadi untuk keterpenuhan syarat keanggotaan partai politik, lantas bagaimana langkah penyelesaian selanjutnya. Karena hampir pada tahapan akhir pendaftaran partai politik ironisnya Gakkumdu tingkat kabupaten/kota juga belum ada kepastian untuk pembentukan mengingat hal ihwal krusial yang harusnya menjadi leading sectore dari penanganan pelanggaran pidana pemilu.

Pidana Umum

Pada persoalan pencatutan identitas pada pokok persoalan di atas jika publik tidak segerah mendapat kepastian hukum karena persoalan regulasi dan belum terbentuknya Gakkumdu pada tingkatan kabupaten/kota maka ada alternatif penyelesaian hukum yang bisa ditempuh lewat pidana umum. Orang-orang tersebut yang merasa dicatut namanya pada saat pendaftaran partai politik  tersebut dapat dipidana berdasarkan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yang menerangkan sebagai berikut:

“Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Hal tersebut di atas dipertegas oleh pendapat ahli Moh. Anwar dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid I  yang menyatakan bahwa dalam Pasal 378 KUHP terdapat unsur-unsur sebagai berikut: Pertama Unsur Subyektif: dengan maksud  a. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum. Kedua Unsur Objektif: membujuk atau menggerakkan orang lain dengan alat pembujuk atau penggerak a. Memakai nama palsu b. Memakai keadaan palsu c. Rangkaian kata bohong; d. Tipu Muslihat agar: ( 1) Menyerahkan suatu barang; ( 2)  Membuat hutang; (3)  Menghapuskan hutang.

Bila melihat isi ketentuan dan pendapat ahli hukum pidana tersebut di atas, memasukkan nama orang lain dengan mencatut dengan maksud menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum maka sesungguhnya penerapan pasal penipuan dalam pencatutan identitas orang lain adalah merupakan sebuah pelanggaran hukum. Penipuan adalah delik laporan, oleh karena itu, baik pihak yang mengetahui adanya pencatutan nama seorang oleh oknum partai politik agar terpenuhnya syarat administrasi pendaftaran partai politik maka sesungguhnya telah melanggar pasal 263 KUHP. Selain itu, dapat juga dipidana atas dasar pemalsuan surat sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

Ayat (1) berbunyi Barang siapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukan sebagai bukti dari suatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama enam tahun Ayat (2)Diancam dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. Terkait pasal di atas, Adami Chazawi dalam bukunya yang berjudul Kejahatan Terhadap Pemalsuan, menjelaskan tentang pengertian pemalsuan surat sebagai berikut: “Membuat surat palsu (membuat palsu/valselijk opmaaken sebuah surat) adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian isinya palsu. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya.”

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menjelaskan mengenai surat yang dipalsu sehubungan dengan Pasal 263 KUHP, yaitu bahwa surat yang dipalsukan tersebut harus suatu surat yang:

Dapat menerbitkan suatu hak misalnya: (1).ijazah, karcis tanda masuk, surat andil, dan lain-lain); (2). Dapat menerbitkan suatu perjanjian (misalnya: surat perjanjian utang piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa, dan sebagainya);(3). Dapat menerbitkan suatu pembebasan utang (kuitansi atau surat semacam itu); atau (4).Suatu surat yang boleh dipergunakan sebagai suatu keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa (misalnya: surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan, obligasi, dan lain-lain).Artinya suda secara jelas dijelaskan pada bagian di atas bahwa perbuatan dengan mencatut atau memalsukan identitas seseorang untuk kepentingan sebagai syarat keterpenuhan syarat administrasi partai politik akan memiliki dampak dan implikasi serta konsekuensi hukum .

MENYONGSONG PEMILU DAN PEMILIHAN 2024: EFISIENSI BEBAN KERJA BADAN AD HOC

Pemilu dan Pemilihan yang merupakan pesta demokrasi 5 Tahunan di Indonesia akan digelar serentak pada Tahun 2024 mendatang. UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang dan diubah beberapa kali terakhir UU Nomor 6 Tahun 2020. Pemilihan Umum (Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD dan DPRD) akan dilaksanankan pada 14 Februari 2024. Sedangkan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Walikota, sesuai UU 10 Tahun 2016 dilaksanakan pada 27 November 2024.

Dasar pertimbangan Pemilu pada 14 Februari 2024 adalah memberikan waktu yang memadai antara penyelesaian sengketa hasil pemilu dan penetapan hasil pemilu dengan jadwal pencalonan pemilihan, mengingat salah satu syarat pencalonan pemilihan adalah hasil pemilu tahun 2024 berupa jumlah suara atau jumlah kursi DPRD.  Agar hari pemungutan suara tidak bertepatan pada kegiatan keagamaan yakni bulan Ramadhan, rekapitulasi hasil penghitungan suara tidak bertepatan dengan hari raya idul fitri. Serta pertimbangan yang terakhir yakni memperhatikan beban kerja badan adhoc pada tahapan pemilu yang beririsan dengan tahapan pemilihan.

Tantangan konsekuensi keserentakan pemilu dan pemilihan Tahun 2024 adalah jadwal dan tahapan pemilu dan pemilihan berpotensi beririsan bertabrakan, beban penyelenggara kian bertambah dan berpotensi mengakibatkan banyak kecelakaan kerja. Berkaca pada Pemilu 2019, beban kerja yang berlebihan juga berpengaruh pada persiapan kelengkapan logistik, yakni banyak TPS kekurangan surat suara, formulir C tidak lengkap, hingga surat suara tertukar Dapil. Beban kerja yang berlebihan juga berpengaruh pada kondisi fisik yang tidak prima dan kurang maksimal. PSU di 705 TPS, pemilu susulan di 2.260 TPS, hingga pemilu lanjutan di 296 TPS.

Data Badan Ad hoc kecelakaan kerja pada pemilu Tahun 2019 berjumlah 798 Orang. KPPS 546 Orang, PPS 128 Orang, PPK 63 Orang, Linmas 61 Orang. Tantangan ini tidak ada jaminan kesehatan bagi badan Ad hoc dengan beban kerja yang berat dalam keserentakan pemilu dan pemilihan 2024. Irisan pekerjaan badan adhoc pemilu dan pemilihan 2024. Beratnya beban kerja badan Ad hoc ini memerlukan penyesuaian mekanisme kerja.

Masa kerja Badan Ad hoc pada pemilu dan pemilihan 2024, baik bagi PPK, PPS, dan KPPS yakni selama 15 Bulan untuk PPK, 14 Bulan untuk PPS,  dan 1 Bulan untuk KPPS pada pemilu. Sedangkan pada pemilihan, 9 Bulan untuk PPK, 8 Bulan untuk PPS, dan 1 Bulan KPPS. Agar irisan tahapan pembentukan badan Ad hoc pemilu dan pemilihan tidak terlalu banyak maka KPU merekomendasikan pengankatan/pengukuhan kembali Badan Ad hoc pemilu sebagai Badan Ad hoc pemilihan.

Tidak ada irisan masa kerja Badan Ad hoc bagi PPK dan PPS karena pemilu berakhir 27 April 2024, dan masa kerja PPK dan PPS pemilihan bisa dimulai setelah Bulan April 2024. Pembentukan PPK dan PPS pemilihan dengan mekanisme pengangkatan/pengukuhan kembali PPK dan PPS pemilu setelah sebelumnya dilakukan evaluasi. Praktik ini sudah ditetapkan saat terjadi irisan antara pemilihan 2018 dan pemilu 2019 dan tertuang dalam juknis pembentukan adhoc Pemilu Nomor 31 Tahun 2018.

Ketentuan  pengangkatan kembali anggota PPK dan PPS masih memenuhi syarat sebagai anggota PPK dan PPS dengan dilakukan evaluasi terhadap kinerja yang bersangkutan pada saat menjabat sebagai anggota PPK dan PPS. Dalam melaksanakan evaluasi, KPU Kabupaten/Kota menggunakan metode kuesioner oleh sesama anggota PPK, sekretariat dan KPU Kabupaten/Kota.

Irisan tugas Ad hoc pemilihan adalah jika terjadi pemungutan suara ulang atau putaran kedua Pilpres. Badan Ad hoc pemilu dan pemilihan dengan personil yang sama akan melaksanakan dua tahapan secara paralel pada bulan Mei-Juni 2024. Pelaksanaan pemutakhiran data pemilih putaran kedua akan berbarengan dengan pemutakhiran data pemilih untuk pemilihan pada bulan Mei sehingga bisa dilaksanakan oleh Ad hoc. Pemungutan suara pada bulan Juni 2024 beririsan dengan verifikasi faktual pencalonan pemilihan di tingkat Desa/Kelurahan. Konsekuensi perlu pengaturan mekanisme kerja di level PPS pada irisan pelaksanaan tahapan pemilu Presiden putaran kedua dan pemilihan. Adhoc yang menjabat mendapatkan honor pemilu dari APBN dan pemilihan dari APBD. Perlu dukungan personil dan anggaran bagi adhoc yang melaksanakan irisan tahapan pemilu dan pemilihan jika terjadi pemilu Presiden putaran kedua.

Efisiensi Kerja dengan Penerapan Sistem IT

Pada era zaman 4.0 ini, kebutuhan teknologi IT sangat di perlukan dan sangat bermanfaat. Manfaat informasi teknologi, meningkatkan efeksifitas, efisiensi penyelenggara, kecepatan proses dan kualitas layanan kepada parpol, peserta pemilu, pemilih serta stakeholder lainnya. Meningkatkan trasparansi dalam setiap proses tahapan pemilu. Menghasilkan data yang mutakhir dan berkualitas. Melakukan pengecekan kegandaan data pemilih, data calon, data anggota partai dan data dukungan perseorangan. Berikut ini kebutuhan IT yang ada di KPU meliputi; SIDALIH (Sistem Informasi Daftar Pemilih), sistem yang membantu KPU dan Badan Ad hoc dalam mengelola tahapan pemutakhiran data pemilih. SIPOL (Sistem Informasi Partai Politik), sistem yang mendukung dalam pengelolaan tahapan pendafaran verifikasi dan penetapan parpol peserta pemilu. SIDAPIL (Sistem Informasi Daerah Pemilihan), sistem yang membantu KPU dalam mengelola dan menyusun dapil DPRD Kab/Kota beserta jumlah alokasi kursinya berdasarkan 7 prinsip penataan dapil menggunakan peta digital. SILON (Sistem Informasi Pencalonan), sistem yang mendukung dalam pengelolaan tahapan pencalonan DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota, Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah. SILOG (Sistem Informasi Logistik), sistem yang membantu KPU dan badan adhoc dalam menejemen pengelolaan logistik kebutuhan pemilu. SIDAKAM (Sistem Inormasi Data Kampanye), sistem yang mendukung dalam pengelolaan dana kampanye dan jadwal kampanye parpol dan peserta pemilu. SIREKAP (Sitem Informasi Rekapitulasi), sistem yang mendukung dalam pengelolaan tahapan rekapitulasi hasil penghitungan suara. SIAKBA (Sistem Informasi Anggota KPU dan Badan Adhoc), sistem informasi anggota KPU dan Badan Adhoc yang membantu KPU dalam pengelolaan data anggota KPU dan Badan Adhoc.


Oleh: Rai Bhakti Juniar (raibhakti.jr@gmail.com)

(tulisan yang dikirimkan dan dimuat di laman KISP tidak mewakili KISP secara kelembagaan)

KISP JAJAKI KERJASAMA DENGAN BAKESBANGPOL KOTA YOGYAKARTA

Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) melakukan kunjungan dan audiensi ke Kantor Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Yogyakarta pada Senin (15/8/22). Kunjungan dan Audiensi ini merupakan penjajakan kerjasama program pendidikan demokrasi dan kepemiluan antara KISP dan Badan Kesbangpol Kota Yogyakarta.

Kehadiran KISP disambut oleh Widiyastuti selaku Kepala Bidang Politik Dalam Negeri dan Organisasi Kemasyarakatan. Rencananya, penjajakan kerjasama awal yang akan dijalankan adalah kolaborasi pendidikan kepemiluan dan demokrasi bagi pelajar sekolah menengah atas dan sederajat di Kota Yogyakarta.

Selain itu, KISP dan Badan Kesbangpol Kota Yogyakarta juga akan merancang kerja sama riset berbasis bigdata terkait pemetaan konflik sosial politik di Kota Yogyakarta.

APAKAH WEBSITE KOMISI PEMILIHAN UMUM (KPU) ITU SUDAH INKLUSIF?

Dalam konteks Pemilu/Pilkada di Indonesia, kebutuhan terlaksananya Pemilu dan Pilkada yang inklusif bagi kelompok difabel merupakan sebuah isu yang penting untuk dibahas. Mengingat, inklusifitas akan berpengaruh terhadap tercipta atau tidaknya Pemilu dan Pilkada yang berintegritas.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan salah satu penyelenggara Pemilu yang memiliki tanggungjawab untuk dapat menciptakan Pemilu dan Pilkada yang inklusif bagi kelompok difabel.

Inklusifitas bagi kelompok difabel dalam rangka mendukung Pemilu dan Pilkada yang berintegritas sejatinya dapat dimulai dari penerapan website yang inklusif. Website menjadi salah satu platform yang saat ini dapat digunakan sebagai acuan dan sumber informasi, bahkan pelaksanaan tanggungjawab Komisi Pemilihan Umum (KPU) yaitu melaksanakan pendidikan pemilih. Namun sayangnya dalam penelitian yang dilakukan oleh Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) menemukan bahwa website Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik di tingkat Nasional maupun Daerah tidak inklusif bagi kelompok difabel. Alasannya beragam, yaitu:

  1. Tidak adanya fitur pembaca layar (screen reader) yang otomatis;
  2. Tidak banyaknya konten berbasis video atau suara;
  3. Tidak adanya penerjemah bahasa isyarat dalam konten video;
  4. Tidak adanya fitur penyesuaian tampilan layar (screen magnifier);
  5. Terdapat beberapa informasi yang tidak dapat dibaca oleh aplikasi pembaca layar;
  6. Website Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nasional maupun Daerah tidak menyediakan fitur saran/lapor jika terjadi eror/gangguan atau fitur yang memungkinkan adanya interaksi dua arah antara pengguna dan admin website;
  7. Masih banyak komponen dekoratif yang menyulitkan pembaca layar menerjemahkannya; hingga
  8. Penggunaan warna yang tidak kontras.

Beberapa poin tersebut akan menyulitkan kelompok difabel untuk menggunakan dan mengakses informasi di dalam website Komisi Pemilihan Umum (KPU). Padahal, sudah banyak peraturan perundang-undangan yang berlaku misalnya dalam Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) yang kemudian diratifikasi ke dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011, Undang-Undang Nomor 8 tahun tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya.

DORONG PARTISIPASI PEMILIH, AUGUST MELLAZ: KITA RANCANG PEMILU 2024 AGAR LEBIH INKLUSIF

August Mellaz saat penyampaian materi di agenda Kursus Kepemiluan Nasional KISP

Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) menyelenggarakan kelas kedua Kursus Kepemiluan Nasional pada Sabtu, (13/08/2022) melalui Aplikasi Zoom Meeting. Kursus Kepemiluan Nasional ini merupakan program berkesinambungan yang dijalankan oleh KISP dalam rangka peningkatkan kapasitas dan kolaborasi dengan masyarakat dari berbagai elemen, dengan tujuan untuk menyongsong partisipasi masyarakat menuju Pemilu 2024.

Berkaitan dengan hal tersebut, pada kelas kedua ini KISP mengangkat tema “Urgensi Partisipasi Pemilih dalam Pemilu”. Dengan dinarasumberi oleh August Mellaz yang merupakan Komisioner KPU RI 2022-2027.

Kelas yang dilangsungkan secara daring ini dibuka langsung oleh Moch. Edward Trias Pahlevi selaku Koordinator Umum KISP.

“Tema yang diangkat kali ini kita rasa penting dalam proses kepemiluan kita, karena partisipasi pemilih menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan pemilu. dengan digitalisasi yang masif seharusnya dapat menjadi momentum pendorong keterlibatan masyarakat dalam pemilu,”

Jelas Edward

Dalam penyampaiannya, August Mellaz menyampaikan terkait isu-isu strategis dalam konteks partisipasi masyarakat dalam menyongsong Pemilu 2024. Ia menyatakan bahwa hak partisipasi masyakarat dalam pemilu merupakan bagian dari operasionalisasi pasal 450 dan 132 UU Pemilu dan UU Pemilihan/Pilkada.

Selain itu, secara khusus August juga menyampaikan bahwa KPU RI sedang mendorong agar pemilu dan pemilihan 2024 dapat lebih inklusif.

“Rancangan peraturan yang sedang kami susun dalam RPKPU kita rancang sebagai instrumen hukum yang dapat mengoperasionalkan pemilu dan pemilihan 2024 yang inklusif,”

ucap August.

Selain isu-isu tersebut, August juga menyampaikan beberapa isu strategis lain yang perlu menjadi perhatian dalam mendorong partisipasi pemilih, diantaranya terkait 1) bentuk partisipasi, 2) sosialisasi dan pendidikan pemilih, 3)pemantauan, 4) instrumen, transparansi dan akuntabilitas, dan 5) center of knowledge dan kolaborasi antar pihak.