Menegakkan Keadilan Pemilu melaui Sistem Proporsional Tertutup?

Oleh: Nugroho (Dosen pada Program Studi Manajemen STIE YA Bangko)

*Tulisan merupakan pendapat pribadi penulis, tidak mewakili KISP secara kelembagaan


Sebagian pihak sedang melakukan gugatan uji materi terhadap Undang – undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum yang ditujukan kepada Mahkamah Konstitusi. Salah satu pasal yang digugat dalam UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu adalah pasal 168 ayat 2 tentang penggunaan sistem proporsional terbuka dalam pemilihan Anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/kota.

Hingga kini, Mahakamah Konstitusi masih belum memutuskan terkait dengan gugatan tersebut, Sementara itu tahapan pencalolan Anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/kota telah berjalan. Penulis mencoba mengulas tentang sistem proporsional dalam pemilihan pencalolan Anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/kota bukan dari perspektif hukum tata negara, tetapi mencoba membatasi dengan menggunakan perspektif sosial politik. Hal ini digunakan untuk menganalisa apakah penerapan sistem proporsional tertutup dapat memberikan rasa keadilan pemilu bagi calon anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/kota.

Penulis menilai dari sebanyak tiga kali Pemilu Legestif dilaksanakan dengan menggunakan sistim proporsional terbuka justru bukan kematangan potilik yang didapatkan, peran partai politik dalam mengedukasi dan melakukan proses rekruitmen politik seperti yang diamanahkan Undang undang nomor 2 tahun 2008 bisa dikatakan gagal. Saat ini, partai politik seakan mengandalkan elektabilas, popularitas dan sumbar daya para calon anggota legeslatif untuk mendulang suara yang kemudian dikonversi menjadi kursi.

Menjelang penetapan Calon Anggota Tetap oleh KPU pindah dari partai politik satu ke partai politik satunya menjadi hal yang biasa kita lihat. Fenomena lain ada juga Anggota Dewan Aktif yang menggundurkan diri untuk maju melalui partai baru pilihanya atau sekadar untuk mendukung calon Presiden yang diusung oleh partai barunya. Misalnya yang terbaru, dagelan yang dipertontonkan pada tahap pencalonan anggota legislatif untuk Pemilu legeslatif 2024 oleh Aldi Taher, seorang artis yang mencalonkan diri melaui Partai Bulan Bintang (PBB) untuk DPRD DKI Jakarta dan sekalus melalui Partai Perindo untuk DPR RI, hal ini menunjukan ada masalah dengan sistim kepartaian kita.

Ketidaksesuaian antara visi misi partai dengan visi misi calon anggota legislatif sering kali terjadi, hal ini dikarenakan calon anggota legislatif tersebut belum mengetahui arah dan tujuan dari partai itu sendiri. Bagaimana bisa calon anggota legislatif akan mengerti arah dan tujuan partai sementara dianya baru beberapa minggu atau bulan menjadi anggota partai tersebut.

Keanehan lain juga bisa kita temui di lapangan, dimana pemilih sebenarnya kurang atau bahkan tidak setuju dengan partai tertentu (sebut saja partai A), tetapi karena ada kerabat yang mencalonkan diri sebagai anggota legestalif melalui partai A, akhirnya si pemilih menentukan pilihanya pada calon anggota legislatif tersebut yang tentu saja akan menguntungkan bagi partai A dalam konversi suara ke kursi jika si calon anggota legislatif tersebut terpilih.

Proporsional Tertutup sebagai Jawaban?

Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah, kembalinya penerapan sistem proporsional tertutup apakah akan memberikan kewenangan penuh kepada elit partai seperti sebelumnya? Jawabanya justru, dalam tiga Pemilu terakhir penetapan calon anggota legislatif cenderung dilakukan oleh elit partai. Untuk menghindari hal tersebut, maka perlu dilakukan revisi terhadap undang-undang parpol yang mengatur rekruitmen politik dan pencalolan anggota legistatif. Misalkan pencalolan anggota legislatif yang akan diusulkan ke KPU dilakukan melalui musyawarah partai dan calaon anggota dewan tersebut dapat mempertanggung jawabkan kinerjanya pada anggota partai lainya setiap tahunnya.

Penolakan banyak partai politik terhadap sistem Pemilu tertutup dalam pandangan saya merupakan bentuk ketidaksiapan partai untuk berkompetisi dengan visi misi partai. Maka dari itu, saat ini partai masih membutuhkan elektabilitas, popularitas bahkan sumber daya dari para calon anggota legislatifnya. Meski sistem proporsional tertutup ini tidak dapat menghilangkan praktik “money politic” dalam proses Pemilu, tetapi setidaknya dengan sistem proporsional tertutup akan mengurangi praktik “money politic” di tingkat akar rumput dikarenakan tidak menggunakan sumber daya personal tetapi menggunakan sumber daya partai yang akan lebih mudah untuk diawasi, demikian juga dengan keterwakilan perempuan.

Keterwakilan perempuan 30% sangat sulit untuk tercapai dengan sistem Pemilu proporsional terbuka. Berkaca pada tiga pemilu sebelumnya, jumlah anggota dewan pada tahun 2009 terdapat 65 orang anggota DPR RI perempuan, pada tahun 2014 sebanyak 100 orang anggota DPR RI perempuan dan yang tertinggi pada tahun 2019 per januari 2021 sebanyak 123 orang anggota DPR RI perempuan dengan porsi keterwakilan perempuan sebesar 21,38 persen.

Meski terjadi peningkatan jumlah keterwakilan perempuan, kita tidak bisa menutup mata terkait dengan tidak terpenuhinya keterwakilan perempuan dalam Pemilu legislatif. Ada banyak variabel yang menyebabkan keterwakilan perempuan tidak tercapai, hal ini dikarenakan ada satu fakta lapangan bahwa penyertaan perempuan dalam pencalonan anggota legeslatif hanya sebagai pemenuhan syarat undang-undang semata.

Tentu saja kesalahan dan kegagalan ini kita arahkan ke partai politik yang telah gagal dalam proses kaderisasinya karena waktu 15 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Akan berbeda jika kita menggunakan sistem proporsional tertutup, meskipun akan ada beragam sanggahan karena pada sebelum pemilu 2009 keterwakilan perempuan juga tidak terpenuhi, tetapi setidaknya dalam kondisi sosial politik (kesadaran politik masyarakat indonesia) saat ini pilihan menggunakan sistem proporsional tertutup menjadi pilihan terbaik. Khususnya terkait dengan keterwakilan perempuan tentu saja diperlukan mekanisme dan aturan yang dapat mengakomodasi keterwakilan perempuan sebagai anggota legeslatif dengan mempertimbangkan rasa keadilan.

Memilih Manusia Politik, Bukan Politisi

Oleh:

Nur Kholis (Mahasiswa S2 Sosiologi Unsoed)

*Tulisan merupakan pendapat pribadi penulis, tidak mewakili KISP secara kelembagaan


Indonesia akan melaksanakan Pemilu pada 14 Februari 2024 mendatang, bersama dengan berbagai dinamika yang mewarnai mulai dari isu proporsional tertutup atau terbuka, gugatan partai politik hingga isu penundaan pemilu. 

            Pemilu 2024 akan menjadi gelombang pemilihan umum kelima dalam era reformasi sejak diselenggarakan pertama kali tahun 2004. Baik dari sisi penyelenggaraan maupun kontestan, terdapat fenomena menarik. Hal ini karena pemilu dilaksanakan pasca Pandemi Covid-19, dan dari sisi kontestan tidak kalah menarik.

            Setiap ajang kontestasi, partai politik senantiasa bergeliat membangun komunikasi, kerjasama, hingga berlomba-lomba menjaring kandidat terbaik untuk dicalonkan dalam arena kontestasi baik dari kalangan internal maupun eksternal parpol. Pemilu 2024 nanti akan sangat berbeda dengan pemilu sebelum-sebelumnya, karena hingga hari ini belum ada pasangan yang mendominasi secara elektabilitas dan cenderung dari segi bursa sangat kompetitif.

            Hal itu disebabkan kepemimpinan yang sekarang (petahana) sudah tidak dapat mencalonkan lagi, sehingga setiap partai politik bekerja ekstra mulai awal untuk meraih kemenangan.  Menghadapi pemilu 2024, partai-partai politik mulai bergerak membangun interaksi sosial secara simultan. Interaksi dan komunikasi dibutuhkan sebagai pengamalan prinsip bahwa partai politik bukan hanya berfungsi sebagai kendaraan bagi kalangan elite untuk merebut kekuasaan.

            Prof. Firmanzah, dalam bukunya yang berjudul “Marketing Politik” sejatinya kekuasaan bukan tujuan akhir dari setiap aktivitas politik, tapi dinilai sebagai alat (sarana) demi memperjuangkan kepentingan dan membenahi kualitas kehidupan masyarakat. Untuk itu, dalam setiap penyelenggaraan pemilihan, masyarakat diharapkan mampu menggunakan mata dan akal budi yang dimilikinya secara optimal untuk menjatuhkan pilihan terakhirnya kepada manusia politik, bukan politisi.  Manusia politik dan politisi memiliki pengertian yang berbeda satu sama lain.

            Manusia politik merupakan individu yang penuh dengan kecintaan, memiliki syahwat untuk memproduksi dan mereproduksi gagasan-gagasan besar, memiliki spirit berorganisasi yang kuat, serta mempunyai kecenderungan untuk memposisikan kemaslahatan masyarakat diatas kemaslahatan pribadi dan kelompok.

            Sedangkan politisi, ia hanya mempunyai nafsu untuk berkuasa tanpa diimbangi dengan spirit dan gagasan-gagasan mulia, bahkan nirempati terhadap rakyat. Dalam pandangan politisi, partai politik hanya dijadikan sebagai kendaraan untuk meraih tujuannya yakni merebut kekuasaan. Apabila dirinya sudah menemukan partai lain yang dianggap lebih menjanjikan, ia tidak akan sungkan untuk keluar dari partai sebelumnya dan berpindah ke partai yang lain.

            Dalam proses kontestasi, tidak jarang para politisi tersandera oleh kepentingan pragmatis yang meyakni bahwa parpol hanya sebagai media untuk meraih kekuasaan. Hal ini yang mereduksi makna penting dari perjuangan untuk rakyat itu sendiri. Tetapi, dengan pendidikan politik yang berkesinambungan, pola pikir masyarakat dapat tercerahkan secara perlahan, dan mampu membedakan mana orang dan parpol yang hanya mengejar kepentingan sendiri dan kelompoknya dan mana orang dan yang benar-benar memiliki ketulusan dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.

            Bukan hanya itu, dalam berbagai kompetisi, para politisi tidak segan-segan melakukan berbagai cara untuk memenuhi syahwatnya terhadap kekuasaan, termasuk menggunakan politik identitas, kampanye hitam (black campaign), politik uang (money politics), dan berbagai cara lainnya. Karena yang terpenting bagi para politisi adalah tercapainya nafsu kekuasaan.

            Namun sebaliknya, manusia politik menilai bahwa politik adalah sebuah jalan pengabdian yang sejati kepada masyarakat. dia merupakan sebuah jembatan yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengatasi beragam problematika yang dihadapi oleh bangsa dan negara. sedangkan kekuasaan, dijadikan sebagai instrument untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Kekuasaan diraih bukan sekedar untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Namun, kekuasaan diperlukan untuk mengatur, dan mengarahkan kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik dan progresif.

            Kehadiran manusia politik diharapkan mampu menjadi duta yang secara konsisten menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan, adanya partai politik diperlukan sebagai sarana untuk mentransmisikan dan menerjemahkan apa yang menjadi pesan-pesan kerakyatan. Oleh karena itu para elit parpol dan masyarakat perlu berdialog secara berkelanjutan sehingga yang menjadi cita-cita bersama dapat tercapai.

            Oleh karena itu, masyarakat perlu menguatkan nalar kritis untuk menghindari pengaruh ucapan manis para politisi. Masyarakat perlu tegas menolak kehadiran politisi dan menggunakan hak pilihnya untuk memilih manusia politik. Kita perlu memilih figure manusia yang mampu memproduksi dan mereproduksi gagasan, yang mengutamakan kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadi.

            Mari kita  memperkuat persatuan dan kesatuan, bergotong-royong, bekerjasama, dan berkolaborasi untuk menyukseskan pemilu 2024 dan menolak segala bentuk politik yang dapat mengancam keutuhan hidup berbangsa dan bernegara. Mari kita jadikan perspektif manusia politik sebagai gagasan dan tindakan konkrit dalam pemilihan serentak nanti. Memilih manusia politik untuk meraih kehidupan yang penuh gagasan, nilai-nilai mulia, dan kesejahteraan.

Melalui Sekolah Demokrasi, Bakesbangpol Jogja dan KISP Ajak Pemilih Muda Aktif Berpartisi Dalam Pemilu

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan perubahan sosial, partisipasi pemilih muda pada Pemilu di Indonesia dihadapkan pada banyak tantangan. Dengan kuantitas yang sangat besar, pemilih muda menjadi pemegang kunci yang memiliki potensi untuk mewujudkan perubahan nyata dalam sistem politik kita. Namun, sayangnya, masih terdapat berbagai permasalahan yang menghambat partisipasi mereka.

Salah satu tantangan utamanya adalah mendorong peningkatan kualitas para pemilih muda agar tidak sekadar dipandang secara kuantitas, dan hanya sebatas dijadikan objek dalam politik. Kesadaran dan pemahaman yang komprehensif penting untuk terus ditumbuhkan, agar pemilih muda mampu memberikan suara dan mempengaruhi arah perubahan yang diinginkan.

Menatap tantangan tersebut, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Yogyakarta dan Komite Independen Sadar Pemilu membangun kolaborasi bersama melalui penyelenggaraan Sekolah Demokrasi pada Senin hingga jumat (22 – 26/5) bertempat di Hotel Burza Jogokaryan.

Dengan mengangkat tema ”Untuk Jogja Cerdas Politik dan Demokrasi”, dan menyasar peserta pemilih muda yang merupakan perwakilan dari 14 Kecamatan di Kota Yogyakarta, Sekolah Demokrasi bertujuan untuk memunculkan internalisasi nilai-nilai politik dan demokrasi yang baik di kalangan pemilih muda.

Sekretaris Badan Kesbangpol Kota Yogyakarta, Widiyastuti, berharap melalui kegiatan ini akan tercipta internalisasi nilai-nilai demokrasi yang baik di kalangan pemilih muda. ”Dengan adanya sekolah demokrasi ini akan memunculkan internalisasi tentang politik dan demokrasi yang baik, tetapi kemudian bukan hanya internalisasi tetapi itu sudah menjadi sebuah persepsi yang kemudian menjadi aksi,” terang Widiyastuti.

Widiyastuti juga berharap akan ada semakin banyak generasi muda yang mau berperan aktif terhadap proses demokrasi di negeri ini. Bukan hanya pasif seperti sekadar menjadi pemilih, tapi bahkan hingga menjadi penyelenggara (pemilu) juga.

Pendidikan Politik yang Dialogis dan Asyik

Selaras dengan yang disampaikan Koordinator KISP, Moch Edward Trias Pahlevi, mengharapkan dari total 250 peserta yang telah mengikuti Sekolah Demokrasi, akan ada semakin banyak kelompok muda yang mau berperan aktif dalam proses demokrasi, khususnya di Kota Yogyakarta.

Kami KISP juga mencoba untuk menyampaikan materi yang tidak hanya sebatas memberikan sosialisasi apa pentingnya pemilu dan demokrasi. tapi kami juga mencoba memberikan diskusi dan dialog yang mengasyikkan bagi pemilih muda,” tambah Edward

Edward juga menambahkan, peserta juga diajak untuk ikut mengkhayati persoalan terkait dengan pemilu dan menyusun apa langkah konkret para pemilih muda untuk menyongsong Pemilu 2024 nantinya. Untuk mencapai hal tersebut, Edward menerangkan bahwa KISP menggunakan metode khusus untuk Sekolah Pemilu ini.

”Metode yang kami sampaikan tidak hanya sebatas ceramah, namun juga ada diskusi dua arah, FGD, dan games yang berkaitan dengan materi dan memberikan selebar-lebarnya ruang bagi pemilih muda untuk bercerita dan mengeluarkan uneg-uneg terkait demokrasi dan kepemiluan,” tutup Edward.

Sekolah Demokrasi diharapkan menjadi langkah awal untuk membangun masa depan yang lebih baik, di mana setiap suara didengar dan dihargai. Sekaligus menjadi panggilan untuk semua generasi muda untuk terlibat aktif dalam membangun masyarakat yang demokratis, inklusif, dan adil.