Menegakkan Keadilan Pemilu melaui Sistem Proporsional Tertutup?

Oleh: Nugroho (Dosen pada Program Studi Manajemen STIE YA Bangko)

*Tulisan merupakan pendapat pribadi penulis, tidak mewakili KISP secara kelembagaan


Sebagian pihak sedang melakukan gugatan uji materi terhadap Undang – undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum yang ditujukan kepada Mahkamah Konstitusi. Salah satu pasal yang digugat dalam UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu adalah pasal 168 ayat 2 tentang penggunaan sistem proporsional terbuka dalam pemilihan Anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/kota.

Hingga kini, Mahakamah Konstitusi masih belum memutuskan terkait dengan gugatan tersebut, Sementara itu tahapan pencalolan Anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/kota telah berjalan. Penulis mencoba mengulas tentang sistem proporsional dalam pemilihan pencalolan Anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/kota bukan dari perspektif hukum tata negara, tetapi mencoba membatasi dengan menggunakan perspektif sosial politik. Hal ini digunakan untuk menganalisa apakah penerapan sistem proporsional tertutup dapat memberikan rasa keadilan pemilu bagi calon anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/kota.

Penulis menilai dari sebanyak tiga kali Pemilu Legestif dilaksanakan dengan menggunakan sistim proporsional terbuka justru bukan kematangan potilik yang didapatkan, peran partai politik dalam mengedukasi dan melakukan proses rekruitmen politik seperti yang diamanahkan Undang undang nomor 2 tahun 2008 bisa dikatakan gagal. Saat ini, partai politik seakan mengandalkan elektabilas, popularitas dan sumbar daya para calon anggota legeslatif untuk mendulang suara yang kemudian dikonversi menjadi kursi.

Menjelang penetapan Calon Anggota Tetap oleh KPU pindah dari partai politik satu ke partai politik satunya menjadi hal yang biasa kita lihat. Fenomena lain ada juga Anggota Dewan Aktif yang menggundurkan diri untuk maju melalui partai baru pilihanya atau sekadar untuk mendukung calon Presiden yang diusung oleh partai barunya. Misalnya yang terbaru, dagelan yang dipertontonkan pada tahap pencalonan anggota legislatif untuk Pemilu legeslatif 2024 oleh Aldi Taher, seorang artis yang mencalonkan diri melaui Partai Bulan Bintang (PBB) untuk DPRD DKI Jakarta dan sekalus melalui Partai Perindo untuk DPR RI, hal ini menunjukan ada masalah dengan sistim kepartaian kita.

Ketidaksesuaian antara visi misi partai dengan visi misi calon anggota legislatif sering kali terjadi, hal ini dikarenakan calon anggota legislatif tersebut belum mengetahui arah dan tujuan dari partai itu sendiri. Bagaimana bisa calon anggota legislatif akan mengerti arah dan tujuan partai sementara dianya baru beberapa minggu atau bulan menjadi anggota partai tersebut.

Keanehan lain juga bisa kita temui di lapangan, dimana pemilih sebenarnya kurang atau bahkan tidak setuju dengan partai tertentu (sebut saja partai A), tetapi karena ada kerabat yang mencalonkan diri sebagai anggota legestalif melalui partai A, akhirnya si pemilih menentukan pilihanya pada calon anggota legislatif tersebut yang tentu saja akan menguntungkan bagi partai A dalam konversi suara ke kursi jika si calon anggota legislatif tersebut terpilih.

Proporsional Tertutup sebagai Jawaban?

Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah, kembalinya penerapan sistem proporsional tertutup apakah akan memberikan kewenangan penuh kepada elit partai seperti sebelumnya? Jawabanya justru, dalam tiga Pemilu terakhir penetapan calon anggota legislatif cenderung dilakukan oleh elit partai. Untuk menghindari hal tersebut, maka perlu dilakukan revisi terhadap undang-undang parpol yang mengatur rekruitmen politik dan pencalolan anggota legistatif. Misalkan pencalolan anggota legislatif yang akan diusulkan ke KPU dilakukan melalui musyawarah partai dan calaon anggota dewan tersebut dapat mempertanggung jawabkan kinerjanya pada anggota partai lainya setiap tahunnya.

Penolakan banyak partai politik terhadap sistem Pemilu tertutup dalam pandangan saya merupakan bentuk ketidaksiapan partai untuk berkompetisi dengan visi misi partai. Maka dari itu, saat ini partai masih membutuhkan elektabilitas, popularitas bahkan sumber daya dari para calon anggota legislatifnya. Meski sistem proporsional tertutup ini tidak dapat menghilangkan praktik “money politic” dalam proses Pemilu, tetapi setidaknya dengan sistem proporsional tertutup akan mengurangi praktik “money politic” di tingkat akar rumput dikarenakan tidak menggunakan sumber daya personal tetapi menggunakan sumber daya partai yang akan lebih mudah untuk diawasi, demikian juga dengan keterwakilan perempuan.

Keterwakilan perempuan 30% sangat sulit untuk tercapai dengan sistem Pemilu proporsional terbuka. Berkaca pada tiga pemilu sebelumnya, jumlah anggota dewan pada tahun 2009 terdapat 65 orang anggota DPR RI perempuan, pada tahun 2014 sebanyak 100 orang anggota DPR RI perempuan dan yang tertinggi pada tahun 2019 per januari 2021 sebanyak 123 orang anggota DPR RI perempuan dengan porsi keterwakilan perempuan sebesar 21,38 persen.

Meski terjadi peningkatan jumlah keterwakilan perempuan, kita tidak bisa menutup mata terkait dengan tidak terpenuhinya keterwakilan perempuan dalam Pemilu legislatif. Ada banyak variabel yang menyebabkan keterwakilan perempuan tidak tercapai, hal ini dikarenakan ada satu fakta lapangan bahwa penyertaan perempuan dalam pencalonan anggota legeslatif hanya sebagai pemenuhan syarat undang-undang semata.

Tentu saja kesalahan dan kegagalan ini kita arahkan ke partai politik yang telah gagal dalam proses kaderisasinya karena waktu 15 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Akan berbeda jika kita menggunakan sistem proporsional tertutup, meskipun akan ada beragam sanggahan karena pada sebelum pemilu 2009 keterwakilan perempuan juga tidak terpenuhi, tetapi setidaknya dalam kondisi sosial politik (kesadaran politik masyarakat indonesia) saat ini pilihan menggunakan sistem proporsional tertutup menjadi pilihan terbaik. Khususnya terkait dengan keterwakilan perempuan tentu saja diperlukan mekanisme dan aturan yang dapat mengakomodasi keterwakilan perempuan sebagai anggota legeslatif dengan mempertimbangkan rasa keadilan.

Memilih Manusia Politik, Bukan Politisi

Oleh:

Nur Kholis (Mahasiswa S2 Sosiologi Unsoed)

*Tulisan merupakan pendapat pribadi penulis, tidak mewakili KISP secara kelembagaan


Indonesia akan melaksanakan Pemilu pada 14 Februari 2024 mendatang, bersama dengan berbagai dinamika yang mewarnai mulai dari isu proporsional tertutup atau terbuka, gugatan partai politik hingga isu penundaan pemilu. 

            Pemilu 2024 akan menjadi gelombang pemilihan umum kelima dalam era reformasi sejak diselenggarakan pertama kali tahun 2004. Baik dari sisi penyelenggaraan maupun kontestan, terdapat fenomena menarik. Hal ini karena pemilu dilaksanakan pasca Pandemi Covid-19, dan dari sisi kontestan tidak kalah menarik.

            Setiap ajang kontestasi, partai politik senantiasa bergeliat membangun komunikasi, kerjasama, hingga berlomba-lomba menjaring kandidat terbaik untuk dicalonkan dalam arena kontestasi baik dari kalangan internal maupun eksternal parpol. Pemilu 2024 nanti akan sangat berbeda dengan pemilu sebelum-sebelumnya, karena hingga hari ini belum ada pasangan yang mendominasi secara elektabilitas dan cenderung dari segi bursa sangat kompetitif.

            Hal itu disebabkan kepemimpinan yang sekarang (petahana) sudah tidak dapat mencalonkan lagi, sehingga setiap partai politik bekerja ekstra mulai awal untuk meraih kemenangan.  Menghadapi pemilu 2024, partai-partai politik mulai bergerak membangun interaksi sosial secara simultan. Interaksi dan komunikasi dibutuhkan sebagai pengamalan prinsip bahwa partai politik bukan hanya berfungsi sebagai kendaraan bagi kalangan elite untuk merebut kekuasaan.

            Prof. Firmanzah, dalam bukunya yang berjudul “Marketing Politik” sejatinya kekuasaan bukan tujuan akhir dari setiap aktivitas politik, tapi dinilai sebagai alat (sarana) demi memperjuangkan kepentingan dan membenahi kualitas kehidupan masyarakat. Untuk itu, dalam setiap penyelenggaraan pemilihan, masyarakat diharapkan mampu menggunakan mata dan akal budi yang dimilikinya secara optimal untuk menjatuhkan pilihan terakhirnya kepada manusia politik, bukan politisi.  Manusia politik dan politisi memiliki pengertian yang berbeda satu sama lain.

            Manusia politik merupakan individu yang penuh dengan kecintaan, memiliki syahwat untuk memproduksi dan mereproduksi gagasan-gagasan besar, memiliki spirit berorganisasi yang kuat, serta mempunyai kecenderungan untuk memposisikan kemaslahatan masyarakat diatas kemaslahatan pribadi dan kelompok.

            Sedangkan politisi, ia hanya mempunyai nafsu untuk berkuasa tanpa diimbangi dengan spirit dan gagasan-gagasan mulia, bahkan nirempati terhadap rakyat. Dalam pandangan politisi, partai politik hanya dijadikan sebagai kendaraan untuk meraih tujuannya yakni merebut kekuasaan. Apabila dirinya sudah menemukan partai lain yang dianggap lebih menjanjikan, ia tidak akan sungkan untuk keluar dari partai sebelumnya dan berpindah ke partai yang lain.

            Dalam proses kontestasi, tidak jarang para politisi tersandera oleh kepentingan pragmatis yang meyakni bahwa parpol hanya sebagai media untuk meraih kekuasaan. Hal ini yang mereduksi makna penting dari perjuangan untuk rakyat itu sendiri. Tetapi, dengan pendidikan politik yang berkesinambungan, pola pikir masyarakat dapat tercerahkan secara perlahan, dan mampu membedakan mana orang dan parpol yang hanya mengejar kepentingan sendiri dan kelompoknya dan mana orang dan yang benar-benar memiliki ketulusan dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.

            Bukan hanya itu, dalam berbagai kompetisi, para politisi tidak segan-segan melakukan berbagai cara untuk memenuhi syahwatnya terhadap kekuasaan, termasuk menggunakan politik identitas, kampanye hitam (black campaign), politik uang (money politics), dan berbagai cara lainnya. Karena yang terpenting bagi para politisi adalah tercapainya nafsu kekuasaan.

            Namun sebaliknya, manusia politik menilai bahwa politik adalah sebuah jalan pengabdian yang sejati kepada masyarakat. dia merupakan sebuah jembatan yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengatasi beragam problematika yang dihadapi oleh bangsa dan negara. sedangkan kekuasaan, dijadikan sebagai instrument untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Kekuasaan diraih bukan sekedar untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Namun, kekuasaan diperlukan untuk mengatur, dan mengarahkan kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik dan progresif.

            Kehadiran manusia politik diharapkan mampu menjadi duta yang secara konsisten menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan, adanya partai politik diperlukan sebagai sarana untuk mentransmisikan dan menerjemahkan apa yang menjadi pesan-pesan kerakyatan. Oleh karena itu para elit parpol dan masyarakat perlu berdialog secara berkelanjutan sehingga yang menjadi cita-cita bersama dapat tercapai.

            Oleh karena itu, masyarakat perlu menguatkan nalar kritis untuk menghindari pengaruh ucapan manis para politisi. Masyarakat perlu tegas menolak kehadiran politisi dan menggunakan hak pilihnya untuk memilih manusia politik. Kita perlu memilih figure manusia yang mampu memproduksi dan mereproduksi gagasan, yang mengutamakan kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadi.

            Mari kita  memperkuat persatuan dan kesatuan, bergotong-royong, bekerjasama, dan berkolaborasi untuk menyukseskan pemilu 2024 dan menolak segala bentuk politik yang dapat mengancam keutuhan hidup berbangsa dan bernegara. Mari kita jadikan perspektif manusia politik sebagai gagasan dan tindakan konkrit dalam pemilihan serentak nanti. Memilih manusia politik untuk meraih kehidupan yang penuh gagasan, nilai-nilai mulia, dan kesejahteraan.

POLITISASI IDENTITAS DAN TANTANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA

Sumber Gambar: RMOL

Oleh: Faisal, S.Sos,.MM (Kepala Perwakilan Wilayah Sumatera Utara Media Online SINKAP.info, Dosen di STAIs Panca Budi Perdagangan)

*Tulisan adalah opini penulis, tidak mewakili pandangan KISP secara kelembagaan


Politik identitas merupakan salah satu topik baru yang sedang memanas saat ini di Indonesia. Sebenarnya politik identitas ini sudah ada sejak lama, namun efeknya baru dirasakan saat ini. Politik identitas banyak digunakan oleh para pemangku kepentingan sebagai ajang untuk mencari massa dengan menggunakan kesamaan suku, agama, ras, dan etnik untuk mendapatkan dukungan masyarakat.

Pernyataan yang diberikan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, yang potongannya berbunyi “Saya ingatkan, jangan ada lagi politik identitas. Jangan ada lagi politisasi agama. Jangan ada lagi polarisasi social”, dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR. Dari pidato tersebut, saya dapat menangkap bahwa Jokowi berpesan kepada para calon presiden dan calon wakil presiden untuk tidak menggunakan politik identitas dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024 mendatang.

Lalu, apa yang dimaksud dengan politisasi identitas? Politisasi merupakan suatu proses yang dilakukan oleh suatu kelompok dengan tujuan mempertahankan kekuasaan. Sedangkan yang dimaksud dengan identitas merupakan suatu ciri khas yang dimiliki oleh seseorang sehingga mudah dikenali oleh orang lain. Identitas dapat disebut juga jati diri. Dengan kata lain, ciri khas ini akan menempel pada diri individu tersebut yang dapat menjadi suatu kesatuan apabila bergabung dengan kelompok dengan ciri khas yang sama. Identitas yang dimaksud ini terdiri dari banyak aspek, seperti identitas gender, identitas budaya, identitas pribadi, identitas agama, identitas ideologi, identitas politik atau identitas nasional, serta berbagai identitas lainnya. Apabila digabungkan maka yang dimaksud dengan politisasi identitas adalah usaha yang dilakukan untuk memakai, mengambil, atau memanipulasi suatu identitas dengan aspek tertentu agar dapat memunculkan stigma atau pendapat dari masyarakat sehingga tercapailah kepentingan politik yang dimiliki.

Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 lalu merupakan salah satu contoh dampak dari adanya politik identitas. Dalam pemilihan Gubernur tersebut, muncul banyak sekali berita-berita palsu yang bertemakan SARA dan menunjukkan kebencian kepada calon pasangan lain dengan harapan calon pasangan tersebut kehilangan dukungan masyarakat sehingga ia lebih banyak mendapatkan suara masyarakat. Efek dari politisasi identitas yang dilakukan saat pemilihan Gubernur DKI ini dirasakan ketika pemilu Presiden tahun 2019.

Hemat saya, adanya politik identitas ini akan mengubah pola pikir masyarakat dimana yang dapat menjadi pemimpin adalah orang yang memiliki identitas yang sama dengan masyarakat tersebut. Apabila hal ini terjadi, maka kaum minoritas akan kehilangan hak yang sama dalam pemerintahan negara, terutama dalam ranah pemilu maupun pemilihan yang lama kelamaan dapat mengganggu proses demokrasi. Kita tahu bahwa sistem demokrasi telah menjadi sistem pemerintahan yang dianut Indonesia mengingat pluralisme masyarakatnya. Saya dapat membayangkan apa yang terjadi ketika proses demokrasi ini sudah tidak berjalan sebagaimana mestinya, tentunya tidak akan ada lagi keadilan sosial, persamaan hak untuk seluruh rakyat Indonesia, bahkan kebebasan untuk orang lain maupun diri sendiri. Tidak hanya itu, politisasi juga akan menciptakan jurang pemisah antar masyarakat yang memiliki perbedaan identitas. Kejadian seperti ini jika terus berlanjut dapat memberikan dampak pada rendahnya persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia dan berujung pada peningkatan potensi polarisasi baik terhadap masyarakat maupun para elit politik.

Dampak negatif ini menjadi semakin berbahaya ketika kondisi masyarakat Indonesia yang masih kental dengan primordialisme dan sektarianisme sehingga memunculkan ajang saling mengunggulkan dominasi kelompoknya atas kelompok lainnya. Kontestasi yang semestinya merupakan saling adu gagasan dan konsep yang konstruktif, namun yang terjadi adalah saling menjatuhkan dengan isu SARA yang berakibat pada terjadinya polarisasi di masyarakat yang berdampak negatif bagi kehidupan sosial. Polarisasi ini dapat memicu pertikaian yang bersifat destruktif bagi perkembangan dan kemajuan suatu bangsa di masa mendatang. Ditambah lagi dengan para elit politik kita yang belum paham betul mengenai politisasi identitas yang mana mereka akan saling menuding bahwa pihak lawan politiknya menggunakan politik identitas dan saling merasa bahwa kelompoknya yang bersih dari politik identitas. Selain itu mereka tidak menyadari bahwa sebagian besar pihak yang melakukan tuduhan terhadap pihak lain sebagai pengguna politik identitas merupakan pelaksana daripada politik identitas itu sendiri.

Besarnya dampak negatif yang dihasilkan dari politisasi identitas, ditambah dengan adanya isu bahwa politisasi identitas akan semakin marak di Pilpres tahun 2024 mendatang, menjadi tantangan tersendiri bagi demokrasi di Indonesia. Sistem prosedur pemilu di Indonesia relative baik, secara substansial banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Hal ini disebabkan karena masih banyak legislator dan kepala daerah yang memiliki masalah dengan hukum mulai dari korupsi, penyimpangan jabatan atau birokrasi yang berpihak (partisan), manipulasi suara rakyat, atau lainnya yang mana masih sulit dijangkau dengan penegakan hukum. Belum lagi, politisasi identitas semakin memuncak dengan adanya media social. Media sosial dan aplikasi percakapan memfasilitasi dan menjadi pemicu berkembangnya kampanye jahat, hoax, dan politisasi identitas. Pengguna media sosial dan aplikasi percakapan larut dalam emosi sebagai lovers atau haters terhadap politisi yang mengejar/mempertahankan kekuasaan.

Media sosial memediasi begitu cepat dan berefek domino merusak nalar dan percakapan banyak warganet. Menurut saya, hal yang harus dilakukan adalah menyelesaikan akar permasalahan terlebih dahulu dengan meningkatkan penegakan hukum tentang pemilu, dilanjutkan dengan menciptakan masyarakat yang melek terhadap digital, dan mengganti sistem pemilu yang sudah ada.

Tantangan lain yang dihadapi adalah sulitnya persyaratan pembentukan partai politik dan kepesertaan partai politik di pemilu. Adanya pengorbanan yang besar ini menyebabkan para elit politik cenderung mempertahankan hasil pemilu dan korupsi politik untuk dapat mengembalikan modal yang telah dikeluarkan tersebut.

Perlu dilakukan keringanan persyaratan dalam membentuk partai dan kepesertaan partai politik dan adanya peningkatan bantuan keuangan dari negara untuk perbaikan partai politik menjadi lebih inklusif. Hal ini disebabkan karena subsidi yang diberikan selama ini terlalu kecil sehingga membuat kendali struktur organisasi partai politik dikuasai oligark. Padahal adanya subsidi yang meningkat dapat meningkatkan pula transparansi dan akuntabilitas kelembagaan serta keuangan partai politik.

Pemberian subsidi secara bertahap menyertakan mekanisme reward/punishment dengan nilai yang signifikan menjadi bagian insentif perbaikan. Langkah ini dilakukan dengan harapan semakin mudahnya jalan yang diberikan untuk membentuk partai politik dan keterlibatan dalam kepesertaan, pengorbanan yang harus dilakukan tidak terlalu besar sehingga para elit politik tidak menghalalkan segala cara yang berfokus mengembalikan modal yang telah dikeluarkan termasuk salah satu diantaranya dengan melakukan politisasi identitas agar dapat menang dalam pemilihan.

Perkembangan politisasi identitas dalam pemilu di Indonesia harus mendapatkan perhatian lebih karena memiliki dampak negative yang berlawanan dengan tujuan demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, politisasi identitas perlu segera ditangani. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengatasi masalah politisasi identitas. Terdapat tiga cara yang dapat dilakukan yaitu minimal harus ada tiga calon presiden yang berfungsi sebagai pemecah gelombang sehingga tidak terulang kembali kondisi “rematch” Pilpres 2014 dan 2019 dengan kekuatan bipolar bertumpu pada dua kutub pasangan calon presiden. Kedua, harus ada penegakan hukum yang adil “tanpa diskriminatif” terhadap orang-orang yang menggunakan politisasi identitas seperti memberikan hukuman yang tegas dan keras sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi yang melakukannya. Dan yang terakhir adalah harus ada “konsensus” dan komitmen bersama untuk “tidak” lagi mengunakan “narasi politik identitas” dan isu-isu “SARA” yang jelas merusak tatanan simpul kehidupan berbangsa dan bernegara. Saya pribadi setuju dengan cara yang dijelaskan di atas, walaupun penerapannya tidak semudah mengatakannya. Tidak hanya itu berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi hal ini adalah Bawaslu dan Tokoh Agama membuat kesepakatan mengenai definisi tentang politisasi identitas dan menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) tentang penyusunan agenda pencegahan politisasi SARA dan Hoax. Tokoh Agama di sini dilibatkan dengan tujuan untuk membentengi umat, menenangkan situasi krisis, dan memberikan penjelasan apabila terjadi disinformasi yang berhubungan dengan politisasi. Dengan kata lain, pemerintah berperan dengan melakukan pendekatan struktural terhadap tokoh-tokoh agama, khususnya yang dianggap berpengaruh pada proses pilkada dan pemilu. Kemudian membangun komunikasi dan koordinasi secara intensif dengan kelompok lintas agama dan stakeholders.

Politisasi identitas ini dapat memberikan dampak positif maupun negatif bergantung dari cara kita menggunakannya. Dari sisi positif, politisasi identitas dapat menimbulkan toleransi dan kebebasan, namun di sisi lain dapat menimbulkan pertikaian. Masyarakat boleh menggunakan politik identitas, namun jangan mempolitisasi identitas yang memunculkan benih pertikaian dan pertengkaran antar sesama anak bangsa yang akhirnya akan membuat kita terpecah belah. Jika ingin persatuan Indonesia tetap terjaga, diperlukan sikap moderat dan moderasi dalam bernegara yang mestinya menjadi prinsip dan sifat para elit kita, sehingga politik bisa menjadi salah satu pilar pemersatu, bukan menjadi penyebab pecah belah.

Refleksi HPN 2023: Tantangan Pers di Tengah Momentum Politik 2024

Oleh: Muhammad Iqbal Khatami (Peneliti Komite Independen Sadar Pemilu)


Tepat tanggal 9 Februari 2023 ini, Indonesia kembali memperingati dan merayakan Hari Pers Nasional (HPN) sekaligus juga diperingati sebagai HUT Persatuan Wartawan Indonesia yang ke-77 Tahun. Usia yang sudah sangat tua yang mengharuskan pers untuk tetap terus matang, arif dan bijaksana guna menghadapi tantangan besar di tengah perubahan zaman yang begitu cepat.

Kehadiran media massa di Indonesia sering disebut sebagai pilar ke empat demokras. Dimulai pada Reformasi tahun 1998 misalnya, yang juga memperjuangkan tentang kebebasan pers. Hingga hari ini, mendekati usia 25 tahun reformasi, demokrasi kita membutuhkan jurnalisme yang lebih dari sebelumnya.

Meskipun buah dari reformasi pers diklaim telah bebas dari kekangan dan menjunjung tinggi kebebasan, namun tantangan-tantangan lainnya juga terus bermuncul. Di kondisi saat ini misalnya, tidak sedikit perusahaan media yang pontang-panting menghadapi perubahan zaman. Tuntutan perubahan juga menuntut akselerasi pengembangan media, yang mana ini juga berimplikasi pada peningkatan kebutuhan kapitalistik sebagai modal jalannya perusahaan.

Hingga pada akhirnya, tidak sedikit media yang ‘terpaksa’ menggadaikan independensinya guna mendapatkan pemasukan ekonomi untuk menjalankan perusahaan. Atau bahkan tidak sedikit media yang akhirnya diakuisisi oleh elit politik karena tidak mampu lagi memodali jalannya media. Implikasinya adalah media berpotensi menjadi alat politik tertentu.

Tuntutan Relevansi

Perusahaan media mungkin akan silih berganti, dari berganti kepemilikan, gulung tikar, hingga bermunculan yang baru. Semuanya terseleksi di tengah arus tuntutan relevansi media massa untuk publik dan lanskap sosial politik saat ini. Meski begitu, jurnalisme akan tetap ada dengan nilai-nilai yang ‘seharusnya’ tetap sama dan konsisten. Walaupun Ia saat ini lebih banyak hadir di ruang digital dibandingkan edisi cetak.

Senjakal media cetak menjadi fenomena yang akrab akhir-akhir ini. Di akhir Tahun 2022 lalu misalnya, Republika secara mengejutkan menghentikan edisi koran cetaknya dan berfokus pada bentuk digital. Sebelumnya, puluhan media massa berbasis cetak juga melakukan hal yang sama, bahkan hingga gulung tikar.

Fenomena ini terjadi bukan sekadar karena faktor penetrasi revolusi digital. Lebih dari itu, karena tidak banyak media yang mampu relevan bagi publik dan adaptif perubahan zaman. Sebuah tantangan yang kompleks untuk media mampu mempertahankan eksistensinya di tengah era jurnalisme warga, di mana siapa saja dapat menjadi produsen pesan dan berita.

Tantangan lain bagi media massa hari ini adalah menjadikan jurnalisme sebagai medium yang menghadirkan aspirasi dan pikiran publik, khususnya di tengah riuhnya kontestasi politik Tahun 2024 saat ini.

Pers sebagai Oase di Tahun Politik

Era banjir informasi semakin memperbesar percikan api konflik di tahun politik, yang diakibatkan banyaknya informasi yang bersifat provokatif, hoaks, dan narasi negatif lainnya. Banjir informasi juga menimbulkan era Post Truth, di mana suatu kebenaran dan kebohongan memiliki batasan yang amat tipis. Hal ini diakibatkan karena informasi yang beredar lebih banyak yang bersifat emosional dan mengesampingkan kredibilitas informasi.

Apalagi di tahun politik saat ini, keriuhan ruang digital tidak terelakkan. Belajar dari Pemilu 2019 misalnya, polarisasipers punya peran besar untuk hadir menjawab keriuhan ruang publik kita di tahun politik ini. Yakni sebagai pendorong konsolidasi demokrasi dengan menghadirkan informasi yang berkualitas.

Kondisi ini juga terkonfirmasi oleh statemen Presiden Joko Widodo pada peringatan Hari Pers Nasional 2023 di Sumatera Utara. Jokowi menekankan bahwa saat ini dunia pers sedang tidak baik-baik saja. Jokowi mengatakan dulu isu utama dunia pers adalah kebebasan pers. Namun, menurutnya, kini isu utama dunia pers sudah bergeser. Menurutnya, masalah utama pers saat ini adalah pemberitaan yang bertanggung jawab.

Dalam konteks tahun politik saat ini, ada beberapa hal yang perlu dikuatkan oleh pers untuk mewujudkan perannya di Pemilu 2024 ini. Pertama, adalah Kebenaran. Dalam konteks pemilu, publik membutuhkan informasi yang benar tentang jalannya konestasi seperti informasi calon, partai politik, dan proses jalannya pemilu.

Kedua, Keberpihakan ke Publik. Pemberitaan tidak cukup hanya diisi oleh statemen dari politisi dan elitnya saja. Namun, suara-suara publik perlu dihadirkan dalam banyak pemberitaan sebagai representasi dari suara publik. Ketiga, Independen. Dalam perkembangannya, media massa telah menjadi alat efektif sebagai saluran kampanye bagi para kandidat. Sehingga, potensi untuk menggiring media berpihak kepada kandidat tertentu sangatlah besar. Dampaknya adalah informasi yang dihadirkan akan cenderung tidak berimbang. Keempat, Pengawasan. Peran pengawasan dapat dilihat misalnya dari produk jurnalisme berupa investigasi. Namun, tidak banyak media di Indonesia yang melakukan jurnalisme investigasi. Di Tahun Politik ini, tentu kita mengharapkan media dapat kritis dan mengungkap fakta-fakta pencerahan bagi publik tentang para aktor yang terlibat dalam pemilu. Terakhir, Proporsional dan Komprehensif. Pemilihan berita berpotensi sangat subjektif, sehingga media dituntut agar proporsional dalam menyajikan berita. Apalagi, di tengah tahun politik sensitivitas publik sangat tinggi terhadap informasi yang didapat.

Pers Bebas, Demokrasi Berkualitas

Berdasarkan survei Katadata Insight Center pada 2022 lalu, 73% masyarakat menjadikan media sosial sebagai medium memproleh informasi. Sumber yang paling sering diakses kedua adalah televisi, ketiga diikuti oleh berita online. Dengan melihat hasil survei tersebut, kehadiran media sangat diperlukan sebagai penyeimbang informasi-informasi yang tidak kredibel di media sosial, seperti hoaks dan politisasi SARA yang menjamur di tahun politik.

Upaya media untuk terus tetap relevan bagi publik juga sangat diperlukan. Sebab jika demokrasi semakin lemah maka korban utamanya adalah kebebasan media itu sendiri. Begitupun sebaliknya, ketika media terus relevan maka akan memperkuat jalannya demokrasi kita.

KAUM MUDA DAN POTENSI POLARISASI DI TAHUN POLITIK 2024

Oleh: Dimas Adi Nugroho (Pegiat KISP, Mahasiswa HI UMY)


Indonesia kembali menyelenggarakan pesta demokrasi yakni Pemilihan Umum (Pemilu) serentak pada Februari 2024 mendatang. Walaupun masih satu tahun ke depan, rasanya euforia terhadap iklim politik di Indonesia mulai meningkat belakangan ini. Terlebih Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan sejumlah 17 partai lolos dan menjadi peserta Pemilu 2024 pada Desember lalu. Sejak saat itu, elit partai politik  hingga tokoh masyarakat mulai bergerak meningkatkan interaksi politiknya, khususnya di media sosial. Dampaknya, fenomena ini mendominasi topik perbincangan publik hingga algoritma konten di platform media sosial seperti Facebook, Twitter hingga Tiktok belakangan.

Seiring berjalannya waktu, keterikatan antara sistem politik dengan kemajuan zaman adalah sebuah keniscayaan. Sebagai contohnya, kemajuan teknologi yang menghasilkan media sosial sebagai wadah interaksi dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Secara khusus oleh pemerintah dan elit politik. Dalam hal Pemilu, pemanfaatan media sosial dengan baik semestinya  menjadi kekuatan tersendiri bagi sistem pemerintahan demokrasi seperti Indonesia. Dengan ini, kedua pihak baik pemerintah maupun masyarakat dapat berinteraksi 2 arah. Sehingga, interaksi demokrasi dengan prinsip pengawasan, evaluasi dan saran dapat terwadahi, persis dengan yang disampaikan oleh Abraham Lincoln melalui teori demokrasinya.

Pemilu sejatinya menjadi momen persatuan bangsa. Bukankah dinamika pemilu hingga proses pemilihan calon pada dasarnya dilandasi oleh keinginan bersama untuk merubah nasib bangsa? Sayangnya, melihat realitas politik saat ini, hal tersebut masih nampak jauh dari panggang api, alias kita menginginkannya bersama namun upaya kita masih nihil adanya. Salah satu akar-musababnya terletak pada penempatan perilaku politik di ranah sosial media. Banyak kalangan masyarakat hingga elit politik yang masih kurang bijak dalam menempatkan diri di media sosial. Bukanya dimanfaatkan untuk menyampaikan gagasan yang ditawarkan, media sosial belakangan tampil sebagai arena untuk saling menjatuhkan. Lebih-lebih menuju momentum Pemilu.

Fenomena ini menyeruak misalnya pada masa Pemilu 2019, ketika beragam sentimen politik mulai diekspresiken oleh berbagai macam elemen di media sosial akibat isu penistaan agama oleh mantan Gubernur DKI Jakarta. Hal demikian cenderung mengarahkan publik pada fenomena polarisasi politik, yang berujung pada perpecahan bangsa. Polarisasi politik merupakan fenomena di mana sekolompok orang merasa prinsip dan pandangannya paling benar, dan cenderung menyalahkan kelompok yang berseberangan dengan mereka (Annas, 2019). Mirisnya,  ini tidak terjadi pada kalangan publik saja, namun tidak sedikit pula politisi dan tokoh masayarakat yang justru mengawalinya.

Fenomena polarisasi biasanya muncul akibat opini dan bentuk konten negatif yang  mengandung unsur SARA diekspresikan oleh pengguna platform media sosial. Di lain sisi, respon balik pengguna platform media sosial lainnya cenderung mengedepankan aspek emosional. Tak jarang juga pengguna media sosial menangkap informasi semacam ini secara mentah-mentah. Fenomena ini sering terjadi pada konten-konten yang mengandung unsur SARA dan Hoax. Di lain sisi, publik memiliki keterikatan dan kecenderungan tertentu terhadap muatan konten dan elemen dibalik konten tersebut. Akibatnya, muncul pertentangan antar elemen yang memiliki keberpihakan. Bahkan menguatkan kubu-kubu di lingkaran masyarakat.

Adab Bermedia Sosial

Media sosial ibarat sebuah medium bebas, di dalamnya pengguna dapat mengekspresikan berbagai macam pandangan dan pikiran sesuai kehendaknya. Entah bermuatan positif ataupun negatif. Di sini, penilaian akan konten-konten bermuatan positif maupun negatif tidak lagi disandarkan pada norma-norma yang ada. Hal semacam ini juga diperparah dengan masifnya fenomena hoax dan hatespeech. Dalam konteks masa Pemilu, media sosial dengan interaksi bebas-nilai dengan mudah dimanfaatkan oleh segelintir elit politik untuk melancarkan konten-konten negatif demi meraup simpati dan dukungan, salah satunya dengan cara menjatuhkan lawan politik maupun elemen lainnya.

Peristiwa semacam ini sebenarnya juga tidak lepas dari era post-truth, yang mana kebenaran-kebenaran semu banyak ditafsirkan oleh segelintir elemen. Contohnya, elit politik yang melakukan kampanye dengan metode hatespeech dan menyebarkan hoax dengan mudah ditafsirkan sebagai kebenaran oleh pendukungnya atau elit itu sendiri. Mirisnya lagi, massa pendukung justru ikut-ikutan untuk menyebarkan konten semacam itu. Sehingga, gelombang informasi negatif yang berseliweran di beranda platform media sosial dengan begitu mudah meluas. Maka dari itu, hal demikian perlu diatasi dengan mengedepankan adab dalam bermedia sosial.

Indonesia sendiri menduduki peringkat 29 dalam keadaban bermedia sosial. Artinya, keadaban bermedia masyarakat masih tergolong rendah (Rokhiyah, 2021). Keadaban media sosial dapat dibangun dengan beberapa langkah. Pertama, pahami bahwa interaksi media sosial seperti halnya interaksi nyata yang menjunjung sopan santun dan etika. Kedua, sebagai pengguna media sosial, kita harus mengedepankan interaksi berdasarkan fakta yang ada. Ketiga, sebagai penerima informasi, pengguna media sosial harus terlebih dulu memverifikasi informasi yang diterima. Dengan demikian, keadaan yang menjurus pada arah polarisasi di masa-masa Pemilu dapat diantisipasi.

Kaum Muda dan Politik Gagasan

Dalam perkembangannya, kaum muda memiliki banyak kesempatan untuk berproses, meningkatkan kapasitas diri dan memberi tawaran solusi terbaik bagi permasalahan bangsa yang kita hadapi saat ini. Pada masa-masa Pemilu, peran kaum muda memiliki posisi yang sentral, salah satunya dapat berperan mengembalikan iklim politik yang sehat, dan bersandar pada asas meritokrasi.

Dengan kesempatan untuk terus mengasah kemampuan diri, peran kaum muda vital dalam membangun iklim politik gagasan pada masa-masa Pemilu. Terlebih di Pemilu 2024 nanti, kaum muda memiliki partisipasi yang sangat besar, yakni sebesar sekitar 60% dari jumlah pemilih. Maka dari itu, kesadaran politik kaum muda harus dibangun. Dengan modal pembelajaran dan gagasan yang dimiliki, generasi muda dapat berperan dalam membangun iklim politik berdasarkan gagasan, visi dan misi yang ditawarkan calon terhadap masyarakat. Upaya ini juga dapat meminimalisir praktek money politic yang semakin ke sini justru semakin dianggap wajar.

Selain itu, generasi muda sebagai digital natives juga dapat mengantisipasi fenomena polarisasi politik yang tengah terjadi di masyarakat. Indonesia memiliki presentasi 191 juta jiwa pengguna media sosial, mayoritas penggunanya adalah generasi muda (Mahdi, 2022). Kaum muda dapat mengusung perubahan bangsa dengan upaya membendung praktik politik yang mengarah pada polarisasi. Melalui media sosial, kaum muda dapat menciptakan gelombang informasi politik yang positif. Apabila hal tersebut dilakukan secara masif, dapat membentuk iklim politik yang baik dan menjadi pemantik untuk diikuti oleh segenap masyarakat luas. Dengan demikian, politik sebagai ajang perubahan bangsa bukan hal mustahil untuk dicapai.

Sumber:

Annas, F. B., Petranto, H. N., & Pramayoga, A. A. (2019). OPINI PUBLIK DALAM POLARISASI POLITIK DI MEDIA SOSIAL. Jurnal PIKOM (Penelitian Komunikasi Dan Pembangunan), 20, 111.

Muhammad Ivan Mahdi. (2022, February 25). Pengguna Media Sosial di Indonesia Capai 191 Juta pada 2022. DataIndonesia.Id.

Siti Rokhiyah. (2021, June 26). Etika Bermedia Sosial.

Substansi Ideal Penataan Dapil

Oleh: Nasarudin Sili Luli

*Tulisan ini sepenuhnya mewakilkan pandangan penulis dan tidak mewakili
pandangan KISP secara kelembagaan


Setelah penantian  panjang  (Perpu) nomor 1 tahun 2022 tentang perubahan atas undang –undang  nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum dikeluarkan oleh pemerintah, hal yang paling menonjol dalam pertimbangan dikeluarkannya Perpu. Pertama sebagai akibat dari pembentukan Provinsi Papua Selatan,Provinsi Papua Tengah,dan Provinsi Papua Pegunungan serta merupakan pemekaran dari Provinsi Papua Barat Daya perlu kebijakan dan langkah luar biasa untuk mengantisipasi dampak pembentukan daerah baru tersebut terhadap penyelenggaraan tahapan pemilihan umum tahun 2024 agar tetap terlaksana sesuai dengan jadwal dan tahapan sehingga menciptakan stabilitas politik  dalam negeri.Kedua,Sebagai implikasi pembentukan Provinsi Papua Selatan,Provinsi Papua Tengah,Provinsi Papua Pegunungan serta Provinsi Papua Barat Daya ,juga perlu dilakukan daerah pemilihan dan alokasi kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat,anggota Dewan Perwakilan Daerah .dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi serta kelembagaan penyelenggara pemilihan umum sehingga perlu diberikan kepastian hukum yang sangat segera tanpa mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2024.

Dalam konteks pendapilan merupakan salah satu elemen teknis dari sistem Pemilu yang bersisian dengan tidak hanya nilai-nilai dasar representasi tetapi juga pada dimensi politik pada wilayah yang mikro dalam penyelenggaraan Pemilu. pertama, pembentukan Dapil merupakan proses yang kompleks. Pemenuhan pada satu prinsip kerap menimbulkan ketidak terpenuhi prinsip lainnya. Di sisi lain,ketidakterpenuhan pada satu prinsip juga mempengaruhi ketidak terpenuhan pada prinsip lainnya. Tidak terpenuhinya prinsip kesetaraan nilai suara menyebabkan sulit juga untuk memenuhi prinsip ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional dan prinsip proporsional. Kedua, prinsip kesetaraan nilai suara (OPOVO) yang dikuantifikasi menjadi “bias harga kursi”, tidak seluruhnya dapat mencapai tingkat ideal, tetapi secara keseluruhan masih berada pada kondisi yang dapat ditoleransi. Pada pembentukan Dapil niscaya muncul bias pada ketidaksetaraan nilai penduduk dalam kontribusinya pada pengalokasian kursi (malapportionment). Ketiga, prinsip ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional
dan prinsip proporsional saling terhubung satu sama lain, sehingga prinsip ini pada hakikatnya menjamin kesetaraan tingkat kompetisi dan afirmasi bagi partai politik yang relatif tidak dapat bersaing agar proporsi suaranya sedapat mungkin dapat dikonversi menjadi kursi. Singkatnya, kedua prinsip ini pada dasarnya dapat disatukan dalam satu prinsip, yakni proporsionalitas.

Problem Pendapilan 

Memotret  pendapilan pada pemilu tahun 2019 justru banyak yang tidak konsisten dalam penerapan pendapilan yang tidak sesuai dengan prinsip pendapilan Pertama adalah pembiaran terhadap dapil loncat di pemilu-pemilu sebelumnya yang bertentangan dengan prinsip integralitas wilayah, dan justru menambah jumlah dapil loncat yang baru, Melalui pengukuran bias harga kursi di setiap Dapil terhadap BPPd sebagai harga kursi ideal. Secara umum, terdapat Dapil yang melampaui angka idealnya (ditandai dengan bilangan positif) atau tidak mencapai angka idealnya (bilangan negatif). Bagi Dapil yang memiliki bias harga kursi dengan bilangan positif,artinya penduduk di Dapil yang bersangkutan nilai suaranya terlalu tinggi dibandingkan yang seharusnya (over-represented). Sementara dapil dengan harga bias kursi negative (under-represented). 

Kedua kondisi itu mencerminkan ketidaksetaraan antara jumlah penduduk dan kursi yang dialokasikan. Singkatnya, prinsip equal population melalui adagium one person, one vote, one value menjadi kurang dapat dipenuhi.

Ketiga, terdapat ketidakkonsistenan atau tak diketahui polanya saat penyusunan. Misalnya, di satu pihak memecah kecamatan menjadi kelurahan-kelurahan, dan menggabungkannya dengan kecamatan lain. Contohnya adalah dapil Kota Palangkaraya dan Kota Ambon.Namun, praktik yang sama tidak diterapkan untuk untuk tempat lain seperti di Situbondo, Cilacap, dan Deli Serdang.Asas ketaatan pada prinsip sistem pemilu proporsional, ternyata dilanggar. Bahkan pada dapil yang sejak awal tidak bermasalah seperti Flores Timur, Simeulue, Aceh Singkil, dan sebagainya.( Berita Satu)

Keempat, alat ukur dalam penyusunan dan pembentukan Dapil DPRD Kabupaten/Kota absen di sejumlah tempat. Prinsip ketiga yang hendaknya diterapkan dalam pembentukan Dapil adalah adanya kesetaraan besaran Dapil. Tujuannya, agar alokasi kursi di setiap Dapil tidak terlampau jauh. Prinsip ini, seperti halnya pada prinsip kedua, ditujukan kepada partai politik. Dapil yang ideal adalah dapil yang memiliki kesetaraan kompetisi. Prinsip kedua dan ketiga sangat berhubungan dengan besaran Dapil, yakni besar-kecilnya alokasi kursi yang ditetapkan di masing-masing Dapil. Pada Pemilu 2019 yang lalu, telah ditetapkan metode konversi suara menjadi kursi adalah menggunakan formula divisor Sainte-Lague Murni dengan bilangan pembagi tetap 1, 3, 5, 7 dan seterusnya. Seperti disinggung di atas, untuk menentukan “ambang alamiah”yang harus dilampaui oleh partai politik untuk memperoleh kursi dapat dihitung dengan formula ambang batas efektif. Dengan demikian semakin tinggi ambang batas efektif semakin banyak juga suara yang harus diperoleh oleh partai politik untuk mendapatkan kursi (Call For Paper Evaluasi Pemilu Serentak 2019)

Demikian juga sebaliknya. Sayangnya, pembentukan Dapil sangat sulit untuk menyamakan alokasi kursi di setiap Dapil karena juga harus memperhatikan prinsip-prinsip lainnya. Artinya, pembentukan Dapil niscaya terjadi kesenjangan nilai ambang batas efektif, yang berakibat pada tinggi-rendahnya tingkat kompetisi di masing- masing Dapil. Bagi Dapil dengan ambang batas efektif tinggi, kompetisi partai politik dalam usaha untuk memperoleh kursi juga
semakin ketat.

Uji Publik

Bawaslu Dalam pengawasan uji publik harus memastikan kegiatan yang dilaksanakan oleh KPU kabupaten/kota untuk mengetahui dan memperoleh masukan dari masyarakat atau pemangku kepentingan lainnya terhadap rancangan penataan Dapil dan alokasi kursi. Penyusunan daerah pemilihan tersebut juga menjadi salah satu tahapan yang penting di awal proses penyelenggaraan pemilihan umum untuk memastikan daulat rakyat benar –benar hadir dalam proses uji publik tersebut. Hal ini guna memastikan prinsip keterwakilan yang dilakukan melalui proses pemilihan umum sesuai dengan prinsip pemilu yang jujur, adil, proporsional, dan demokratis. Jika dalam penataan Dapil tidak melibatkan daulat rakyat sebagai pemegang amanat demokrasi yang hakiki,maka akan berpotensi dipersoalkan di kemudian hari,seperti apa yang dilakukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) baru –baru ini Dalam permohonannya menguji UU nomor 7 tahun 2107 tentang pemilihan umum , Perludem menyatakan Pasal 187 ayat (1), Pasal 187 ayat (5), Pasal 189 ayat (1), Pasal 189 ayat (5), dan Pasal 192 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.dengan nomor  perkara Nomor 80/PUU-XX/2022 dalam permohonan Pemohon menyatakan urgensi penyusunan daerah pemilihan harus memenuhi prinsip daulat rakyat dan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sebab, pemilihan umum merupakan sarana untuk mengejawantahkan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945. Penyusunan daerah pemilihan tersebut juga menjadi salah satu tahapan yang penting di awal proses penyelenggaraan pemilihan umum. Hal ini guna memastikan prinsip keterwakilan yang dilakukan melalui proses pemilihan umum sesuai dengan prinsip pemilu yang jujur, adil, proporsional, dan demokratis. 

Pemohon juga menyatakan pembuktian penyusunan daerah pemilihan bertentangan dengan prinsip dan alokasi kursi DPR dan DPRD Provinsi yang diatur dalam norma tersebut. Prinsip utama seperti kesetaraan nilai suara, ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional tersebut membatasi ruang alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan baru untuk Pemilu DPR dan DPRD di Daerah Otonom Baru. Norma ini, mengatur jumlah alokasi kursi dan batas-batas wilayah dalam suatu daerah pemilihan DPR ke dalam lampiran III, namun tidak mengatur mekanisme pembentukan daerah pemilihan untuk daerah otonomi baru. (web MK)

Untuk itu, dalam Petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan yang dimohonkan oleh pemohon untuk seluruhnya. Serta menyatakan Pasal 187 ayat (1) UU Pemilu berbunyi, “Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi, kabupaten/kota, atau  gabungan kabupaten/kota” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang  tidak dimaknai “Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi,  kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota yang penyusunannya didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 185”. Menyatakan Pasal 187 ayat (5) UU Pemilu berbunyi, “Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan pemilihan anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari undang-undang ini” bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai “Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR  sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan KPU.

Pengawasan 

Merujuk pada peraturan komisi pemilihan umum PKPU nomor 6 tahun 2022 tentang penataan daerah pemilihan dan alokasi kursi anggota dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota dalam pemilihan umum,memberikan kewenangan KPU menyususn Dapil dengan memperhatikan prinsip a.kesetaraan nilai,b.ketaatan pada prinsip pemilu yang proposional c.proporsionalitas d.integritas wilayah e.berada dalam cakupan wilayah yang sama  f.kohesivitas  dan g .kesinambungan .

Pada konteks ini, Badan Pengaws Pemilu (Bawaslu) sebagai pengawas pemilu harus mampu mengawasi rangkain tahapan penadapilan agar subtansi ,mengenai pembentukan Dapil sesuai dengan kaida dan prinsip dalam pembentukan pendapilan,dalam pelaksanaannya Bawaslu juga harus memastikan semua rangkain persiapan dan pelaksanaan serta  uji publik harus betul –betul menghadirkan para pemangku kepentingan yang berkompeten.  Tidak hanya karena daerah pemilihan merupakan arena kompetisi sebenarnya dari peserta pemilu dan para calon anggota legislatif, tetapi juga dalam penataan daerah pemilihan meniscayakan “rekayasa” dan “akal akalan” dikarenakan konsekuensi dari sistem Pemilu (beserta unsur-unsur di dalamnya) yang dianut oleh suatu negara (Kartawidjaja dan Pramono 2007; Reynolds, Reilly, dan Ellis 2005).Berpotensi akan terjadi dalam jual beli kepentingan dalam penataan pendapilan menuju pemilu serentak tahun 2024.

Untuk menghindari semua rangkaian pelanggaran dalam rangka efektifitas  penataan Dapil ,maka Bawaslu perlu melakukan langkah-langkah sebagai berikut.Pertama, Bawaslu dalam melakukan pengawasan harus memastikan KPU ,agar memperhatikan  prinsip kesetaraan nilai suara merupakan upaya untuk meningkatkan nilai suara atau harga kursi yang setara antara 1(satu) Dapil dan Dapil lainya  dengan prinsip 1(satu) orang satu suara  satu nilai .Kedua,Bawaslu harus memastikan KPU untuk memastikan prinsip ketaatan pada sistem pemilu agar ketaatan dalam pembentukan Dapil dengan mengutamakan jumlah kursi yang besar agar persentase jumlah kursi yang diperoleh setiap partai politik setara mungkin dengan persentase suara sah yang diperoleh.Ketiga,Bawaslu harus memastikan prinsip proporsionalitas agar kesetaraan alokasi dengan memperhatikan kursi antar Dapil agar tetap terjaga perimbangan alokasi kursi setiap Dapil.Keempat,Bawaslu harus memastikan prinsip integralitas wilayah agar KPU memperhatikan beberapa provinsi ,beberapa kabupaten/ kota ,atau kecamatan yang disusun menjadi 1(satu) Dapil untuk daerah perbatasan ,dengan tetap memperhatikan keutuhan dan keterpatuhan wilayah ,serta mempertimbangkan kondisi geografis,sara perhubungan ,dan aspek kemudahan transportasi .Kelima,Bawaslu harus memastikan KPU agar memperhatikan  prinsip kohesivitas dalam penyusunan Dapil dengan memperhatikan sejarah ,kondisi sosial budaya,adat istiadat dan kelompok minoritas.Keenam,Bawaslu harus memastikan KPU harus memperhatikan prinsip kesinambungan agar penyusunan Dapil yang suda ada dalam pemilu tahun sebelumnya ,kecuali jika alokasi kursi pada Dapil tersebut melebihi batas maksimal alokasi kursi setiap Dapil atau apabila bertentangan dengan keenam prinsip diatas .

Pada tahap teknis Bawaslu dan KPU harus berkolaborasi agar melakukan langka progresif, diperlukan usaha-usaha perbaikan agar proses dan hasil perbaikan memenuhi prinsip-prinsip pembentukan Dapil yang demokratis. KPU perlu untuk menentukan batas angka yang dapat ditoleransi yang terukur untuk setiap prinsip. Sebab tidak mungkin ada Dapil yang ideal. Di samping itu, diperlukan penajaman dan kejelasan prinsip-prinsip pembentukan Dapil. Tujuannya, agar tidak terjadi tumpang tindih antar-berbagai tuntutan dari prinsip-prinsip tetapi juga agar dapat didasari oleh para pembentuk Dapil dan para pemangku kepentingan bahwa dalam setiap Dapil yang terbentuk niscaya terjadi bias dan ketidaksempurnaan.Dengan  demikian maka substansi penataan Dapil ideal dapat terwujud menuju pemilu serentak tahun 2024 dengan tetap memperhatikan daulat rakyat sebagai kemajuan demokrasi substansial.


MEMPERINGATI HARI DIFABEL INTERNASIONAL: MELIHAT HAK KELOMPOK DIFABEL DALAM PARTAI POLITIK MENJELANG PEMILU 2024



Azka Abdi Amrurobbi
(Mahasiswa Doktor Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada dan Pegiat Komite Independen Sadar Pemilu)

Hari Difabel Internasional (International Day of Persons with Disabilities) diperingati oleh masyarakat dunia setiap tanggal 3 Desember. Peringatan ini dilandasi dari sejarah kelam penyandang difabel. Dahulu mereka tidak mendapatkan pengakuan baik secara nasional maupun internasional.

Tahun 1970 negara Inggris mengesahkan Undang-Undang Orang Sakit Kronis dan Penyandang Difabel, kemudian pada 1983 hingga 1992, The United Nations Decade of Disabled Person digelar dengan tujuan agar pemerintah dan organisasi global dapat mengambil langkah untuk meningkatkan hak asasi manusia bagi kelompok difabel di dunia. Singkat cerita, pada 14 Oktober 1992, Hari Difabel Internasional atau International Day of Disabled Persons ditetapkan oleh Majelis Umum PBB 47/3 yang kemudian pada 18 Desember 2007 Majelis Umum PBB merubahnya menjadi International Day of Person with Disabilities.

Hari Difabel Internasional ini harus dijadikan sebagai refleksi bagi seluruh elemen masyarakat tak terkecuali bagi partai politik. Menjelang Pemilu 2024 sudah tentu partai politik sibuk mencari pasangan yang pas untuk berkoalisi dan mencari sosok yang pas untuk diusung sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden, hingga calon anggota legislatif (DPD, DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota).

Kesibukan yang dilakukan oleh partai politik saat ini dirasa hanya fokus bagaimana mereka memperoleh dukungan dan suara sebanyak-banyaknya untuk memenangkan jagoan masing-masing bahkan untuk lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang dianggap oleh beberapa ahli membebani partai politik. Namun mereka abai terhadap hak-hak politik bagi penyandang difabel, terutama hak untuk dipilih. Hal tersebut karena logika elektoral yang digunakan untuk melihat kelompok difabel secara politik.

Padahal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 5, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah mengamanatkan bahwa kelompok difabel memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Namun sayangnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tidak mengamanatkan secara spesifik keterlibatan difabel di dalam partai politik, tidak seperti kelompok perempuan yang disebutkan 3 kali di Pasal 2 Ayat 2, Pasal 2 Ayat 5, dan Pasal 29 Ayat 1 A.

Maka dari itu ada dua hal mendesak yang perlu dilakukan. Pertama, merubah logika partai politik dari logika elektoral ke logika hak asasi manusia dalam melihat keterlibatan kelompok difabel di dalam tata kelola partai politik. Kedua, penulis mendorong adanya revisi Undang-Undang Partai Politik untuk membuka peluang seluas-luasnya bagi kelompok difabel dalam rangka berpartisipasi dan memenuhi hak politiknya.

AFFIRMATIVE ACTION SEBATAS LIP SERVICE

Oleh: Cici Cartika (Fatayat NU Tangerang Selatan)

*Tulisan ini sepenuhnya mewakilkan pandangan penulis dan tidak mewakili
pandangan KISP secara kelembagaan

_______

Proses tahapan pemilu yang sedang berjalan saat ini adalah proses verifikasi partai politik, tentu dalam hal ini KPU dan Bawaslu sebagai dua penyelenggara yang tidak dapat terpisahkan dalam setiap proses tahapan yang berlangsung. Proses tahapan lainnya yang sedang dilaksanakan adalah rekrutmen penyelenggara di Bawaslu di 25 provinsi. Seperti yang kita ketahui, Bawaslu menunjukkan pada sisi bahwa upaya pemenuhan kuota 30 persen perempuan masih terus menjadi hal yang menjadi perhatian bersama.

Hal yang menarik dari proses rekruitmen bahwa ikhtiar untuk memenuhi kuota 30 persen terus diupayakan meskipun hasil proses tidak selalu selaras. Berdasar pada UU yang mengatur tentnag Affirmative action tentu menjadi hal yang sudah seyogyanya bahwa di setiap tahapan rekruitmen perlu menjadi upaya bersama dalam mewujudkan kebutuhan kuota 30 persen sesuai dengan yang tertuang di UU Pemilu no 7 tahun 2017.

Dalam banyak kesempatan, melihat hasil daripada proses rekruitmen Bawaslu provinsi dari 25 provinsi, hanya terpenuhi di angka 15 persen saja yang juga hanya terdapat di beberapa provinsi. Artinya ada beberapa provinsi dengan hasil seleksi tanpa kandidat perempuan terpilih.  Mungkin, ini terkait pada nilai hasil fit and proper test.

Alasan lainnya, mungkin terkait capability diantara kandidat lainnya, padahal tentu saja kandidat perempuan yang berhasil masuk di 6 besar adalah perempuan – perempuan berkualitas yang terpilih. Terlepas dari hal tersebut, ini menjadi perhatian dan concern bersama dalam mewujudkan pemenuhan kuota 30 persen yang  masih belum maksimal di tingkatan provinsi tersebut. Karena dalam hal ini, provinsi tentu harusnya menjadi parameter dalam proses tahapan rekruitmen  lainnya, baik itu Bawaslu di tingkatan Kota atau Kabupaten bahkan di tingkat badan adhoc panwascam dan petugas di lapangan.

Di samping itu, proses tahapan rekruitmen panwascam yang saat ini sedang berlangsung, seperti disebutkan di awal bahwa pemenuhan kuota perempuan menjadi acuan dalam setiap proses tahapan pemilu. Di beberapa daerah, proses pendaftaran panwascam telah selesai berjalan sesuai dengan timeline yang ada tentu hal ini karena kebutuhan kuota 30 persen sudah terpenuhi. Akan tetapi di beberapa wilayah lainnya, ada yang masih melakukan tahapan perpanjangan pendaftaran. Hal ini dilakukan, karena kuota perempuan 30 persen dalam lingkup kecamatan ini belum terpenuhi. Kuota 30 persen yang harus terpenuhi berdasar pada skala ibukota masing masing kecamatan, bukan pada total keseluruhan pendaftar. 

Hal ini merupakan hal yang harus diapresiasi, karena tentu ini menjadi salah satu upaya dalam mewujudkan pemenuhan kuota perempuan di lingkup kecamatan. Upaya ini, menjadi tolak ukur apabila mungkin di tahapan proses rekruitmen Bawaslu provinsi belum terpenuhi maka hal tersebut dapat diwujudkan di tingkatan kecamatan. Akan tetapi, hal ini mungkin saja terlihat kontradiktif, mengingat kultur, kondisi ataupun dinamika yang ada di setiap daerah yang mana itu adalah kecamatan sudah pasti berbeda. Tapi, di sisi lain mungkin ini bisa menjadi barometer atau strategi dalam mencapai kesetaraan dalam hal pemenuhan kuota 30 persen.

Pemenuhan kuota 30 persen kuota perempuan pada penyelenggara dapat diwujudkan apabila semua piha dapat berfokus pada hasil proses. Sebab, apabila pemenuhan kuota 30 persen ini hanya sebatas untuk memenuhi administrasi maka tentu saja affirmative action hanya menjadi sebatas lips service dari proses yang ada. Sehingga, masih dianggap bahwa perempuan dengan kuota 30 persen tersebut sebagai pelengkap saja. Mengingat proses tersebut, harus kita akui bahwa masih menjadi homework berbagai pihak untuk menambah keikutsertaan kader-kader perempuan pilihan menjadi penyelenggara tentunya. Selain Bawaslu, tentu saja, KPU dalam hal ini sama sebagai penyelenggara.

Harapannya, tentu saja proses tahapan dengan ketentuan kuota 30 persen ini menjadi satu hal yang diupayakan secara de facto yang dapat terwujud di berbagai tataran kepemimpinan penyelenggara pemilu dalam proses rekruitmen berikutnya. Mengingat kompleksitas pemilu 2024 juga tentunya, concern semua pihak tentu harus menjadikan pemilu ini berkualitas dengan pihak penyelenggara yang memiliki equality, baik laki laki ataupun perempuan yang paling utama adalah kemampuannya dalam melaksanakan tugasnya. Agar supaya, ketika berbicara pemenuhan kuota 30 persen ini bisa selaras sesuai dengan kebutuhan.

Pemilu 2024, harus menjadi pembaharu perubahan dalam mewujudkan frasa kuota 30 persen  perempuan yang tertuang dalam UU pemilu tersebut.

KAUM MUDA SEBAGAI KUNCI SUKSESI PEMILU 2024

Oleh:

Nur Kholis

Mahasiswa S2 Sosiologi Universitas Jenderal Soedirman

*Tulisan ini sepenuhnya mewakilkan pandangan penulis dan tidak mewakili
pandangan KISP secara kelembagaan

_______________________________________________

Saat ini tahapan-tahapan Pemilu 2024 sudah dimulai. Ada yang menarik dalam isu pemilu nanti, yaitu membincang bagaimana keterlibatan dan peran strategis anak muda sebagai pemegang kunci suksesor penting pemilu 2024. Berdasarkan data dari KPU RI, jumlah daftar pemilih tetap (DPT) pemilihan umum serentak 2019, pemilih yang berusia 20 tahun berjumlah 17. 501. 278 orang, sedangkan jumlah pemilih kisaran usia 21 – 30 tahun mencapai 42. 843.792 orang. Dan pada pemilu serentak 2024 nanti, jumlah pemilih dari kalangan muda diprediksi akan meningkat signifikan hingga mencapai angka 60 persen dari total suara pemilih.

 Hal tersebut sangat dibutuhkan sehingga pemilu bukan hanya dijadikan sebagai saran sirkulasi elite semata, namun juga sebagai ikhtiar untuk bisa menghasilkan pemimpin yang berintegritas, berkualitas, dan mampu menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Dengan demikian, kalangan muda dianggap memegang peran kunci dalam menyukseskan pemilu tahun 2024.  Pemilihan umum sejatinya merupakan hasil dari dari keterlibatan demokrasi (democracy engagement) antara pemilih dan yang dipilih. Tanpa adanya partisipasi publik, partisipasi politik, dan partisipasi pemilih, pemilu tidak akan pernah terselenggara.

Dalam kaitannya dengan partisipasi publik, perlu diperhatikan pemilih dari kalangan muda yang jumlahnya mencapai 60 persen, dan ini tidak main-main. Oleh karena itu penting untuk merangkul dan menggaet anak-anak muda untuk ikut serta secara langsung dalam pemilu 2024.  Rata-rata pemilih usia muda mempunyai kritis, optimis, dan dinamis. Generasi muda yang mendominasi jumlah pemilih, rawan terjebak dan dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan kampanye politik transaksi, kampanye hitam, sampai pada isu SARA. Hal tersebut merupakan alarm bagi kita semua, termasuk pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk menjaga trust kelompok muda dan juga memastikan bahwa generasi muda dapat menjadi bagian penting dalam setiap tahapan pemilu. 

Selain itu, sampai sekarang belum ada partai politik yang melaksanakan proses seleksi intern untuk menyaring memutuskan para bakal calon legislatifnya. Padahal partisipasi publik harus terkoneksi dalam setiap tahapan pemilu, mulai dari pembukaan pendaftaran pemilih, kampanye, proses penentuan caleg, sampai dilaksanakannya pemunguan suara. Bahkan hingga saat ini belum dilakukan pengambilan nomor urut parpo namun konstituen parpol yang memiliki hak untuk menentukan.

Beberapa waktu yang lalu, kita mendengar bahwa Ketua PDI Perjuangan mewacanakan agar nomor urut parpol tetap sama dengan pemilu 2019 lalu, sehingga tidak perlu diubah lagi. Dalam kasus ini sebenarnya KPU memiliki hak dan otoritas penuh sebagai penyelenggara pemilu untuk menentukan kebijakan termasuk mengenai nomor urut parpol. Dan harus tegas agar tidak sampai menimbulkan kegaduhan, dan kebingungan dalam masyarakat.

Kemudian, tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu juga masih kurang, masih banyak masyarakat yang enggan terlibat dalam tahapan-tahapan pemilu mulai dari penyusunan, pengawasan, hingga pelaksanaan serta penetapan hasil. Fenomena-fenomena akan mampu teratasi dengan baik apabila kelompok muda diberikan ruang untuk ikut serta berpartisipasi secara utuh.

Salah satu strategi untuk merangkul partisipasi anak muda adalah KPU dan Bawaslu dapat bekerjasama dengan cara menyediakan kesempatan seluas-luasnya bagi generasi muda untuk masuk dan terlibat sebagai penyelenggara pemilu. Contohnya sekarang tengah dilakukan seleksi panwascam secara nasional, paling tidak ada kursi yang diperuntukkan bagi pendaftar dari kalangan muda. Begitu juga dengan KPU ketika membuka pendaftaran PPK nanti juga memberikan ruang bagi anak-anak muda untuk ikut terlibat aktif dalam tahapan-tahapan pemilu.

Selama ini, anggota panwascam, dan PPK masih banyak diisi oleh kalangan senior, jarang sekali anak muda usia 25 – 28 tahun yang diberi kesempatan karena dinilai kurang berpengalaman dan masih perlu belajar lagi. Padahal, di momen-momen seperti ini generasi muda dapat belajar, dan generasi senior dapat membimbing dan mengarahkan agar generasi muda mengerti dan dapat berkontribusi secara optimal.

Dalam proses itu ada transfer pengetahuan, transmisi pengalaman, serta menyiapkan talenta-talenta muda yang akan melanjutkan peran sebagai penyelenggara pemilu. Itu adalah cara konkrit yang bisa kita lakukan untuk menggandeng generasi muda menyukseskan pemilu 2024.

Banyak peran yang dapat diambil oleh anak-anak muda dalam menyukseskan pemilu, bukan hanyaa sebagai penyelenggara pemilu tapi juga sebagai calon yang dipilih, sebagai duta demokrasi yang menyampaikan pesan-pesan tentang partisipasi kepada masyarakat, bergabung sebagai penyelenggara pemilu, sampai yang terkecil yaitu hadir ke TPS untuk menyampaikan hak suaranya yang jelas generasi muda tidak pasif dan apatis politik.

Sudah bukan zamannya lagi anak muda pasif, anak muda hanya diam, atau hanya dimanfaatkan sebagai objek politik jangka pendek. itu hanya akan merugikan diri sendiri dan masyarakat, dan yang terpenting adalah menunjukkan kontribusi nyata. Anak-anak muda harus bersatu dan meneguhkan komitmen bersama untuk mengambil peran kunci dalam perubahan ke arah yang lebih baik, yaitu terlibat aktif dalam setiap tahapan pemilu. Dengan ilmu, fikiran, gagasan, waktu, energy, dan semangat optimisme, anak-anak muda mampu mengambil inisiatif peran sebagai pemegang kunci suksesor pemilu 2024.

PENDAFTARAN TERPADU SATU PINTU

Oleh:
Fajar Randi Yogananda
Komisioner KPU Kota Pekalongan

*Tulisan ini sepenuhnya mewakilkan pandangan penulis dan tidak mewakili pandangan KISP secara kelembagaan

Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) resmi menerbitkan regulasi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2022 Tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pada tanggal 20 Juli 2022. Ada banyak perubahan dan hal baru yang diatur dalam PKPU tersebut. Salah satu perubahan yang dianggap revolusioner adalah proses pendaftaran, dari yang semula desentralisasi atau ada pembagian di KPU RI, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, menjadi tersentralisasi yang dilakukan oleh KPU RI. Kebijakan tersebut dilakukan agar proses pendaftaran partai politik bisa berlangsung dengan “Mudah, murah, cepat, transparan dan akuntabel”.

Secara garis besar proses pendaftaran calon peserta pemilu untuk bisa menjadi peserta pemilu dibagi menjadi empat tahap: Pertama, pendaftaran; Kedua, Verifikasi Administrasi; Ketiga, Verifikasi Faktual; dan Keempat, penetapan. Untuk tahapan pendaftaran, terjadi perubahan yang cukup revolusioner dari semula yang berpola desentralisasi, dimana partai politik di tingkat kabupaten/kota menyerahkan dokumen fisik berupa fotokopi Kartu Tanda Penduduk elektronik dan Kartu Tanda Anggota serta daftar nama yang dicetak lewat aplikasi Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL), kini menjadi tersentralisasi, dimana proses pendaftaran cukup dilakukan di KPU RI.

Mengacu pada pasal 6, PKPU Nomor 4 Tahun 2022, secara garis besar ada empat kategori partai politik yang dapat menjadi calon peserta Pemilu. Pertama, Partai Politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari perolehan suara sah secara nasional hasil Pemilu terakhir. Partai kategori pertama ini yakni partai politik ditetapkan menjadi peserta pemilu apabila memenuhi persyaratan berdasarkan hasil verifikasi administrasi.

Kedua, Partai Politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari perolehan suara sah secara nasional hasil Pemilu terakhir dan memiliki keterwakilan di tingkat DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Ketiga, Partai Politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari perolehan suara sah secara nasional hasil

Pemilu terakhir dan tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Keempat, Partai Politik yang tidak menjadi peserta Pemilu dalam Pemilu terakhir. Untuk partai kategori kedua, ketiga dan keempat ditetapkan menjadi peserta Pemilu jika memenuhi persyaratan berdasarkan hasil Verifikasi Administrasi dan Verifikasi Faktual.

Mengacu kepada Keputusan KPU RI Nomor 260 Tahun 2022 tentang Pedoman Teknis bagi Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi, Dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota Dalam Pelaksanaan Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. KPU RI menerima pendaftaran Partai Politik dan penyampaian dokumen pendaftaran oleh Partai Politik mulai hari senin, 1 agustus s.d Minggu, 14 Agustus 2022. Melalui Konferensi Pers yang dilakukan pada tanggal 16 Agustus 2020, Pukul 13.20, tercatat ada 24 (dua puluh empat) partai politik yang berkas pendaftarannya dinyatakan telah lengkap dan diterima sebagai calon peserta pemilu 2024, 16 (enam belas) partai politik yang berkas pendaftarannya dikembalikan, 3 (tiga) partai politik yang sudah memiliki akun sipol namun tidak melakukan pendaftaran.

Tugas KPU Kabupaten/Kota

Bagaimana dengan tugas KPU Kabupaten/Kota? Mengacu pada PKPU No 4 Tahun 2022, Pasal 35, ayat 1, KPU Kabupaten/Kota bertugas melakukan verifikasi administrasi terhadap dokumen persyaratan keanggotaan Partai Politik calon peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), serta verifikasi administrasi Perbaikan sesuai dengan pasal 59 ayat 1.

Pada prinsipnya, verifikasi administrasi dilakukan untuk membuktikan lima hal. Pertama, daftar nama anggota Partai Politik yang tercantum di dalam Sipol telah sesuai dengan dokumen KTA dan KTP-el atau KK yang diunggah di Sipol. Kedua, dugaan ganda anggota Partai Politik yang tercantum dalam Sipol. Ketiga, status pekerjaan yang tercantum dalam Sipol telah memenuhi syarat sebagai anggota Partai Politik. Keempat, usia dan/atau status perkawinan yang tercantum dalam Sipol telah memenuhi syarat sebagai anggota Partai Politik; dan Kelima, NIK tidak terdaftar pada Data Pemilih Berkelanjutan sesuai dengan NIK yang tercantum dalam KTP-el atau KK yang ada Sipol.

Tidak hanya verifikasi administrasi, KPU Kabupaten/kota juga bertugas melakukan verifikasi faktual sebagaimana dimaksud pada Pasal 79 dan Pasal 84, Verifikasi Faktual pada dasarnya dilakukan untuk membuktikan empat hal. Pertama, kepengurusan Partai Politik calon peserta Pemilu tingkat kabupaten/kota. Kedua, memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) pada susunan Pengurus Partai Politik Tingkat Kabupaten/Kota. Ketiga, domisili Kantor Tetap pada kepengurusan Partai Politik tingkat kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu. Keempat, keanggotaan Partai Politik.

Hasil Akhir

Pasca melakukan tugasnya (verifikasi Administrasi dan verifikasi faktual) KPU Kabupaten/Kota tidak memberikan hasil nya kepada Partai Politik dan Bawaslu di tingkat Kabupaten/Kota, melainkan melaporkan hasil kepada KPU RI melalui KPU Provinsi. KPU RI lah yang menyampaikan kepada Partai politik dan Bawaslu di tingkat pusat, sekaligus menjadi penentu akhir, pasca proses rekapitulasi terkait partai mana saja yang memenuhi syarat dan tidak tidak memenuhi syarat menjadi peserta PEMILU. Puncaknya KPU RI melakukan pengundian nomor urut dalam rapat pleno terbuka yang akan dilakukan pada tanggal 14 Desember 2022.