Memilih Manusia Politik, Bukan Politisi

Oleh:

Nur Kholis (Mahasiswa S2 Sosiologi Unsoed)

*Tulisan merupakan pendapat pribadi penulis, tidak mewakili KISP secara kelembagaan


Indonesia akan melaksanakan Pemilu pada 14 Februari 2024 mendatang, bersama dengan berbagai dinamika yang mewarnai mulai dari isu proporsional tertutup atau terbuka, gugatan partai politik hingga isu penundaan pemilu. 

            Pemilu 2024 akan menjadi gelombang pemilihan umum kelima dalam era reformasi sejak diselenggarakan pertama kali tahun 2004. Baik dari sisi penyelenggaraan maupun kontestan, terdapat fenomena menarik. Hal ini karena pemilu dilaksanakan pasca Pandemi Covid-19, dan dari sisi kontestan tidak kalah menarik.

            Setiap ajang kontestasi, partai politik senantiasa bergeliat membangun komunikasi, kerjasama, hingga berlomba-lomba menjaring kandidat terbaik untuk dicalonkan dalam arena kontestasi baik dari kalangan internal maupun eksternal parpol. Pemilu 2024 nanti akan sangat berbeda dengan pemilu sebelum-sebelumnya, karena hingga hari ini belum ada pasangan yang mendominasi secara elektabilitas dan cenderung dari segi bursa sangat kompetitif.

            Hal itu disebabkan kepemimpinan yang sekarang (petahana) sudah tidak dapat mencalonkan lagi, sehingga setiap partai politik bekerja ekstra mulai awal untuk meraih kemenangan.  Menghadapi pemilu 2024, partai-partai politik mulai bergerak membangun interaksi sosial secara simultan. Interaksi dan komunikasi dibutuhkan sebagai pengamalan prinsip bahwa partai politik bukan hanya berfungsi sebagai kendaraan bagi kalangan elite untuk merebut kekuasaan.

            Prof. Firmanzah, dalam bukunya yang berjudul “Marketing Politik” sejatinya kekuasaan bukan tujuan akhir dari setiap aktivitas politik, tapi dinilai sebagai alat (sarana) demi memperjuangkan kepentingan dan membenahi kualitas kehidupan masyarakat. Untuk itu, dalam setiap penyelenggaraan pemilihan, masyarakat diharapkan mampu menggunakan mata dan akal budi yang dimilikinya secara optimal untuk menjatuhkan pilihan terakhirnya kepada manusia politik, bukan politisi.  Manusia politik dan politisi memiliki pengertian yang berbeda satu sama lain.

            Manusia politik merupakan individu yang penuh dengan kecintaan, memiliki syahwat untuk memproduksi dan mereproduksi gagasan-gagasan besar, memiliki spirit berorganisasi yang kuat, serta mempunyai kecenderungan untuk memposisikan kemaslahatan masyarakat diatas kemaslahatan pribadi dan kelompok.

            Sedangkan politisi, ia hanya mempunyai nafsu untuk berkuasa tanpa diimbangi dengan spirit dan gagasan-gagasan mulia, bahkan nirempati terhadap rakyat. Dalam pandangan politisi, partai politik hanya dijadikan sebagai kendaraan untuk meraih tujuannya yakni merebut kekuasaan. Apabila dirinya sudah menemukan partai lain yang dianggap lebih menjanjikan, ia tidak akan sungkan untuk keluar dari partai sebelumnya dan berpindah ke partai yang lain.

            Dalam proses kontestasi, tidak jarang para politisi tersandera oleh kepentingan pragmatis yang meyakni bahwa parpol hanya sebagai media untuk meraih kekuasaan. Hal ini yang mereduksi makna penting dari perjuangan untuk rakyat itu sendiri. Tetapi, dengan pendidikan politik yang berkesinambungan, pola pikir masyarakat dapat tercerahkan secara perlahan, dan mampu membedakan mana orang dan parpol yang hanya mengejar kepentingan sendiri dan kelompoknya dan mana orang dan yang benar-benar memiliki ketulusan dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.

            Bukan hanya itu, dalam berbagai kompetisi, para politisi tidak segan-segan melakukan berbagai cara untuk memenuhi syahwatnya terhadap kekuasaan, termasuk menggunakan politik identitas, kampanye hitam (black campaign), politik uang (money politics), dan berbagai cara lainnya. Karena yang terpenting bagi para politisi adalah tercapainya nafsu kekuasaan.

            Namun sebaliknya, manusia politik menilai bahwa politik adalah sebuah jalan pengabdian yang sejati kepada masyarakat. dia merupakan sebuah jembatan yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengatasi beragam problematika yang dihadapi oleh bangsa dan negara. sedangkan kekuasaan, dijadikan sebagai instrument untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Kekuasaan diraih bukan sekedar untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Namun, kekuasaan diperlukan untuk mengatur, dan mengarahkan kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik dan progresif.

            Kehadiran manusia politik diharapkan mampu menjadi duta yang secara konsisten menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan, adanya partai politik diperlukan sebagai sarana untuk mentransmisikan dan menerjemahkan apa yang menjadi pesan-pesan kerakyatan. Oleh karena itu para elit parpol dan masyarakat perlu berdialog secara berkelanjutan sehingga yang menjadi cita-cita bersama dapat tercapai.

            Oleh karena itu, masyarakat perlu menguatkan nalar kritis untuk menghindari pengaruh ucapan manis para politisi. Masyarakat perlu tegas menolak kehadiran politisi dan menggunakan hak pilihnya untuk memilih manusia politik. Kita perlu memilih figure manusia yang mampu memproduksi dan mereproduksi gagasan, yang mengutamakan kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadi.

            Mari kita  memperkuat persatuan dan kesatuan, bergotong-royong, bekerjasama, dan berkolaborasi untuk menyukseskan pemilu 2024 dan menolak segala bentuk politik yang dapat mengancam keutuhan hidup berbangsa dan bernegara. Mari kita jadikan perspektif manusia politik sebagai gagasan dan tindakan konkrit dalam pemilihan serentak nanti. Memilih manusia politik untuk meraih kehidupan yang penuh gagasan, nilai-nilai mulia, dan kesejahteraan.

14 Responses

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *