AFFIRMATIVE ACTION SEBATAS LIP SERVICE

Oleh: Cici Cartika (Fatayat NU Tangerang Selatan)

*Tulisan ini sepenuhnya mewakilkan pandangan penulis dan tidak mewakili
pandangan KISP secara kelembagaan

_______

Proses tahapan pemilu yang sedang berjalan saat ini adalah proses verifikasi partai politik, tentu dalam hal ini KPU dan Bawaslu sebagai dua penyelenggara yang tidak dapat terpisahkan dalam setiap proses tahapan yang berlangsung. Proses tahapan lainnya yang sedang dilaksanakan adalah rekrutmen penyelenggara di Bawaslu di 25 provinsi. Seperti yang kita ketahui, Bawaslu menunjukkan pada sisi bahwa upaya pemenuhan kuota 30 persen perempuan masih terus menjadi hal yang menjadi perhatian bersama.

Hal yang menarik dari proses rekruitmen bahwa ikhtiar untuk memenuhi kuota 30 persen terus diupayakan meskipun hasil proses tidak selalu selaras. Berdasar pada UU yang mengatur tentnag Affirmative action tentu menjadi hal yang sudah seyogyanya bahwa di setiap tahapan rekruitmen perlu menjadi upaya bersama dalam mewujudkan kebutuhan kuota 30 persen sesuai dengan yang tertuang di UU Pemilu no 7 tahun 2017.

Dalam banyak kesempatan, melihat hasil daripada proses rekruitmen Bawaslu provinsi dari 25 provinsi, hanya terpenuhi di angka 15 persen saja yang juga hanya terdapat di beberapa provinsi. Artinya ada beberapa provinsi dengan hasil seleksi tanpa kandidat perempuan terpilih.  Mungkin, ini terkait pada nilai hasil fit and proper test.

Alasan lainnya, mungkin terkait capability diantara kandidat lainnya, padahal tentu saja kandidat perempuan yang berhasil masuk di 6 besar adalah perempuan – perempuan berkualitas yang terpilih. Terlepas dari hal tersebut, ini menjadi perhatian dan concern bersama dalam mewujudkan pemenuhan kuota 30 persen yang  masih belum maksimal di tingkatan provinsi tersebut. Karena dalam hal ini, provinsi tentu harusnya menjadi parameter dalam proses tahapan rekruitmen  lainnya, baik itu Bawaslu di tingkatan Kota atau Kabupaten bahkan di tingkat badan adhoc panwascam dan petugas di lapangan.

Di samping itu, proses tahapan rekruitmen panwascam yang saat ini sedang berlangsung, seperti disebutkan di awal bahwa pemenuhan kuota perempuan menjadi acuan dalam setiap proses tahapan pemilu. Di beberapa daerah, proses pendaftaran panwascam telah selesai berjalan sesuai dengan timeline yang ada tentu hal ini karena kebutuhan kuota 30 persen sudah terpenuhi. Akan tetapi di beberapa wilayah lainnya, ada yang masih melakukan tahapan perpanjangan pendaftaran. Hal ini dilakukan, karena kuota perempuan 30 persen dalam lingkup kecamatan ini belum terpenuhi. Kuota 30 persen yang harus terpenuhi berdasar pada skala ibukota masing masing kecamatan, bukan pada total keseluruhan pendaftar. 

Hal ini merupakan hal yang harus diapresiasi, karena tentu ini menjadi salah satu upaya dalam mewujudkan pemenuhan kuota perempuan di lingkup kecamatan. Upaya ini, menjadi tolak ukur apabila mungkin di tahapan proses rekruitmen Bawaslu provinsi belum terpenuhi maka hal tersebut dapat diwujudkan di tingkatan kecamatan. Akan tetapi, hal ini mungkin saja terlihat kontradiktif, mengingat kultur, kondisi ataupun dinamika yang ada di setiap daerah yang mana itu adalah kecamatan sudah pasti berbeda. Tapi, di sisi lain mungkin ini bisa menjadi barometer atau strategi dalam mencapai kesetaraan dalam hal pemenuhan kuota 30 persen.

Pemenuhan kuota 30 persen kuota perempuan pada penyelenggara dapat diwujudkan apabila semua piha dapat berfokus pada hasil proses. Sebab, apabila pemenuhan kuota 30 persen ini hanya sebatas untuk memenuhi administrasi maka tentu saja affirmative action hanya menjadi sebatas lips service dari proses yang ada. Sehingga, masih dianggap bahwa perempuan dengan kuota 30 persen tersebut sebagai pelengkap saja. Mengingat proses tersebut, harus kita akui bahwa masih menjadi homework berbagai pihak untuk menambah keikutsertaan kader-kader perempuan pilihan menjadi penyelenggara tentunya. Selain Bawaslu, tentu saja, KPU dalam hal ini sama sebagai penyelenggara.

Harapannya, tentu saja proses tahapan dengan ketentuan kuota 30 persen ini menjadi satu hal yang diupayakan secara de facto yang dapat terwujud di berbagai tataran kepemimpinan penyelenggara pemilu dalam proses rekruitmen berikutnya. Mengingat kompleksitas pemilu 2024 juga tentunya, concern semua pihak tentu harus menjadikan pemilu ini berkualitas dengan pihak penyelenggara yang memiliki equality, baik laki laki ataupun perempuan yang paling utama adalah kemampuannya dalam melaksanakan tugasnya. Agar supaya, ketika berbicara pemenuhan kuota 30 persen ini bisa selaras sesuai dengan kebutuhan.

Pemilu 2024, harus menjadi pembaharu perubahan dalam mewujudkan frasa kuota 30 persen  perempuan yang tertuang dalam UU pemilu tersebut.

194 Responses

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *