KAUM MUDA DAN POTENSI POLARISASI DI TAHUN POLITIK 2024

Oleh: Dimas Adi Nugroho (Pegiat KISP, Mahasiswa HI UMY)


Indonesia kembali menyelenggarakan pesta demokrasi yakni Pemilihan Umum (Pemilu) serentak pada Februari 2024 mendatang. Walaupun masih satu tahun ke depan, rasanya euforia terhadap iklim politik di Indonesia mulai meningkat belakangan ini. Terlebih Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan sejumlah 17 partai lolos dan menjadi peserta Pemilu 2024 pada Desember lalu. Sejak saat itu, elit partai politik  hingga tokoh masyarakat mulai bergerak meningkatkan interaksi politiknya, khususnya di media sosial. Dampaknya, fenomena ini mendominasi topik perbincangan publik hingga algoritma konten di platform media sosial seperti Facebook, Twitter hingga Tiktok belakangan.

Seiring berjalannya waktu, keterikatan antara sistem politik dengan kemajuan zaman adalah sebuah keniscayaan. Sebagai contohnya, kemajuan teknologi yang menghasilkan media sosial sebagai wadah interaksi dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Secara khusus oleh pemerintah dan elit politik. Dalam hal Pemilu, pemanfaatan media sosial dengan baik semestinya  menjadi kekuatan tersendiri bagi sistem pemerintahan demokrasi seperti Indonesia. Dengan ini, kedua pihak baik pemerintah maupun masyarakat dapat berinteraksi 2 arah. Sehingga, interaksi demokrasi dengan prinsip pengawasan, evaluasi dan saran dapat terwadahi, persis dengan yang disampaikan oleh Abraham Lincoln melalui teori demokrasinya.

Pemilu sejatinya menjadi momen persatuan bangsa. Bukankah dinamika pemilu hingga proses pemilihan calon pada dasarnya dilandasi oleh keinginan bersama untuk merubah nasib bangsa? Sayangnya, melihat realitas politik saat ini, hal tersebut masih nampak jauh dari panggang api, alias kita menginginkannya bersama namun upaya kita masih nihil adanya. Salah satu akar-musababnya terletak pada penempatan perilaku politik di ranah sosial media. Banyak kalangan masyarakat hingga elit politik yang masih kurang bijak dalam menempatkan diri di media sosial. Bukanya dimanfaatkan untuk menyampaikan gagasan yang ditawarkan, media sosial belakangan tampil sebagai arena untuk saling menjatuhkan. Lebih-lebih menuju momentum Pemilu.

Fenomena ini menyeruak misalnya pada masa Pemilu 2019, ketika beragam sentimen politik mulai diekspresiken oleh berbagai macam elemen di media sosial akibat isu penistaan agama oleh mantan Gubernur DKI Jakarta. Hal demikian cenderung mengarahkan publik pada fenomena polarisasi politik, yang berujung pada perpecahan bangsa. Polarisasi politik merupakan fenomena di mana sekolompok orang merasa prinsip dan pandangannya paling benar, dan cenderung menyalahkan kelompok yang berseberangan dengan mereka (Annas, 2019). Mirisnya,  ini tidak terjadi pada kalangan publik saja, namun tidak sedikit pula politisi dan tokoh masayarakat yang justru mengawalinya.

Fenomena polarisasi biasanya muncul akibat opini dan bentuk konten negatif yang  mengandung unsur SARA diekspresikan oleh pengguna platform media sosial. Di lain sisi, respon balik pengguna platform media sosial lainnya cenderung mengedepankan aspek emosional. Tak jarang juga pengguna media sosial menangkap informasi semacam ini secara mentah-mentah. Fenomena ini sering terjadi pada konten-konten yang mengandung unsur SARA dan Hoax. Di lain sisi, publik memiliki keterikatan dan kecenderungan tertentu terhadap muatan konten dan elemen dibalik konten tersebut. Akibatnya, muncul pertentangan antar elemen yang memiliki keberpihakan. Bahkan menguatkan kubu-kubu di lingkaran masyarakat.

Adab Bermedia Sosial

Media sosial ibarat sebuah medium bebas, di dalamnya pengguna dapat mengekspresikan berbagai macam pandangan dan pikiran sesuai kehendaknya. Entah bermuatan positif ataupun negatif. Di sini, penilaian akan konten-konten bermuatan positif maupun negatif tidak lagi disandarkan pada norma-norma yang ada. Hal semacam ini juga diperparah dengan masifnya fenomena hoax dan hatespeech. Dalam konteks masa Pemilu, media sosial dengan interaksi bebas-nilai dengan mudah dimanfaatkan oleh segelintir elit politik untuk melancarkan konten-konten negatif demi meraup simpati dan dukungan, salah satunya dengan cara menjatuhkan lawan politik maupun elemen lainnya.

Peristiwa semacam ini sebenarnya juga tidak lepas dari era post-truth, yang mana kebenaran-kebenaran semu banyak ditafsirkan oleh segelintir elemen. Contohnya, elit politik yang melakukan kampanye dengan metode hatespeech dan menyebarkan hoax dengan mudah ditafsirkan sebagai kebenaran oleh pendukungnya atau elit itu sendiri. Mirisnya lagi, massa pendukung justru ikut-ikutan untuk menyebarkan konten semacam itu. Sehingga, gelombang informasi negatif yang berseliweran di beranda platform media sosial dengan begitu mudah meluas. Maka dari itu, hal demikian perlu diatasi dengan mengedepankan adab dalam bermedia sosial.

Indonesia sendiri menduduki peringkat 29 dalam keadaban bermedia sosial. Artinya, keadaban bermedia masyarakat masih tergolong rendah (Rokhiyah, 2021). Keadaban media sosial dapat dibangun dengan beberapa langkah. Pertama, pahami bahwa interaksi media sosial seperti halnya interaksi nyata yang menjunjung sopan santun dan etika. Kedua, sebagai pengguna media sosial, kita harus mengedepankan interaksi berdasarkan fakta yang ada. Ketiga, sebagai penerima informasi, pengguna media sosial harus terlebih dulu memverifikasi informasi yang diterima. Dengan demikian, keadaan yang menjurus pada arah polarisasi di masa-masa Pemilu dapat diantisipasi.

Kaum Muda dan Politik Gagasan

Dalam perkembangannya, kaum muda memiliki banyak kesempatan untuk berproses, meningkatkan kapasitas diri dan memberi tawaran solusi terbaik bagi permasalahan bangsa yang kita hadapi saat ini. Pada masa-masa Pemilu, peran kaum muda memiliki posisi yang sentral, salah satunya dapat berperan mengembalikan iklim politik yang sehat, dan bersandar pada asas meritokrasi.

Dengan kesempatan untuk terus mengasah kemampuan diri, peran kaum muda vital dalam membangun iklim politik gagasan pada masa-masa Pemilu. Terlebih di Pemilu 2024 nanti, kaum muda memiliki partisipasi yang sangat besar, yakni sebesar sekitar 60% dari jumlah pemilih. Maka dari itu, kesadaran politik kaum muda harus dibangun. Dengan modal pembelajaran dan gagasan yang dimiliki, generasi muda dapat berperan dalam membangun iklim politik berdasarkan gagasan, visi dan misi yang ditawarkan calon terhadap masyarakat. Upaya ini juga dapat meminimalisir praktek money politic yang semakin ke sini justru semakin dianggap wajar.

Selain itu, generasi muda sebagai digital natives juga dapat mengantisipasi fenomena polarisasi politik yang tengah terjadi di masyarakat. Indonesia memiliki presentasi 191 juta jiwa pengguna media sosial, mayoritas penggunanya adalah generasi muda (Mahdi, 2022). Kaum muda dapat mengusung perubahan bangsa dengan upaya membendung praktik politik yang mengarah pada polarisasi. Melalui media sosial, kaum muda dapat menciptakan gelombang informasi politik yang positif. Apabila hal tersebut dilakukan secara masif, dapat membentuk iklim politik yang baik dan menjadi pemantik untuk diikuti oleh segenap masyarakat luas. Dengan demikian, politik sebagai ajang perubahan bangsa bukan hal mustahil untuk dicapai.

Sumber:

Annas, F. B., Petranto, H. N., & Pramayoga, A. A. (2019). OPINI PUBLIK DALAM POLARISASI POLITIK DI MEDIA SOSIAL. Jurnal PIKOM (Penelitian Komunikasi Dan Pembangunan), 20, 111.

Muhammad Ivan Mahdi. (2022, February 25). Pengguna Media Sosial di Indonesia Capai 191 Juta pada 2022. DataIndonesia.Id.

Siti Rokhiyah. (2021, June 26). Etika Bermedia Sosial.

20 Responses

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *