Oleh: Faisal, S.Sos,.MM (Kepala Perwakilan Wilayah Sumatera Utara Media Online SINKAP.info, Dosen di STAIs Panca Budi Perdagangan)
*Tulisan adalah opini penulis, tidak mewakili pandangan KISP secara kelembagaan
Politik identitas merupakan salah satu topik baru yang sedang memanas saat ini di Indonesia. Sebenarnya politik identitas ini sudah ada sejak lama, namun efeknya baru dirasakan saat ini. Politik identitas banyak digunakan oleh para pemangku kepentingan sebagai ajang untuk mencari massa dengan menggunakan kesamaan suku, agama, ras, dan etnik untuk mendapatkan dukungan masyarakat.
Pernyataan yang diberikan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, yang potongannya berbunyi “Saya ingatkan, jangan ada lagi politik identitas. Jangan ada lagi politisasi agama. Jangan ada lagi polarisasi social”, dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR. Dari pidato tersebut, saya dapat menangkap bahwa Jokowi berpesan kepada para calon presiden dan calon wakil presiden untuk tidak menggunakan politik identitas dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024 mendatang.
Lalu, apa yang dimaksud dengan politisasi identitas? Politisasi merupakan suatu proses yang dilakukan oleh suatu kelompok dengan tujuan mempertahankan kekuasaan. Sedangkan yang dimaksud dengan identitas merupakan suatu ciri khas yang dimiliki oleh seseorang sehingga mudah dikenali oleh orang lain. Identitas dapat disebut juga jati diri. Dengan kata lain, ciri khas ini akan menempel pada diri individu tersebut yang dapat menjadi suatu kesatuan apabila bergabung dengan kelompok dengan ciri khas yang sama. Identitas yang dimaksud ini terdiri dari banyak aspek, seperti identitas gender, identitas budaya, identitas pribadi, identitas agama, identitas ideologi, identitas politik atau identitas nasional, serta berbagai identitas lainnya. Apabila digabungkan maka yang dimaksud dengan politisasi identitas adalah usaha yang dilakukan untuk memakai, mengambil, atau memanipulasi suatu identitas dengan aspek tertentu agar dapat memunculkan stigma atau pendapat dari masyarakat sehingga tercapailah kepentingan politik yang dimiliki.
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 lalu merupakan salah satu contoh dampak dari adanya politik identitas. Dalam pemilihan Gubernur tersebut, muncul banyak sekali berita-berita palsu yang bertemakan SARA dan menunjukkan kebencian kepada calon pasangan lain dengan harapan calon pasangan tersebut kehilangan dukungan masyarakat sehingga ia lebih banyak mendapatkan suara masyarakat. Efek dari politisasi identitas yang dilakukan saat pemilihan Gubernur DKI ini dirasakan ketika pemilu Presiden tahun 2019.
Hemat saya, adanya politik identitas ini akan mengubah pola pikir masyarakat dimana yang dapat menjadi pemimpin adalah orang yang memiliki identitas yang sama dengan masyarakat tersebut. Apabila hal ini terjadi, maka kaum minoritas akan kehilangan hak yang sama dalam pemerintahan negara, terutama dalam ranah pemilu maupun pemilihan yang lama kelamaan dapat mengganggu proses demokrasi. Kita tahu bahwa sistem demokrasi telah menjadi sistem pemerintahan yang dianut Indonesia mengingat pluralisme masyarakatnya. Saya dapat membayangkan apa yang terjadi ketika proses demokrasi ini sudah tidak berjalan sebagaimana mestinya, tentunya tidak akan ada lagi keadilan sosial, persamaan hak untuk seluruh rakyat Indonesia, bahkan kebebasan untuk orang lain maupun diri sendiri. Tidak hanya itu, politisasi juga akan menciptakan jurang pemisah antar masyarakat yang memiliki perbedaan identitas. Kejadian seperti ini jika terus berlanjut dapat memberikan dampak pada rendahnya persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia dan berujung pada peningkatan potensi polarisasi baik terhadap masyarakat maupun para elit politik.
Dampak negatif ini menjadi semakin berbahaya ketika kondisi masyarakat Indonesia yang masih kental dengan primordialisme dan sektarianisme sehingga memunculkan ajang saling mengunggulkan dominasi kelompoknya atas kelompok lainnya. Kontestasi yang semestinya merupakan saling adu gagasan dan konsep yang konstruktif, namun yang terjadi adalah saling menjatuhkan dengan isu SARA yang berakibat pada terjadinya polarisasi di masyarakat yang berdampak negatif bagi kehidupan sosial. Polarisasi ini dapat memicu pertikaian yang bersifat destruktif bagi perkembangan dan kemajuan suatu bangsa di masa mendatang. Ditambah lagi dengan para elit politik kita yang belum paham betul mengenai politisasi identitas yang mana mereka akan saling menuding bahwa pihak lawan politiknya menggunakan politik identitas dan saling merasa bahwa kelompoknya yang bersih dari politik identitas. Selain itu mereka tidak menyadari bahwa sebagian besar pihak yang melakukan tuduhan terhadap pihak lain sebagai pengguna politik identitas merupakan pelaksana daripada politik identitas itu sendiri.
Besarnya dampak negatif yang dihasilkan dari politisasi identitas, ditambah dengan adanya isu bahwa politisasi identitas akan semakin marak di Pilpres tahun 2024 mendatang, menjadi tantangan tersendiri bagi demokrasi di Indonesia. Sistem prosedur pemilu di Indonesia relative baik, secara substansial banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Hal ini disebabkan karena masih banyak legislator dan kepala daerah yang memiliki masalah dengan hukum mulai dari korupsi, penyimpangan jabatan atau birokrasi yang berpihak (partisan), manipulasi suara rakyat, atau lainnya yang mana masih sulit dijangkau dengan penegakan hukum. Belum lagi, politisasi identitas semakin memuncak dengan adanya media social. Media sosial dan aplikasi percakapan memfasilitasi dan menjadi pemicu berkembangnya kampanye jahat, hoax, dan politisasi identitas. Pengguna media sosial dan aplikasi percakapan larut dalam emosi sebagai lovers atau haters terhadap politisi yang mengejar/mempertahankan kekuasaan.
Media sosial memediasi begitu cepat dan berefek domino merusak nalar dan percakapan banyak warganet. Menurut saya, hal yang harus dilakukan adalah menyelesaikan akar permasalahan terlebih dahulu dengan meningkatkan penegakan hukum tentang pemilu, dilanjutkan dengan menciptakan masyarakat yang melek terhadap digital, dan mengganti sistem pemilu yang sudah ada.
Tantangan lain yang dihadapi adalah sulitnya persyaratan pembentukan partai politik dan kepesertaan partai politik di pemilu. Adanya pengorbanan yang besar ini menyebabkan para elit politik cenderung mempertahankan hasil pemilu dan korupsi politik untuk dapat mengembalikan modal yang telah dikeluarkan tersebut.
Perlu dilakukan keringanan persyaratan dalam membentuk partai dan kepesertaan partai politik dan adanya peningkatan bantuan keuangan dari negara untuk perbaikan partai politik menjadi lebih inklusif. Hal ini disebabkan karena subsidi yang diberikan selama ini terlalu kecil sehingga membuat kendali struktur organisasi partai politik dikuasai oligark. Padahal adanya subsidi yang meningkat dapat meningkatkan pula transparansi dan akuntabilitas kelembagaan serta keuangan partai politik.
Pemberian subsidi secara bertahap menyertakan mekanisme reward/punishment dengan nilai yang signifikan menjadi bagian insentif perbaikan. Langkah ini dilakukan dengan harapan semakin mudahnya jalan yang diberikan untuk membentuk partai politik dan keterlibatan dalam kepesertaan, pengorbanan yang harus dilakukan tidak terlalu besar sehingga para elit politik tidak menghalalkan segala cara yang berfokus mengembalikan modal yang telah dikeluarkan termasuk salah satu diantaranya dengan melakukan politisasi identitas agar dapat menang dalam pemilihan.
Perkembangan politisasi identitas dalam pemilu di Indonesia harus mendapatkan perhatian lebih karena memiliki dampak negative yang berlawanan dengan tujuan demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, politisasi identitas perlu segera ditangani. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengatasi masalah politisasi identitas. Terdapat tiga cara yang dapat dilakukan yaitu minimal harus ada tiga calon presiden yang berfungsi sebagai pemecah gelombang sehingga tidak terulang kembali kondisi “rematch” Pilpres 2014 dan 2019 dengan kekuatan bipolar bertumpu pada dua kutub pasangan calon presiden. Kedua, harus ada penegakan hukum yang adil “tanpa diskriminatif” terhadap orang-orang yang menggunakan politisasi identitas seperti memberikan hukuman yang tegas dan keras sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi yang melakukannya. Dan yang terakhir adalah harus ada “konsensus” dan komitmen bersama untuk “tidak” lagi mengunakan “narasi politik identitas” dan isu-isu “SARA” yang jelas merusak tatanan simpul kehidupan berbangsa dan bernegara. Saya pribadi setuju dengan cara yang dijelaskan di atas, walaupun penerapannya tidak semudah mengatakannya. Tidak hanya itu berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi hal ini adalah Bawaslu dan Tokoh Agama membuat kesepakatan mengenai definisi tentang politisasi identitas dan menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) tentang penyusunan agenda pencegahan politisasi SARA dan Hoax. Tokoh Agama di sini dilibatkan dengan tujuan untuk membentengi umat, menenangkan situasi krisis, dan memberikan penjelasan apabila terjadi disinformasi yang berhubungan dengan politisasi. Dengan kata lain, pemerintah berperan dengan melakukan pendekatan struktural terhadap tokoh-tokoh agama, khususnya yang dianggap berpengaruh pada proses pilkada dan pemilu. Kemudian membangun komunikasi dan koordinasi secara intensif dengan kelompok lintas agama dan stakeholders.
Politisasi identitas ini dapat memberikan dampak positif maupun negatif bergantung dari cara kita menggunakannya. Dari sisi positif, politisasi identitas dapat menimbulkan toleransi dan kebebasan, namun di sisi lain dapat menimbulkan pertikaian. Masyarakat boleh menggunakan politik identitas, namun jangan mempolitisasi identitas yang memunculkan benih pertikaian dan pertengkaran antar sesama anak bangsa yang akhirnya akan membuat kita terpecah belah. Jika ingin persatuan Indonesia tetap terjaga, diperlukan sikap moderat dan moderasi dalam bernegara yang mestinya menjadi prinsip dan sifat para elit kita, sehingga politik bisa menjadi salah satu pilar pemersatu, bukan menjadi penyebab pecah belah.