POLITISASI IDENTITAS DAN TANTANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA

Sumber Gambar: RMOL

Oleh: Faisal, S.Sos,.MM (Kepala Perwakilan Wilayah Sumatera Utara Media Online SINKAP.info, Dosen di STAIs Panca Budi Perdagangan)

*Tulisan adalah opini penulis, tidak mewakili pandangan KISP secara kelembagaan


Politik identitas merupakan salah satu topik baru yang sedang memanas saat ini di Indonesia. Sebenarnya politik identitas ini sudah ada sejak lama, namun efeknya baru dirasakan saat ini. Politik identitas banyak digunakan oleh para pemangku kepentingan sebagai ajang untuk mencari massa dengan menggunakan kesamaan suku, agama, ras, dan etnik untuk mendapatkan dukungan masyarakat.

Pernyataan yang diberikan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, yang potongannya berbunyi “Saya ingatkan, jangan ada lagi politik identitas. Jangan ada lagi politisasi agama. Jangan ada lagi polarisasi social”, dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR. Dari pidato tersebut, saya dapat menangkap bahwa Jokowi berpesan kepada para calon presiden dan calon wakil presiden untuk tidak menggunakan politik identitas dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024 mendatang.

Lalu, apa yang dimaksud dengan politisasi identitas? Politisasi merupakan suatu proses yang dilakukan oleh suatu kelompok dengan tujuan mempertahankan kekuasaan. Sedangkan yang dimaksud dengan identitas merupakan suatu ciri khas yang dimiliki oleh seseorang sehingga mudah dikenali oleh orang lain. Identitas dapat disebut juga jati diri. Dengan kata lain, ciri khas ini akan menempel pada diri individu tersebut yang dapat menjadi suatu kesatuan apabila bergabung dengan kelompok dengan ciri khas yang sama. Identitas yang dimaksud ini terdiri dari banyak aspek, seperti identitas gender, identitas budaya, identitas pribadi, identitas agama, identitas ideologi, identitas politik atau identitas nasional, serta berbagai identitas lainnya. Apabila digabungkan maka yang dimaksud dengan politisasi identitas adalah usaha yang dilakukan untuk memakai, mengambil, atau memanipulasi suatu identitas dengan aspek tertentu agar dapat memunculkan stigma atau pendapat dari masyarakat sehingga tercapailah kepentingan politik yang dimiliki.

Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 lalu merupakan salah satu contoh dampak dari adanya politik identitas. Dalam pemilihan Gubernur tersebut, muncul banyak sekali berita-berita palsu yang bertemakan SARA dan menunjukkan kebencian kepada calon pasangan lain dengan harapan calon pasangan tersebut kehilangan dukungan masyarakat sehingga ia lebih banyak mendapatkan suara masyarakat. Efek dari politisasi identitas yang dilakukan saat pemilihan Gubernur DKI ini dirasakan ketika pemilu Presiden tahun 2019.

Hemat saya, adanya politik identitas ini akan mengubah pola pikir masyarakat dimana yang dapat menjadi pemimpin adalah orang yang memiliki identitas yang sama dengan masyarakat tersebut. Apabila hal ini terjadi, maka kaum minoritas akan kehilangan hak yang sama dalam pemerintahan negara, terutama dalam ranah pemilu maupun pemilihan yang lama kelamaan dapat mengganggu proses demokrasi. Kita tahu bahwa sistem demokrasi telah menjadi sistem pemerintahan yang dianut Indonesia mengingat pluralisme masyarakatnya. Saya dapat membayangkan apa yang terjadi ketika proses demokrasi ini sudah tidak berjalan sebagaimana mestinya, tentunya tidak akan ada lagi keadilan sosial, persamaan hak untuk seluruh rakyat Indonesia, bahkan kebebasan untuk orang lain maupun diri sendiri. Tidak hanya itu, politisasi juga akan menciptakan jurang pemisah antar masyarakat yang memiliki perbedaan identitas. Kejadian seperti ini jika terus berlanjut dapat memberikan dampak pada rendahnya persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia dan berujung pada peningkatan potensi polarisasi baik terhadap masyarakat maupun para elit politik.

Dampak negatif ini menjadi semakin berbahaya ketika kondisi masyarakat Indonesia yang masih kental dengan primordialisme dan sektarianisme sehingga memunculkan ajang saling mengunggulkan dominasi kelompoknya atas kelompok lainnya. Kontestasi yang semestinya merupakan saling adu gagasan dan konsep yang konstruktif, namun yang terjadi adalah saling menjatuhkan dengan isu SARA yang berakibat pada terjadinya polarisasi di masyarakat yang berdampak negatif bagi kehidupan sosial. Polarisasi ini dapat memicu pertikaian yang bersifat destruktif bagi perkembangan dan kemajuan suatu bangsa di masa mendatang. Ditambah lagi dengan para elit politik kita yang belum paham betul mengenai politisasi identitas yang mana mereka akan saling menuding bahwa pihak lawan politiknya menggunakan politik identitas dan saling merasa bahwa kelompoknya yang bersih dari politik identitas. Selain itu mereka tidak menyadari bahwa sebagian besar pihak yang melakukan tuduhan terhadap pihak lain sebagai pengguna politik identitas merupakan pelaksana daripada politik identitas itu sendiri.

Besarnya dampak negatif yang dihasilkan dari politisasi identitas, ditambah dengan adanya isu bahwa politisasi identitas akan semakin marak di Pilpres tahun 2024 mendatang, menjadi tantangan tersendiri bagi demokrasi di Indonesia. Sistem prosedur pemilu di Indonesia relative baik, secara substansial banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Hal ini disebabkan karena masih banyak legislator dan kepala daerah yang memiliki masalah dengan hukum mulai dari korupsi, penyimpangan jabatan atau birokrasi yang berpihak (partisan), manipulasi suara rakyat, atau lainnya yang mana masih sulit dijangkau dengan penegakan hukum. Belum lagi, politisasi identitas semakin memuncak dengan adanya media social. Media sosial dan aplikasi percakapan memfasilitasi dan menjadi pemicu berkembangnya kampanye jahat, hoax, dan politisasi identitas. Pengguna media sosial dan aplikasi percakapan larut dalam emosi sebagai lovers atau haters terhadap politisi yang mengejar/mempertahankan kekuasaan.

Media sosial memediasi begitu cepat dan berefek domino merusak nalar dan percakapan banyak warganet. Menurut saya, hal yang harus dilakukan adalah menyelesaikan akar permasalahan terlebih dahulu dengan meningkatkan penegakan hukum tentang pemilu, dilanjutkan dengan menciptakan masyarakat yang melek terhadap digital, dan mengganti sistem pemilu yang sudah ada.

Tantangan lain yang dihadapi adalah sulitnya persyaratan pembentukan partai politik dan kepesertaan partai politik di pemilu. Adanya pengorbanan yang besar ini menyebabkan para elit politik cenderung mempertahankan hasil pemilu dan korupsi politik untuk dapat mengembalikan modal yang telah dikeluarkan tersebut.

Perlu dilakukan keringanan persyaratan dalam membentuk partai dan kepesertaan partai politik dan adanya peningkatan bantuan keuangan dari negara untuk perbaikan partai politik menjadi lebih inklusif. Hal ini disebabkan karena subsidi yang diberikan selama ini terlalu kecil sehingga membuat kendali struktur organisasi partai politik dikuasai oligark. Padahal adanya subsidi yang meningkat dapat meningkatkan pula transparansi dan akuntabilitas kelembagaan serta keuangan partai politik.

Pemberian subsidi secara bertahap menyertakan mekanisme reward/punishment dengan nilai yang signifikan menjadi bagian insentif perbaikan. Langkah ini dilakukan dengan harapan semakin mudahnya jalan yang diberikan untuk membentuk partai politik dan keterlibatan dalam kepesertaan, pengorbanan yang harus dilakukan tidak terlalu besar sehingga para elit politik tidak menghalalkan segala cara yang berfokus mengembalikan modal yang telah dikeluarkan termasuk salah satu diantaranya dengan melakukan politisasi identitas agar dapat menang dalam pemilihan.

Perkembangan politisasi identitas dalam pemilu di Indonesia harus mendapatkan perhatian lebih karena memiliki dampak negative yang berlawanan dengan tujuan demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, politisasi identitas perlu segera ditangani. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengatasi masalah politisasi identitas. Terdapat tiga cara yang dapat dilakukan yaitu minimal harus ada tiga calon presiden yang berfungsi sebagai pemecah gelombang sehingga tidak terulang kembali kondisi “rematch” Pilpres 2014 dan 2019 dengan kekuatan bipolar bertumpu pada dua kutub pasangan calon presiden. Kedua, harus ada penegakan hukum yang adil “tanpa diskriminatif” terhadap orang-orang yang menggunakan politisasi identitas seperti memberikan hukuman yang tegas dan keras sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi yang melakukannya. Dan yang terakhir adalah harus ada “konsensus” dan komitmen bersama untuk “tidak” lagi mengunakan “narasi politik identitas” dan isu-isu “SARA” yang jelas merusak tatanan simpul kehidupan berbangsa dan bernegara. Saya pribadi setuju dengan cara yang dijelaskan di atas, walaupun penerapannya tidak semudah mengatakannya. Tidak hanya itu berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi hal ini adalah Bawaslu dan Tokoh Agama membuat kesepakatan mengenai definisi tentang politisasi identitas dan menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) tentang penyusunan agenda pencegahan politisasi SARA dan Hoax. Tokoh Agama di sini dilibatkan dengan tujuan untuk membentengi umat, menenangkan situasi krisis, dan memberikan penjelasan apabila terjadi disinformasi yang berhubungan dengan politisasi. Dengan kata lain, pemerintah berperan dengan melakukan pendekatan struktural terhadap tokoh-tokoh agama, khususnya yang dianggap berpengaruh pada proses pilkada dan pemilu. Kemudian membangun komunikasi dan koordinasi secara intensif dengan kelompok lintas agama dan stakeholders.

Politisasi identitas ini dapat memberikan dampak positif maupun negatif bergantung dari cara kita menggunakannya. Dari sisi positif, politisasi identitas dapat menimbulkan toleransi dan kebebasan, namun di sisi lain dapat menimbulkan pertikaian. Masyarakat boleh menggunakan politik identitas, namun jangan mempolitisasi identitas yang memunculkan benih pertikaian dan pertengkaran antar sesama anak bangsa yang akhirnya akan membuat kita terpecah belah. Jika ingin persatuan Indonesia tetap terjaga, diperlukan sikap moderat dan moderasi dalam bernegara yang mestinya menjadi prinsip dan sifat para elit kita, sehingga politik bisa menjadi salah satu pilar pemersatu, bukan menjadi penyebab pecah belah.

Refleksi HPN 2023: Tantangan Pers di Tengah Momentum Politik 2024

Oleh: Muhammad Iqbal Khatami (Peneliti Komite Independen Sadar Pemilu)


Tepat tanggal 9 Februari 2023 ini, Indonesia kembali memperingati dan merayakan Hari Pers Nasional (HPN) sekaligus juga diperingati sebagai HUT Persatuan Wartawan Indonesia yang ke-77 Tahun. Usia yang sudah sangat tua yang mengharuskan pers untuk tetap terus matang, arif dan bijaksana guna menghadapi tantangan besar di tengah perubahan zaman yang begitu cepat.

Kehadiran media massa di Indonesia sering disebut sebagai pilar ke empat demokras. Dimulai pada Reformasi tahun 1998 misalnya, yang juga memperjuangkan tentang kebebasan pers. Hingga hari ini, mendekati usia 25 tahun reformasi, demokrasi kita membutuhkan jurnalisme yang lebih dari sebelumnya.

Meskipun buah dari reformasi pers diklaim telah bebas dari kekangan dan menjunjung tinggi kebebasan, namun tantangan-tantangan lainnya juga terus bermuncul. Di kondisi saat ini misalnya, tidak sedikit perusahaan media yang pontang-panting menghadapi perubahan zaman. Tuntutan perubahan juga menuntut akselerasi pengembangan media, yang mana ini juga berimplikasi pada peningkatan kebutuhan kapitalistik sebagai modal jalannya perusahaan.

Hingga pada akhirnya, tidak sedikit media yang ‘terpaksa’ menggadaikan independensinya guna mendapatkan pemasukan ekonomi untuk menjalankan perusahaan. Atau bahkan tidak sedikit media yang akhirnya diakuisisi oleh elit politik karena tidak mampu lagi memodali jalannya media. Implikasinya adalah media berpotensi menjadi alat politik tertentu.

Tuntutan Relevansi

Perusahaan media mungkin akan silih berganti, dari berganti kepemilikan, gulung tikar, hingga bermunculan yang baru. Semuanya terseleksi di tengah arus tuntutan relevansi media massa untuk publik dan lanskap sosial politik saat ini. Meski begitu, jurnalisme akan tetap ada dengan nilai-nilai yang ‘seharusnya’ tetap sama dan konsisten. Walaupun Ia saat ini lebih banyak hadir di ruang digital dibandingkan edisi cetak.

Senjakal media cetak menjadi fenomena yang akrab akhir-akhir ini. Di akhir Tahun 2022 lalu misalnya, Republika secara mengejutkan menghentikan edisi koran cetaknya dan berfokus pada bentuk digital. Sebelumnya, puluhan media massa berbasis cetak juga melakukan hal yang sama, bahkan hingga gulung tikar.

Fenomena ini terjadi bukan sekadar karena faktor penetrasi revolusi digital. Lebih dari itu, karena tidak banyak media yang mampu relevan bagi publik dan adaptif perubahan zaman. Sebuah tantangan yang kompleks untuk media mampu mempertahankan eksistensinya di tengah era jurnalisme warga, di mana siapa saja dapat menjadi produsen pesan dan berita.

Tantangan lain bagi media massa hari ini adalah menjadikan jurnalisme sebagai medium yang menghadirkan aspirasi dan pikiran publik, khususnya di tengah riuhnya kontestasi politik Tahun 2024 saat ini.

Pers sebagai Oase di Tahun Politik

Era banjir informasi semakin memperbesar percikan api konflik di tahun politik, yang diakibatkan banyaknya informasi yang bersifat provokatif, hoaks, dan narasi negatif lainnya. Banjir informasi juga menimbulkan era Post Truth, di mana suatu kebenaran dan kebohongan memiliki batasan yang amat tipis. Hal ini diakibatkan karena informasi yang beredar lebih banyak yang bersifat emosional dan mengesampingkan kredibilitas informasi.

Apalagi di tahun politik saat ini, keriuhan ruang digital tidak terelakkan. Belajar dari Pemilu 2019 misalnya, polarisasipers punya peran besar untuk hadir menjawab keriuhan ruang publik kita di tahun politik ini. Yakni sebagai pendorong konsolidasi demokrasi dengan menghadirkan informasi yang berkualitas.

Kondisi ini juga terkonfirmasi oleh statemen Presiden Joko Widodo pada peringatan Hari Pers Nasional 2023 di Sumatera Utara. Jokowi menekankan bahwa saat ini dunia pers sedang tidak baik-baik saja. Jokowi mengatakan dulu isu utama dunia pers adalah kebebasan pers. Namun, menurutnya, kini isu utama dunia pers sudah bergeser. Menurutnya, masalah utama pers saat ini adalah pemberitaan yang bertanggung jawab.

Dalam konteks tahun politik saat ini, ada beberapa hal yang perlu dikuatkan oleh pers untuk mewujudkan perannya di Pemilu 2024 ini. Pertama, adalah Kebenaran. Dalam konteks pemilu, publik membutuhkan informasi yang benar tentang jalannya konestasi seperti informasi calon, partai politik, dan proses jalannya pemilu.

Kedua, Keberpihakan ke Publik. Pemberitaan tidak cukup hanya diisi oleh statemen dari politisi dan elitnya saja. Namun, suara-suara publik perlu dihadirkan dalam banyak pemberitaan sebagai representasi dari suara publik. Ketiga, Independen. Dalam perkembangannya, media massa telah menjadi alat efektif sebagai saluran kampanye bagi para kandidat. Sehingga, potensi untuk menggiring media berpihak kepada kandidat tertentu sangatlah besar. Dampaknya adalah informasi yang dihadirkan akan cenderung tidak berimbang. Keempat, Pengawasan. Peran pengawasan dapat dilihat misalnya dari produk jurnalisme berupa investigasi. Namun, tidak banyak media di Indonesia yang melakukan jurnalisme investigasi. Di Tahun Politik ini, tentu kita mengharapkan media dapat kritis dan mengungkap fakta-fakta pencerahan bagi publik tentang para aktor yang terlibat dalam pemilu. Terakhir, Proporsional dan Komprehensif. Pemilihan berita berpotensi sangat subjektif, sehingga media dituntut agar proporsional dalam menyajikan berita. Apalagi, di tengah tahun politik sensitivitas publik sangat tinggi terhadap informasi yang didapat.

Pers Bebas, Demokrasi Berkualitas

Berdasarkan survei Katadata Insight Center pada 2022 lalu, 73% masyarakat menjadikan media sosial sebagai medium memproleh informasi. Sumber yang paling sering diakses kedua adalah televisi, ketiga diikuti oleh berita online. Dengan melihat hasil survei tersebut, kehadiran media sangat diperlukan sebagai penyeimbang informasi-informasi yang tidak kredibel di media sosial, seperti hoaks dan politisasi SARA yang menjamur di tahun politik.

Upaya media untuk terus tetap relevan bagi publik juga sangat diperlukan. Sebab jika demokrasi semakin lemah maka korban utamanya adalah kebebasan media itu sendiri. Begitupun sebaliknya, ketika media terus relevan maka akan memperkuat jalannya demokrasi kita.

Substansi Ideal Penataan Dapil

Oleh: Nasarudin Sili Luli

*Tulisan ini sepenuhnya mewakilkan pandangan penulis dan tidak mewakili
pandangan KISP secara kelembagaan


Setelah penantian  panjang  (Perpu) nomor 1 tahun 2022 tentang perubahan atas undang –undang  nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum dikeluarkan oleh pemerintah, hal yang paling menonjol dalam pertimbangan dikeluarkannya Perpu. Pertama sebagai akibat dari pembentukan Provinsi Papua Selatan,Provinsi Papua Tengah,dan Provinsi Papua Pegunungan serta merupakan pemekaran dari Provinsi Papua Barat Daya perlu kebijakan dan langkah luar biasa untuk mengantisipasi dampak pembentukan daerah baru tersebut terhadap penyelenggaraan tahapan pemilihan umum tahun 2024 agar tetap terlaksana sesuai dengan jadwal dan tahapan sehingga menciptakan stabilitas politik  dalam negeri.Kedua,Sebagai implikasi pembentukan Provinsi Papua Selatan,Provinsi Papua Tengah,Provinsi Papua Pegunungan serta Provinsi Papua Barat Daya ,juga perlu dilakukan daerah pemilihan dan alokasi kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat,anggota Dewan Perwakilan Daerah .dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi serta kelembagaan penyelenggara pemilihan umum sehingga perlu diberikan kepastian hukum yang sangat segera tanpa mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2024.

Dalam konteks pendapilan merupakan salah satu elemen teknis dari sistem Pemilu yang bersisian dengan tidak hanya nilai-nilai dasar representasi tetapi juga pada dimensi politik pada wilayah yang mikro dalam penyelenggaraan Pemilu. pertama, pembentukan Dapil merupakan proses yang kompleks. Pemenuhan pada satu prinsip kerap menimbulkan ketidak terpenuhi prinsip lainnya. Di sisi lain,ketidakterpenuhan pada satu prinsip juga mempengaruhi ketidak terpenuhan pada prinsip lainnya. Tidak terpenuhinya prinsip kesetaraan nilai suara menyebabkan sulit juga untuk memenuhi prinsip ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional dan prinsip proporsional. Kedua, prinsip kesetaraan nilai suara (OPOVO) yang dikuantifikasi menjadi “bias harga kursi”, tidak seluruhnya dapat mencapai tingkat ideal, tetapi secara keseluruhan masih berada pada kondisi yang dapat ditoleransi. Pada pembentukan Dapil niscaya muncul bias pada ketidaksetaraan nilai penduduk dalam kontribusinya pada pengalokasian kursi (malapportionment). Ketiga, prinsip ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional
dan prinsip proporsional saling terhubung satu sama lain, sehingga prinsip ini pada hakikatnya menjamin kesetaraan tingkat kompetisi dan afirmasi bagi partai politik yang relatif tidak dapat bersaing agar proporsi suaranya sedapat mungkin dapat dikonversi menjadi kursi. Singkatnya, kedua prinsip ini pada dasarnya dapat disatukan dalam satu prinsip, yakni proporsionalitas.

Problem Pendapilan 

Memotret  pendapilan pada pemilu tahun 2019 justru banyak yang tidak konsisten dalam penerapan pendapilan yang tidak sesuai dengan prinsip pendapilan Pertama adalah pembiaran terhadap dapil loncat di pemilu-pemilu sebelumnya yang bertentangan dengan prinsip integralitas wilayah, dan justru menambah jumlah dapil loncat yang baru, Melalui pengukuran bias harga kursi di setiap Dapil terhadap BPPd sebagai harga kursi ideal. Secara umum, terdapat Dapil yang melampaui angka idealnya (ditandai dengan bilangan positif) atau tidak mencapai angka idealnya (bilangan negatif). Bagi Dapil yang memiliki bias harga kursi dengan bilangan positif,artinya penduduk di Dapil yang bersangkutan nilai suaranya terlalu tinggi dibandingkan yang seharusnya (over-represented). Sementara dapil dengan harga bias kursi negative (under-represented). 

Kedua kondisi itu mencerminkan ketidaksetaraan antara jumlah penduduk dan kursi yang dialokasikan. Singkatnya, prinsip equal population melalui adagium one person, one vote, one value menjadi kurang dapat dipenuhi.

Ketiga, terdapat ketidakkonsistenan atau tak diketahui polanya saat penyusunan. Misalnya, di satu pihak memecah kecamatan menjadi kelurahan-kelurahan, dan menggabungkannya dengan kecamatan lain. Contohnya adalah dapil Kota Palangkaraya dan Kota Ambon.Namun, praktik yang sama tidak diterapkan untuk untuk tempat lain seperti di Situbondo, Cilacap, dan Deli Serdang.Asas ketaatan pada prinsip sistem pemilu proporsional, ternyata dilanggar. Bahkan pada dapil yang sejak awal tidak bermasalah seperti Flores Timur, Simeulue, Aceh Singkil, dan sebagainya.( Berita Satu)

Keempat, alat ukur dalam penyusunan dan pembentukan Dapil DPRD Kabupaten/Kota absen di sejumlah tempat. Prinsip ketiga yang hendaknya diterapkan dalam pembentukan Dapil adalah adanya kesetaraan besaran Dapil. Tujuannya, agar alokasi kursi di setiap Dapil tidak terlampau jauh. Prinsip ini, seperti halnya pada prinsip kedua, ditujukan kepada partai politik. Dapil yang ideal adalah dapil yang memiliki kesetaraan kompetisi. Prinsip kedua dan ketiga sangat berhubungan dengan besaran Dapil, yakni besar-kecilnya alokasi kursi yang ditetapkan di masing-masing Dapil. Pada Pemilu 2019 yang lalu, telah ditetapkan metode konversi suara menjadi kursi adalah menggunakan formula divisor Sainte-Lague Murni dengan bilangan pembagi tetap 1, 3, 5, 7 dan seterusnya. Seperti disinggung di atas, untuk menentukan “ambang alamiah”yang harus dilampaui oleh partai politik untuk memperoleh kursi dapat dihitung dengan formula ambang batas efektif. Dengan demikian semakin tinggi ambang batas efektif semakin banyak juga suara yang harus diperoleh oleh partai politik untuk mendapatkan kursi (Call For Paper Evaluasi Pemilu Serentak 2019)

Demikian juga sebaliknya. Sayangnya, pembentukan Dapil sangat sulit untuk menyamakan alokasi kursi di setiap Dapil karena juga harus memperhatikan prinsip-prinsip lainnya. Artinya, pembentukan Dapil niscaya terjadi kesenjangan nilai ambang batas efektif, yang berakibat pada tinggi-rendahnya tingkat kompetisi di masing- masing Dapil. Bagi Dapil dengan ambang batas efektif tinggi, kompetisi partai politik dalam usaha untuk memperoleh kursi juga
semakin ketat.

Uji Publik

Bawaslu Dalam pengawasan uji publik harus memastikan kegiatan yang dilaksanakan oleh KPU kabupaten/kota untuk mengetahui dan memperoleh masukan dari masyarakat atau pemangku kepentingan lainnya terhadap rancangan penataan Dapil dan alokasi kursi. Penyusunan daerah pemilihan tersebut juga menjadi salah satu tahapan yang penting di awal proses penyelenggaraan pemilihan umum untuk memastikan daulat rakyat benar –benar hadir dalam proses uji publik tersebut. Hal ini guna memastikan prinsip keterwakilan yang dilakukan melalui proses pemilihan umum sesuai dengan prinsip pemilu yang jujur, adil, proporsional, dan demokratis. Jika dalam penataan Dapil tidak melibatkan daulat rakyat sebagai pemegang amanat demokrasi yang hakiki,maka akan berpotensi dipersoalkan di kemudian hari,seperti apa yang dilakukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) baru –baru ini Dalam permohonannya menguji UU nomor 7 tahun 2107 tentang pemilihan umum , Perludem menyatakan Pasal 187 ayat (1), Pasal 187 ayat (5), Pasal 189 ayat (1), Pasal 189 ayat (5), dan Pasal 192 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.dengan nomor  perkara Nomor 80/PUU-XX/2022 dalam permohonan Pemohon menyatakan urgensi penyusunan daerah pemilihan harus memenuhi prinsip daulat rakyat dan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sebab, pemilihan umum merupakan sarana untuk mengejawantahkan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945. Penyusunan daerah pemilihan tersebut juga menjadi salah satu tahapan yang penting di awal proses penyelenggaraan pemilihan umum. Hal ini guna memastikan prinsip keterwakilan yang dilakukan melalui proses pemilihan umum sesuai dengan prinsip pemilu yang jujur, adil, proporsional, dan demokratis. 

Pemohon juga menyatakan pembuktian penyusunan daerah pemilihan bertentangan dengan prinsip dan alokasi kursi DPR dan DPRD Provinsi yang diatur dalam norma tersebut. Prinsip utama seperti kesetaraan nilai suara, ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional tersebut membatasi ruang alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan baru untuk Pemilu DPR dan DPRD di Daerah Otonom Baru. Norma ini, mengatur jumlah alokasi kursi dan batas-batas wilayah dalam suatu daerah pemilihan DPR ke dalam lampiran III, namun tidak mengatur mekanisme pembentukan daerah pemilihan untuk daerah otonomi baru. (web MK)

Untuk itu, dalam Petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan yang dimohonkan oleh pemohon untuk seluruhnya. Serta menyatakan Pasal 187 ayat (1) UU Pemilu berbunyi, “Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi, kabupaten/kota, atau  gabungan kabupaten/kota” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang  tidak dimaknai “Daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi,  kabupaten/kota, atau gabungan kabupaten/kota yang penyusunannya didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 185”. Menyatakan Pasal 187 ayat (5) UU Pemilu berbunyi, “Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan pemilihan anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari undang-undang ini” bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai “Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR  sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan KPU.

Pengawasan 

Merujuk pada peraturan komisi pemilihan umum PKPU nomor 6 tahun 2022 tentang penataan daerah pemilihan dan alokasi kursi anggota dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota dalam pemilihan umum,memberikan kewenangan KPU menyususn Dapil dengan memperhatikan prinsip a.kesetaraan nilai,b.ketaatan pada prinsip pemilu yang proposional c.proporsionalitas d.integritas wilayah e.berada dalam cakupan wilayah yang sama  f.kohesivitas  dan g .kesinambungan .

Pada konteks ini, Badan Pengaws Pemilu (Bawaslu) sebagai pengawas pemilu harus mampu mengawasi rangkain tahapan penadapilan agar subtansi ,mengenai pembentukan Dapil sesuai dengan kaida dan prinsip dalam pembentukan pendapilan,dalam pelaksanaannya Bawaslu juga harus memastikan semua rangkain persiapan dan pelaksanaan serta  uji publik harus betul –betul menghadirkan para pemangku kepentingan yang berkompeten.  Tidak hanya karena daerah pemilihan merupakan arena kompetisi sebenarnya dari peserta pemilu dan para calon anggota legislatif, tetapi juga dalam penataan daerah pemilihan meniscayakan “rekayasa” dan “akal akalan” dikarenakan konsekuensi dari sistem Pemilu (beserta unsur-unsur di dalamnya) yang dianut oleh suatu negara (Kartawidjaja dan Pramono 2007; Reynolds, Reilly, dan Ellis 2005).Berpotensi akan terjadi dalam jual beli kepentingan dalam penataan pendapilan menuju pemilu serentak tahun 2024.

Untuk menghindari semua rangkaian pelanggaran dalam rangka efektifitas  penataan Dapil ,maka Bawaslu perlu melakukan langkah-langkah sebagai berikut.Pertama, Bawaslu dalam melakukan pengawasan harus memastikan KPU ,agar memperhatikan  prinsip kesetaraan nilai suara merupakan upaya untuk meningkatkan nilai suara atau harga kursi yang setara antara 1(satu) Dapil dan Dapil lainya  dengan prinsip 1(satu) orang satu suara  satu nilai .Kedua,Bawaslu harus memastikan KPU untuk memastikan prinsip ketaatan pada sistem pemilu agar ketaatan dalam pembentukan Dapil dengan mengutamakan jumlah kursi yang besar agar persentase jumlah kursi yang diperoleh setiap partai politik setara mungkin dengan persentase suara sah yang diperoleh.Ketiga,Bawaslu harus memastikan prinsip proporsionalitas agar kesetaraan alokasi dengan memperhatikan kursi antar Dapil agar tetap terjaga perimbangan alokasi kursi setiap Dapil.Keempat,Bawaslu harus memastikan prinsip integralitas wilayah agar KPU memperhatikan beberapa provinsi ,beberapa kabupaten/ kota ,atau kecamatan yang disusun menjadi 1(satu) Dapil untuk daerah perbatasan ,dengan tetap memperhatikan keutuhan dan keterpatuhan wilayah ,serta mempertimbangkan kondisi geografis,sara perhubungan ,dan aspek kemudahan transportasi .Kelima,Bawaslu harus memastikan KPU agar memperhatikan  prinsip kohesivitas dalam penyusunan Dapil dengan memperhatikan sejarah ,kondisi sosial budaya,adat istiadat dan kelompok minoritas.Keenam,Bawaslu harus memastikan KPU harus memperhatikan prinsip kesinambungan agar penyusunan Dapil yang suda ada dalam pemilu tahun sebelumnya ,kecuali jika alokasi kursi pada Dapil tersebut melebihi batas maksimal alokasi kursi setiap Dapil atau apabila bertentangan dengan keenam prinsip diatas .

Pada tahap teknis Bawaslu dan KPU harus berkolaborasi agar melakukan langka progresif, diperlukan usaha-usaha perbaikan agar proses dan hasil perbaikan memenuhi prinsip-prinsip pembentukan Dapil yang demokratis. KPU perlu untuk menentukan batas angka yang dapat ditoleransi yang terukur untuk setiap prinsip. Sebab tidak mungkin ada Dapil yang ideal. Di samping itu, diperlukan penajaman dan kejelasan prinsip-prinsip pembentukan Dapil. Tujuannya, agar tidak terjadi tumpang tindih antar-berbagai tuntutan dari prinsip-prinsip tetapi juga agar dapat didasari oleh para pembentuk Dapil dan para pemangku kepentingan bahwa dalam setiap Dapil yang terbentuk niscaya terjadi bias dan ketidaksempurnaan.Dengan  demikian maka substansi penataan Dapil ideal dapat terwujud menuju pemilu serentak tahun 2024 dengan tetap memperhatikan daulat rakyat sebagai kemajuan demokrasi substansial.


MEMPERINGATI HARI DIFABEL INTERNASIONAL: MELIHAT HAK KELOMPOK DIFABEL DALAM PARTAI POLITIK MENJELANG PEMILU 2024



Azka Abdi Amrurobbi
(Mahasiswa Doktor Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada dan Pegiat Komite Independen Sadar Pemilu)

Hari Difabel Internasional (International Day of Persons with Disabilities) diperingati oleh masyarakat dunia setiap tanggal 3 Desember. Peringatan ini dilandasi dari sejarah kelam penyandang difabel. Dahulu mereka tidak mendapatkan pengakuan baik secara nasional maupun internasional.

Tahun 1970 negara Inggris mengesahkan Undang-Undang Orang Sakit Kronis dan Penyandang Difabel, kemudian pada 1983 hingga 1992, The United Nations Decade of Disabled Person digelar dengan tujuan agar pemerintah dan organisasi global dapat mengambil langkah untuk meningkatkan hak asasi manusia bagi kelompok difabel di dunia. Singkat cerita, pada 14 Oktober 1992, Hari Difabel Internasional atau International Day of Disabled Persons ditetapkan oleh Majelis Umum PBB 47/3 yang kemudian pada 18 Desember 2007 Majelis Umum PBB merubahnya menjadi International Day of Person with Disabilities.

Hari Difabel Internasional ini harus dijadikan sebagai refleksi bagi seluruh elemen masyarakat tak terkecuali bagi partai politik. Menjelang Pemilu 2024 sudah tentu partai politik sibuk mencari pasangan yang pas untuk berkoalisi dan mencari sosok yang pas untuk diusung sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden, hingga calon anggota legislatif (DPD, DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota).

Kesibukan yang dilakukan oleh partai politik saat ini dirasa hanya fokus bagaimana mereka memperoleh dukungan dan suara sebanyak-banyaknya untuk memenangkan jagoan masing-masing bahkan untuk lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang dianggap oleh beberapa ahli membebani partai politik. Namun mereka abai terhadap hak-hak politik bagi penyandang difabel, terutama hak untuk dipilih. Hal tersebut karena logika elektoral yang digunakan untuk melihat kelompok difabel secara politik.

Padahal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 5, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah mengamanatkan bahwa kelompok difabel memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Namun sayangnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tidak mengamanatkan secara spesifik keterlibatan difabel di dalam partai politik, tidak seperti kelompok perempuan yang disebutkan 3 kali di Pasal 2 Ayat 2, Pasal 2 Ayat 5, dan Pasal 29 Ayat 1 A.

Maka dari itu ada dua hal mendesak yang perlu dilakukan. Pertama, merubah logika partai politik dari logika elektoral ke logika hak asasi manusia dalam melihat keterlibatan kelompok difabel di dalam tata kelola partai politik. Kedua, penulis mendorong adanya revisi Undang-Undang Partai Politik untuk membuka peluang seluas-luasnya bagi kelompok difabel dalam rangka berpartisipasi dan memenuhi hak politiknya.

AMBIGUITAS PENANGANAN PELANGGARAN PENCATUTAN NAMA DI SIPOL

Oleh: Nasarudin Sili Luli (Pegiat Kebangsaan)

Tahapan pendaftaran dan verifikasi administrasi calon peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 tengah berlangsung. Partai politik yang hendak mengikuti pemilu telah mendaftarkan diri di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam kurun waktu 1-14 Agustus 2022. Merujuk Pasal 2 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 4 Tahun 2022 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu, partai politik yang mendaftar sebagai peserta pemilu harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan peraturan perundang-undangan.

Partai politik pendaftar akan diverifikasi oleh KPU, baik secara administrasi maupun faktual. Partai yang memenuhi syarat selanjutnya akan dinyatakan lolos dan ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024. Lantas, apa saja tahapan verifikasi dan kapan partai politik yang lolos sebagai peserta Pemilu 2024 diumumkan? Tahapan pendaftaran sebagaimana telah disebutkan, tahapan verifikasi partai politik calon peserta pemilu akan dilakukan secara administrasi dan faktual.

Verifikasi administrasi merupakan penelitian terhadap kelengkapan dan keabsahan dokumen sebagai pemenuhan persyaratan partai politik menjadi peserta pemilu. Sementara, verifikasi faktual dapat diartikan sebagai penelitian dan pencocokan terhadap kebenaran dokumen persyaratan dengan objek di lapangan. Peserta yang tak lolos verifikasi akan diberi waktu untuk memperbaiki dokumen persyaratan. Nantinya, hanya  partai politik yang memenuhi syarat yang ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024.

Dari deretan persyaratan yang harus di penuhi oleh partai politik di atas, hal yang kemudian menyita perhatian publik baru–baru ini adalah terkhususnya bagi penyelenggara pemilu KPU dan Bawaslu yang dicatut namanya oleh parpol sebagai anggota partai politik tertentu. Hingga hari ke-14 tahapan pendaftaran parpol dan hari ke-13 tahapan verifikasi administrasi, setidaknya terdapat 275 nama penyelenggara pemilu (Bawaslu) tercatat dalam keanggotaan dan kepengurusan parpol dari hasil pengawasan tahapan pendaftaran partai politik calon peserta pemilu 2024,komisi pemilihan umum (KPU) mendapati sebanyak 98 anggota penyelenggara pemilu di daerah namanya dicatut dalam keanggotaan partai politik. Hal ini didapati usai penyelenggara yang bersangkutan mengadukannya ke KPU. Atas temuan ini, KPU menyatakan hal itu terjadi karena Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) terbatas untuk membaca status pekerjaan di KTP elektronik (Kompas 2022).

Kewenangan Bawaslu

Pertanyaannya; bagaimana Bawaslu menangani dugaan pelanggaran  pencatutan nama  oleh partai politik seperti yang diuraikan di atas? Pencatutan nama penyelenggara pemilu yang diinput ke dalam sistem informasi partai politik (Sipol) merupakan data awal untuk bahan penelusuran. Bagi Bawaslu, dengan adanya data penyelenggara pemilu dan pihak yang dilarang tersebut dapat dijadikan informasi awal untuk dilakukan penelusuran kebenaran informasi.

Berdasarkan Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) Nomor 21/2018 tentang Pengawasan Penyelenggaraan Pemilu diatur mengenai akhir dari penelusuran terhadap suatu masalah. Salah satunya disebutkan dalam Pasal 8 Perbawaslu 21/2018, “Apabila hasil pengawasan yang dituangkan dalam formulir model A terdapat dugaan pelanggaran, Pengawas Pemilu dapat melakukan saran perbaikan dalam hal terdapat kesalahan administratif oleh penyelenggara”

Hasilnya akan direkomendasikan perbaikan kepada KPU dan parpol terkait anggota parpol dari unsur masyarakat yang dilarang menjadi anggota parpol. Dalam prosesnya penyelenggara pemilu dan atau parpol tidak menindaklanjuti hasil penelusuran Bawaslu yang berupa rekomendasi, maka akan dilakukan tindakan selanjutnya. Apabila saran perbaikan tidak ditindaklanjuti oleh KPU dan parpol, maka temuan pelanggaran tersebut akan ditindaklanjuti dan diproses sesuai ketentuan yang berlaku.

Dalam pasal 8 ayat (1) berbunyi dalam melakukan pengawasan setiap tahapan pemilu, pengawas pemilu wajib menuangkan setiap kegiatan pengawasan dalam formulir model A. Ayat (2) berbunyi apabila hasil pengawasan yang dituangkan dalam formulir model A terdapat dugaan pelanggaran, pengawasan pemilu dapat melakukan (a) saran perbaikan, dalam hal terdapat kesalahan administrasi oleh penyelenggara; (b) jika saran perbaikan tidak dilaksanakan maka dijadikan temuan dugaan pelanggaran; atau (c) pencatatan sebagai temuan dugaan pelanggaran hal ini sejalan dengan Pasal 180 UU 7 tahun 2017 ayat (1) Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota melakukan pengawasan atas pelaksanaan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu yang dilaksanakan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Ayat (2) Dalam hal Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota menemukan kesengajaan atau kelalaian yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU.

Kabupaten/Kota dalam melaksanakan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu sehingga merugikan atau menguntungkan partai politik calon Peserta Pemilu, maka Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota menyampaikan temuan tersebut kepada KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Ayat (3) Temuan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib ditindaklanjuti oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Artinya pada huruf (b) ada konsekuensi pidana terhadap KPU jika kemudian hasil temuan dari Bawaslu tidak di tindak lanjuti oleh KPU.

Anehnya, dalam penerapan pada ketentuan pidana, hanya mengatur kelengkapan verifikasi bakal calon DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dan presiden dan wakil presiden. Pasal 518 UU 7/2017 Setiap anggota KPU, KPU Provinsi, dan/atau KPU Kabupaten/Kota yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan/atau Bawaslu Kabupaten/ Kota dalam pelaksanaan verifikasi partai politik calon Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (3) dan/atau pelaksanaan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (3) dan Pasal 261 ayat (3) dan/atau pelaksanaan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon Presiden dan Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000.00 (tiga puluh enam juta rupiah)

Kondisi ini penulis menyebut sebagai ambiguitas dalam penanganan tindak pidana pemilu khususnya pada tahapan pendaftaran partai politik. Jika pencatutan nama tersebut dalam penerapan pasal hanya berkonsekuensi pada penyelenggara pemilu (KPU), maka bagaimana dengan pihak yang menjadi korban atas pencatutan nama tersebut?

Ambiguitas Pidana Pemilu

Jika kita menjadikan asas hukum  pada UU no 7 tahun 2017 Pasal 520 yang berbunyi “ setiap orang yang dengan sengaja membuat surat atau dokumen palsu dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai, atau setiap orang dengan sengaja memakai surat atau dokumen palsu untuk menjadi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi DPRD kabupaten/Kota, untuk menjadi pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagai mana dimaksud dalam pasal 254 dan pasal 260 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.72.000.000.00 (Tujuh puluh dua juta rupiah ).

Pertanyaan “selanjutnya” adalah soal pencatutan nama orang lain untuk kepentingan keterpenuhan sebagai syarat administrasi keanggotaan partai politik tidak ditemukan pada tahapan pendaftaran partai politik jika kita menggunakan pendekatan pasal 520 di atas, hal sama juga ditemukan pada ketentuan pidana dalam pasal 544 yang berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum memalsukan data dan daftar pemilih, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.72.000.000.00(tujuh puluh dua juta rupiah).

Artinya konstruksi yang dibangun dalam penerapan pasal 520 dan 544 sama sekali tidak menyentuh substansi “pemalsuan’’ dan ’pencatutan‘ pada tahapan pendaftaran partai politik, kondisi ini kemudian dari penyelenggara pemilu Bawaslu akan kesulitan jika menggunakan diksi ‘pemalsuan’ pada tahap pendaftaran partai politik karena sama sekali tidak menyebutkan unsur pemalsuan dokumen tersebut pada tahapan pendaftaran partai politik, inilah yang penulis sebut sebagai ambiguitas dalam penanganan pelanggaran pemilu pada saat pendaftaran partai politik.

Jika kondisi dalam penanganan pelanggaran pemilu pada saat pendaftaran partai politik tidak menemukan kepastian hukum di tengah masyarakat terkhusus yang merasa dirugikan oleh oknum parpol yang suda mencatut identitas pribadi untuk keterpenuhan syarat keanggotaan partai politik, lantas bagaimana langkah penyelesaian selanjutnya. Karena hampir pada tahapan akhir pendaftaran partai politik ironisnya Gakkumdu tingkat kabupaten/kota juga belum ada kepastian untuk pembentukan mengingat hal ihwal krusial yang harusnya menjadi leading sectore dari penanganan pelanggaran pidana pemilu.

Pidana Umum

Pada persoalan pencatutan identitas pada pokok persoalan di atas jika publik tidak segerah mendapat kepastian hukum karena persoalan regulasi dan belum terbentuknya Gakkumdu pada tingkatan kabupaten/kota maka ada alternatif penyelesaian hukum yang bisa ditempuh lewat pidana umum. Orang-orang tersebut yang merasa dicatut namanya pada saat pendaftaran partai politik  tersebut dapat dipidana berdasarkan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yang menerangkan sebagai berikut:

“Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Hal tersebut di atas dipertegas oleh pendapat ahli Moh. Anwar dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid I  yang menyatakan bahwa dalam Pasal 378 KUHP terdapat unsur-unsur sebagai berikut: Pertama Unsur Subyektif: dengan maksud  a. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum. Kedua Unsur Objektif: membujuk atau menggerakkan orang lain dengan alat pembujuk atau penggerak a. Memakai nama palsu b. Memakai keadaan palsu c. Rangkaian kata bohong; d. Tipu Muslihat agar: ( 1) Menyerahkan suatu barang; ( 2)  Membuat hutang; (3)  Menghapuskan hutang.

Bila melihat isi ketentuan dan pendapat ahli hukum pidana tersebut di atas, memasukkan nama orang lain dengan mencatut dengan maksud menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum maka sesungguhnya penerapan pasal penipuan dalam pencatutan identitas orang lain adalah merupakan sebuah pelanggaran hukum. Penipuan adalah delik laporan, oleh karena itu, baik pihak yang mengetahui adanya pencatutan nama seorang oleh oknum partai politik agar terpenuhnya syarat administrasi pendaftaran partai politik maka sesungguhnya telah melanggar pasal 263 KUHP. Selain itu, dapat juga dipidana atas dasar pemalsuan surat sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

Ayat (1) berbunyi Barang siapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukan sebagai bukti dari suatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama enam tahun Ayat (2)Diancam dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. Terkait pasal di atas, Adami Chazawi dalam bukunya yang berjudul Kejahatan Terhadap Pemalsuan, menjelaskan tentang pengertian pemalsuan surat sebagai berikut: “Membuat surat palsu (membuat palsu/valselijk opmaaken sebuah surat) adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian isinya palsu. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya.”

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menjelaskan mengenai surat yang dipalsu sehubungan dengan Pasal 263 KUHP, yaitu bahwa surat yang dipalsukan tersebut harus suatu surat yang:

Dapat menerbitkan suatu hak misalnya: (1).ijazah, karcis tanda masuk, surat andil, dan lain-lain); (2). Dapat menerbitkan suatu perjanjian (misalnya: surat perjanjian utang piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa, dan sebagainya);(3). Dapat menerbitkan suatu pembebasan utang (kuitansi atau surat semacam itu); atau (4).Suatu surat yang boleh dipergunakan sebagai suatu keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa (misalnya: surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan, obligasi, dan lain-lain).Artinya suda secara jelas dijelaskan pada bagian di atas bahwa perbuatan dengan mencatut atau memalsukan identitas seseorang untuk kepentingan sebagai syarat keterpenuhan syarat administrasi partai politik akan memiliki dampak dan implikasi serta konsekuensi hukum .

Pemilu dan Pusaran Oligarki

Hal yang perlu dilakukan untuk menekan kuatnya pengaruh oligarki dalam lingkaran kekuasaan adalah dengan membatasi biaya kampanye, menjadikan pemilu yang murah dan bersih, menjerat hukum bagi para elite politik yang bersekongkol dengan oligarki dan terakhir memberikan pendidikan politik kepada masyarakat tentang bahayanya money politic bagi demokasi.