Yogyakarta – Koordinator umum Komite Independen Sadar Pemilu (KISP), Moch Edward Trias Pahlevi berkesempatan menjadi salah satu narasumber dalam acara Ranah Publik TVRI Jogja (3/12/18). dalam acara ini, dihadiri juga oleh dua narasumber lain yaitu Kordinator BEM SI DIY dan Direktur CFDS UGM.
Topik bahasan dalam diskusi ini adalah terkait dengan Millennial Peduli Pemilu 2019.
KORANBERNAS.ID–Sebagai kota pendidikan, sangat banyak mahasiwa luar daerah bahkan luar Jawa yang menimba ilmu di DIY. Menghadapi pemilu 17 April
mendatang, ternyata banyak dari mereka yang kebingungan. Selain jadwal yang sebagian belum tahu, ada juga yang bingung dengan cara mengurus pindah pemilih (form A5).
“Kami sudah melakukan penelitian terhadap 400 responden. Ternyata masih banyak yang belum mengenal calon yang akan dipilih, belum tahu jadwalnya dan juga bingung pengurus form A5. Untuk itulah kami mengadakan audiensi dengan KPU Bantul,”kata Koordinator Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) DIY, M Edward Trias Pahlevi kepada koranbernas.id di Kantor KPU Bantul Jalan Wakhid Hasyim, Rabu (09/01/2019) siang.
Berkaca dari hal tersebut, KISP yang terdiri gabungan dari mahasiswa UMY, UGM, UIN dan UII ini, berharap pihak KPU melakukan sosialisasi ke kampus-kampus. Dengan demikian mahasiswa akan paham apa yang harus dilakukan oleh mereka, guna ikut berpartisipasi dalam pemilu April mendatang.
KISP DIY juga berharap penyelenggara pemilu bisa memberikan info grafis pendidikan politik bagi mahasiswa. Karena mahasiswa sering hanya mendapat informasi yang sifatnya menyerang dari salah dari satu calon.
“Sangat jarang mahasiswa mendapat info mengenai bagaimana cara mendaftar pindah pemilih, apa saja pemilih itu, apa pentingnya pemilih dan pemilu serta pendidikan politik lain. Untuk itu kami berharap digelarnya sosialisasi kepada mereka,”katanya.
Ketua KPU Bantul, Didik Joko Nugroho SIP mengatakan pada tahun ini akan digelar program Goes to Campus oleh KPU DIY.
Nantinya mereka akan menyasar kampus-kampus yang ada di DIY. Dengan demikian mahasiswa diharapkan lebih memahami berbagai seluk beluk terkait pemilu dan akan terfalisitasi saat hari “H” pemilu.
“Ada lima kampus yang menjadi ranah DIY di tahun 2019 dan salah satunya adalah UMY,”katanya. (SM)
Bisnis.com, YOGYAKARTA – Komunitas Independen Sadar Pemilu mengadakan aksi diam di kawasan Titik Nol Kilometer Kota Yogyakarta, guna mewujudkan Pemilihan Umum 2019 yang damai, bersih, dan tanpa intimidasi.
Koordinator Komunitas Independen Sadar Pemilu (KISP) Moeh Edward Trias Pahlevi mengatakan aksi diam yang diikuti puluhan anak muda tersebut juga sekaligus membagikan bunga sebagai tanda cinta mengenai pemilu.
“Aksi diam ini bertujuan memberi informasi kepada masyarakat bahwa Pemilu 2019 bukan sebagai ajang saling memperpecah dan memperkeruh suasana dalam bangsa dan bernegara. Ini sekaligus mengampanyekan pemilu damai dan bermartabat,” katanya di sela aksi di Titik Nol Kilometer Yogyakarta, Sabtu (27/10) malam.
Selain itu, kata dia, dengan aksi diam di pusat kota Yogyakarta yang selalu ramai dikunjungi anak muda itu bertujuan memberikan edukasi kepada masyarakat akan pentingnya berpartisipasi dalam Pemilu 2019 dengan menggunakan hak suara.
Menurut dia, memasuki tahun politik ini bangsa Indonesia seakan terbelah menjadi dua akibat persaingan antarpedukung atau kubu yang akan berkontestasi pada pemilu, terutama Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019.
Dia mengatakan kampanye hitam yang menyebabkan suhu politik makin panas. Situasi tersebut dapat dilihat di media sosial saat ini, masing-masing kubu saling melemparkan isu-isu yang kadang tidak sehat dan membuat sebagian masyarakat terprovokasi.
“Padahal, pemilu adalah salah satu esensi nilai demokrasi yang seharusnya ini dijadikan sebagai kegembiraan dalam mencari pemimpin yang terbaik, bukan saling menghujat yang mengakibatkan terpecahnya negara Indonesia,” katanya.
Dia juga menilai pemberitaan di media massa saat ini seakan tidak berhenti dari ajang provokasi, baik isu hoaks, SARA, maupun pembakaran bendera yang dilakukan oleh salah satu ormas.
Oleh sebab itu, kata dia, aksi diam ini sangat penting untuk meredam situasi politik yang panas ini guna memberikan pendidikan politik kepada masyarakat tentang bahayanya hoaks, isu SARA, kampanye hitam di Titik Nol Kilometer Kota Yogyakarta.
“Aksi Diam ini merupakan aksi terbuka untuk siapa pun dengan tidak membawa atribut salah satu golongan, dan yang hadir mengenakan baju hitam sebagai simbol netralitas. Bentuk aksi dengan pembagian stiker dan bunga,” katanya.
BANTUL – Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) Bekerjasama dengan Laboratorium Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (Lab IP UMY) mengadakan Focus Group Discussion (FDG) dengan tema “Penyelesain Alternatif Sengketa Pemilu” bertempat di Ruang Sidang Gedung AR Fachruddin A UMY (13/10/18)
Acara ini dihadiri oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), KPU Kabupaten dan Kota se-DIY, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DIY, Bawaslu Kabupaten dan Kota se-DIY, serta perwakilan Partai Politik di DIY.
Diadakannya FGD ini bertujuan untuk menghasilkan berbagai pemikiran tentang model penyelesaian alternatif sengketa Pemilu yang terjadi di DIY.
JOGJA – Komunitas Independen Sadar Pemilu (KISP) bersama dengan Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengadakan training kepemiluan volume #4 di Hotel Forriz Sabtu (6/10). Dari kegiatan tersebut diharapkan dapat memberikan wawasan kepemiluan bagi peserta pemilu. Khususnya mengenai sengketa pemilu.
Koordinator KISP Edward Pahlevi mengatakan, masyarakat perlu mengetahui dan memahami sengketa pemilu yang pernah terjadi dan bagaimana prosedur penanganannya. Dengan peserta training dari mahasiswa pascasarjana, penyelenggara pemilu baik desa maupun kecamatan akademisi, dosen dan calon komisioner, bisa menjadi wadah pendidikan sengketa pemilu.
“Setelah ini harapanya peserta dan penyelenggaraan pemilu tahu apa yang boleh dan tidak boleh, serta batasanya. Karena di bintek biasanya masih belum detil. Kami berikan detil. Terkait sengeketa pemilu. Termasuk netralitas penyelenggara pemilu,” tuturnya.
Steering Comitte Eky Prasetya mengatakan, tahapan kampanye sudah mulai. Beberapa yang sudah terlihat adalah kemungkinan pelanggaran alat peraga kampanye. “Selain itu juga proses daftar pemilih tetap hasil perbaikan (DPT HB),” jelasnya.
Beberapa narasumber yang diundang adalah Komisioner Komisi Informasi Pusat Hendra J Kede, Ketua Bawaslu RI 2008-2012 Bambang Eka Cahya Widodo dan Ketua Bawaslu DIY Bagus Sarwono.
Koordinator Divisi Pendidikan Politik KISP Prety Epira menyebut acara tersebut menjadi wadah bagi siapapun yang berminat tentang politik dan kepemiluan. Serta mendapat wawasan baru. “Pemilu 2019 bisa jadi sangat rawan sengketa pemilu, publik perlu tahu apa yang bisa disengketakan dan tahapannya,” katanya.
Komisioner Komisi Informasi Pusat RI Hendra J Kede menyampaikan tentang bagaimana pendidikan politik dalam konteks keterbukaan informasi. Termasuk salah satunya KPU sebagai badan publik. Selain KPU juga instansi lain yang termasuk badan publik. “Amandemen UUD Pasal 28F menjamin hak konstitusi warga negara untuk tidak boleh dihalangi mengakses seluruh dokumen lembaga negara yang berstatus terbuka. Jika dipersulit silakan gugat ke KIP,” tegasnya. (riz/zam/er/mo2)
Bantul Yogyakarta – Dalam menyambut Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak Tahun 2019 mendatang, Komunitas Independen Sadar Pemilu (KISP) dan Public Relationship (PR) Ilmu Komunikasi Fisipol UMY mengadakan Madrasah Pemilu Vol ke 2 dengan tema “Peran Media Sosial dalam Menghadapi Pemilu Serentak 2019”. Perlu diketahui bahwa KSIP merupakan komunitas yang berada di bawah naungan Laboratorium Ilmu Pemerintahan (Lab IP) Fisipol UMY dengan fokus peran sebagai pelopor akan kesadaran pemilu, serta Lab IP merupakan mitra strategis dari KSIP.
Kegiatan yang ini diselengarakan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (31/05/2018) pada kesempatan tersebut juga turut diundang beberapa organisasi yang juga fokus terhadap kajian terhadap Pemilu. Tujuan kegiatan ini untuk memberikan pemahaman kepada generasi muda untuk terlibat secara aktif mengawasi pemilu dengan memanfaatkan media sosial (Medsos). Edward Pahlevi sebagai Ketua KISP mengatakan bahwa “anak muda sekarang harus melek politik salah satunya adalah partisipasi dalam bentuk dunia maya sangat diperlukan. Apabila anak muda membuat sebuah gerakan politik melalui media sosial maka itu sangat cepat di respon oleh masyarakat. Muh Amir Nashiruddin sebagai Narasumber sekaligus Komisioner Bawaslu Daerah Istimewa Yogyakarta mengatakan bahwa “Media sosial sarana paling efektif untuk mengawasi proses tahapan pemilu 2019 seperti kampanye dan lain-lain. Anak muda diharapkan dapat memberikan opini positif serta tidak membuat konten yang memecah belah bangsa”. Fajar Junaedi sebagai Narasumber juga mengatakan bahwa “Trend medsos mengalahkan media cetak bahkan televisi. Oleh sebab itu, anak muda harus mampu melakukan perubahan dengan sebuah ketikan melalui ponsel. Medsos akan menjadi saran paling efektif untuk membuat pemilu lebih menarik dan meriah”.
Komite Independen
Sadar Pemilu (KISP) membuka ruang bagi para pembaca untuk dapat berpartisipasi menuangkan
pandangannya terkait dengan tema Politik, Demokrasi, Sosial, Budaya, dan
Ekonomi.
Kami menerima kiriman
tulisan dari para pembaca untuk beberapa rubrik, yaitu
Opini: berisi tulisan yang menarik terakait dengan
peristiwa atau isu yang sedang ramai di perbincangkan maupun isu yang dianggap
menarik untuk dikaji.
Berita: berisi tentang berita-berita teraktual
Review: berisi ulasan tentang buku-buku atau hasil riset
yang sesuai dengan situasi dan ruang lingkup kajian.
Bagi kamu yang
berkeinginan mengirim naskah tulisan, perhatikan ketentuan berikut ini:
Naskah ditulis 750-1000 kata.
Naskah merupakan hasil karya sendiri.
Naskah tidak boleh berisi konten SARA, hoax,
ujaran kebencian, dan hal negatif lainnya.
Upload naskah tulisan dan gambar (format
jpg: untuk ilustrasi) serta mencantumkan kategori sesuai nama rubrik (misal: Opini,
Berita, atau Review) di dalam email.
Naskah dikirim melalui email :
kis.pemilu@gmail.com
Note:
Redaksi berhak menolak/tidak menerbitkan
tulisan yang telah dikirimkan.
KISP berhak untuk menyunting tulisan dari
penulis, mengubah judul atau isi naskah tanpa mengubah substansinya, serta
menghapus isi yang melanggar aturan hukum.
Guna menyongsong Pemilu 2019, Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) bersama Laboratorium Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta menyelenggarakan Madrasah Pendiidkan Pemilu yang diadakan di Ruang Sidang Fisipol UMY (1/5/18)
Acara ini bertajuk “Ngobrol Pemilu Kekinian” yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang Pemilu bagi anggota KISP. Harapannya, dengan pembekalan ini KISP bisa turut berkontribusi bersama penyelenggara Pemilu dalam membantu memberikan pendidikan politik kepada pemilih pemula maupun membantu dalam hal pengawasan.
Dalam kesempatan yang sama, acara ini juga dihadiri oleh Korps Mahasiswa Pemerintahan UMY, Ikatan Pelajar Muhammadiyah DIY, dan Satgas Muda Anti Korupsi yang kedepannya juga turut bekerjasama dengan KISP mengawal pemilu 2019.
Dalam menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 yang kian dekat saat ini, sikap remaja kebanyakan rupanya masih acuh terhadap pesta demokrasi tersebut. Padahal, remaja atau anak-anak muda memiliki peran penting sebagai agent of power dalam membangun Indonesia.
Hal tersebut disampaikan oleh Moch. Edward Triaspalefi selaku Koordinator Komunitas Independen Sadar Pemilu (KISP), dalam Seminar Pendidikan Pemilu Peran Generasi Millenials dalam Pemilu Serentak 2019. Acara yang terselenggara berkat kolaborasi antara KISP, BEM KM Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Yogyakarta Goes to Campus ini, diselenggarakan di Kampus Terpadu UMY pada Kamis (4/4).
Dalam sambutannya, Edward mengatakan bahwa pada Pemilu serentak 2019 nanti kaum muda dapat dibagi menjadi 3 jenis pemilih. Yaitu kaum yang menggunakan hak pilih, kaum golongan putih, dan kaum agent of power yang menjadi pendongkrak semangat serta mengajak anak muda yang lain untuk peka terhadap politik dan pemilu.
“Demi suksesnya pesta demokrasi pada Pemilu Serentak 2019 yang adil dan sehat, maka anak muda yang termasuk dalam kategori usia pemilih pemula juga harus ikut serta. Jadilah agent of power dalam menyambut Pemilu 2019 ini, agar tingkat anak muda yang memilih menjadi golongan putih dalam pemilu serentak nanti bisa berkurang,” ujarnya.
Edward juga menyampaikan bahwa pendidikan pemilu bagi pemula memang merupakan salah satu tujuan KSIP berdiri. Diselenggarakannya seminar tersebut juga tempat untuk para pemilih pemula mempelajari atau memahami bagaimana sebenarnya pemilu itu sendiri. “Selaini itu juga, mengajarkan anak muda untuk lebih memperhatikan politik. Bagaimana satu suara dari pemilih pemula atau remaja memiliki peran yang penting demi masa depan Negara kesatuan Republik Indonesia,” imbuhnya lagi.
Bambang Eka Cahya Widodo selaku mantan ketua Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) dan Farid Bambang Siswantoro sebagai Komisioner KPU Daerah Istimewa Yogyakarta juga hadir dalam seminar tersebut dan bertindak sebagai pemateri. Melalui acara seminar ini KISP serta KPU DIY berharap agar kesadaran anak muda untuk melek terhadap politik bisa lebih meningkat. Selain itu, mereka bisa memilih pemimpin berdasarkan fakta, bukan hanya janji atau ucap kata saja. (pras)
Spektrum Arah Gerak Partai Politik di Indonesia; Antara Kiri dan Kanan
Partai politik adalah salah satu elemen penting dalam sebuah legitimasi pemilu pada negara yang menganut sistem demokrasi. Masing-masing dari partai politik memiliki visi dan misi serta arah gerak kebijakan yang akan ditetapkan setelah mendapat mandat kekuasaan dari masyarakat untuk mengatur daerahnya masing-masing, hal ini membuat partai memiliki sebuah ideologi dasar yang membuat perbedaan antara partai satu dengan partai yang lainya. Saat ini tercatat ada 20 partai yang terdaftar di KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang terbagi menjadi 17 partai nasional dan 3 partai lokal yang akan bertarung di kontestasi pemilu pada 17 april 2019 yang akan datang dan masing-masing partai memiliki arah haluan politik sebagai pondasi dasar partai politik itu terbentuk, berawal dari kader-kadernya yang memiliki arah pandangan yang sama sampai kepentingan-kepentingan terselubung dalam menetapkan sebuah ideologi partai. Hal yang menjadi fokus tulisan ini adalah apakah masyarakat Indonesia mengerti mengenai arah spektrum gerakan partai politik yang ada di Indonesia? Padahal hal ini sangat penting diketahui masyarakat terlebih hal seperti ini akan menyangkut kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan oleh kader-kader partai politik saat menjabat.
Arah Spektrum Haluan Partai Politik di Indonesia Spektrum politik memiliki 2 arah yang berlawanan antara sisi kiri sebagai sisi yang lebih progresif dan sisi kanan sebagai sisi yang lebih konservatif, lalu bagaimanakah cara membedakan partai politik di Indonesia menurut spektrum politik? Partai politik yang memiliki haluan sayap kiri adalah partai politik yang menginginkan intervensi pemerintah dalam setiap kebijakannya mulai dari kebijakan ekonomi, kemakmuran dan berbagai kebijakan sosial lainya yang akan dirumuskan oleh partai berhaluan sayap kiri. Hal seperti ini sangatlah kontras dengan partai berhaluan sayap kanan yang lebih mementingkan pengembangan individu yang menolak intervensi pemerintah dari berbagai aspek, menolak biaya sosial yang mahal serta mendukung berbagai kebijakan yang bersifat konservatif. Berdasarkan dari hasil research yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia bersama dengan Australia National University yang telah melakukan penelitian dengan mengambil 508 responden yang dipilih secara acak dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang berasal dari 31 provinsi di indonesia, survey ini dilakukan dari berbagai pernyataan dan dengan skala 1-10 dan menghasilkan klasifikasi haluan sayap partai sebagai berikut;
Dari skala 1-10 yang telah dinyatakan oleh kader-kader partai
terkait partai politik yang diikuti telah menunjukan bahwasanya tidak ada
perbedaan yang mencolok antara partai satu dengan partai lainnya mengenai
spektrum arah haluan partai politik. Hal seperti ini disebabkan karena
kekalahan ideologi partai kanan-kiri, sebagaimana ditulis oleh Macionis dan
Gerber pada bukunya yang berjudul Sociology ditulis tahun 2004 bahwa, setiap
negara memiliki karakter spektrum arah haluan yang berbeda dari negara lain,
seperti di Canada, spektrum arah haluan partai politik ekstrim
kiri ada berada
di partai komunis, spektrum arah haluan partai politik ekstrim kanan ada
di
partai konservatif dan yang berada ditengah dinamakan partai politik
berhaluan Liberal. Jika melihat kembali ke partai politik di Indonesia,
partai yang
berada spektrum arah haluan kiri adalah partai yang dekat dengan paham
Sosialisme, di kanan ada paham Konservatisme yang langsung diterjemahkan
sebagai partai yang berbasis agama (tetapi dalam beberapa literasi
partai
politik berbasis agama lebih condong ke paham Sosialis), sedang yang
berada di
tengah adalah partai Konservatif yang diterjemahkan sebagai partai
Nasionalis yang
bisa saja arah kebijakannya condong ke kiri ataupun ke kanan.
Sebenarnya, konsep
spektrum partai politik yang condong ke-kanan bukanlah tentang keyakinan
yang
bersumber dari agama, tetapi ini adalah bentuk perlawanan dari paham
Marxisme
yang dikenal sebagai paham kiri dan diterapkan di partai politik, paham
kanan
beranggapan bahwa pemerintah sudah terlalu jauh mengintervensi pasar dan
paham
ini mempercayakan pasar untuk berjalan dengan sendirinya.
Tetapi
jika melihat hasil dari diagram diatas, bahwasanya partai
politik di Indonesia lebih cenderung mengarah pada arah spektrum haluan
kanan. Alih-alih agak kekiri sedikit, yang berarti bahwasanya basis
agama dalam
spektrum partai politik di Indonesia masih cenderung kuat meskipun
basisnya Nasionalis tetapi nilai nilai ke-agamaannya tetaplah ada,
mengingat mayoritas masyarakat
yang ada di Indonesia memeluk agama Islam dan ini menjadi alasan besar
untuk
merebut suara di setiap kontestasi politik electoral. Ini menjadi alasan besar
kenapa kecenderungan arah spektrum partai politik di Indonesia tidak berani
menyatakan ekstrim kanan dan lebih menyatakan agak ke kiri sedikit. Disisi lain
penggunaan diksi “kiri” masih terbilang negative di Indonesia karena sejarah
kelam dari partai komunis Indonesia yang berhasil meninggalkan trauma buruk
kepada masyarakat di Indonesia dan akhirnya spektrum haluan partai politik di Indonesia tidak terlalu ekstrim ke kanan.
Kekalahan ideologi partai politik kanan-kiri juga menghasilkan sebuah
ideologi tengah baru. Ketakutan kader partai dan masyarakat mengenai sebuah
paham ekstrim yang ditetapkan partai politik bisa menjadi alasan utama mengapa
partai partai di Indonesia tidak memiliki ideologi yang ekstrim. Sepanjang
sejarah partai politik di Indonesia, spektrum arah haluan partai politik kiri
lebih cenderung ke arah kebijakan-kebijakan yang sifatnya Sosialis seperti
pelarangan free trade, pendidikan, hak asasi manusia dan lain sebagainya.
Sedangkan partai politik yang memiliki spektrum arah haluan ke kanan menawarkan
solusi Profetikisme. Sekarang sudah terbukti bahwa partai yang memiliki paham
ekstrim tidak laku di Indonesia.
Meminjam
logika Samuel P. Huntington dalam karyanya tentang
partisipasi politik masyarakat di Negara berkembang, dapat diketahui
bahwa
setiap model partisipasi selalu berangkat dari asumsi yang berbeda.
Asumsi
inilah yang kemudian menjadi titik tolak dari mana suatu partisipasi itu
akan
dimulai. Hal yang sama pasti juga terjadi dalam kasus ideologi partai
politik.
Bahwa setiap partai yang memiliki ideologi berbeda, sudah pasti
mempunyai
asumsi yang berbeda pula mengenai sistem politik terbaik yang mestinya
diimplementasikan di Indonesia. Mustahil partai dengan ideologi berbeda
akan
memiliki kesamaan keyakinan garis perjuangan politik. Jika diasumsikan
pada
spektrum haluan partai politik, maka bisa disimpulkan bahwa partai
politik yang
berhaluan kanan tidak bisa berubah secara tiba-tiba menjadi berhaluan
kiri
ataupun sebaliknya atau bahkan menjadi ketengah. Jauh dari pembahasan
ini
bahwasanya dalam negara yang menganut sistem demokrasi spektrum arah
haluan
partai politik antara kanan dan kanan adalah sebuah sistem yang harus
dijaga
keberadaannya, mereka semua adalah sistem yang sudah hakekatnya harus
ada untuk
saling melengkapi. Jika salah satu dari spektrum partai politik tersebut
hilang, maka ekosistem dalam sistem kepartaian di Indonesia akan
mengalami kecacatan,
dan mungkinkah ini adalah kecacatan?
Kontras Perbedaan antara Partai Politik di Indonesia
Perbedaan
ideologi partai politik sangatlah penting diketahui oleh masyarakat luas, hal
ini membantu masyarakat untuk lebih mudah memahami dasar dari visi dan misi
partai politik yang akan diterapkan oleh kader-kadernya jika menjabat nantinya.
Bahkan Karl Marx dan Plato setuju serta berpendapat bahwasanya ideologi adalah cultural
belief yang dipergunakan oleh masyarakat untuk memberikan justifikasi
konsepsi keadilan, kebebasan, kemerdekaan, dan sejenisnya. Dari lembaga research
yang sama telah meneliti kecenderungan ideologi partai di Indonesia
antara Pancasilais dan Agamis, dari berbagai pernyataan dan metode
penelitian yang ada
di akumulasi menjadi skor 1 sampai 10 maka menghasilkan diagram sebagai
berikut:
Dari
diagram diatas telah menggambarkan bahwasanya isu satu-satunya
yang berhasil membuat perbedaan secara signifikan terhadap partai
politik di Indonesia adalah isu agama. Politik identitas masih menjadi
hal yang dipuja-puja di Indonesia khususnya partai politik yang dapat
meraup suara dari politik
identitas mengingat Indonesia adalah negara yang mayoritas masyarakatnya
memeluk agama Islam. Dari perspektif masyarakat justru sangat baik jika
partai
politik memiliki ketegasan ideologi yang berbeda antara Pancasilais dan
Islamis, jadi masyarakat justru mudah mengetahui apa ideologi dasar dari
sebuah
partai politik karena ini akan berpengaruh kepada kebijakan-kebijakan
yang akan
diterapkan oleh kader-kader di partai politik nantinya. Jika di
Indonesia hal
yang membuat kontras antara partai politik adalah isu agama, maka
asumsi-asumsi
dari setiap partai politik juga berbeda, interpretasi partai politik
akan
kebijakan-kebijakan politis akan berbasis dari ideologi partai politik
tersebut. Sistem demokrasi juga mendukung berdirinya sebuah organisasi
yang
anggotanya memiliki basis pandangan ideologi yang sama atau disebut
dengan
partai politik, meskipun Indonesia bukanlah negara Islam dan menganut
ideologi Pancasila, tetapi sistem demokrasi ini mengizinkan partai
berbasis agama tetap
berdiri di Indonesia. Hal seperti ini sangatlah baik dan bisa membuat
masyarakat memproyeksikan bahwasanya kualitas demokrasi di Indonesia
sangatlah
baik, terbukti dari pemilu-pemilunya yang sering berhasil walaupun
jumlah
partai politiknya banyak dan terkesan sangat rumit.
Fenomena Pembiasan Ideologi Partai Politik di Indonesia.
Pembiasan ideologi
partai politik di Indonesia saat ini sudah sangat nampak terjadi, alasan utama
yang menuntut fenomena ini terjadi adalah adanya threshold dalam kontestasi
politik electoral. Mari ambil salah satu contoh yang sempat menjadi perdebatan
dikalangan akademisi maupun masysarakat luas yaitu Presidential threshold.
Presidential threshold adalah sebuah ambang batas yang telah ditentukan untuk
menjadi seorang kandidat Presiden, di Indonesia sendiri salah satu syarat untuk
menjadi seorang kandidat Presiden adalah harus mencapai ambang batas threshold
itu sendiri yaitu harus memiliki sedikitnya 20-25% suara di Parlemen,
dengan
kata lain pasangan calon kandidat Presiden harus mengantongi
partai-partai yang
ada di Parlemen sebanyak 20% agar bisa mendaftatar sebagai pasangan
calon Presiden. Peraturan ini memaksa partai politik di Indonesia
membuat koalisi
raksasa antara partai satu dengan partai yang lainya. Koalisi raksasa
ini
cenderung memaksa partai politik yang memiliki basis ideologi yang
berbeda
untuk membentuk sebuah koalisi raksasa agar bisa mengusung salah satu
calon
presiden dan wakil presiden di kontestasi electoral nantinya.
Fenomena semacam ini sudah terjadi di dunia perpolitikan Indonesia,
bagaimana partai sebuah partai PPP yang berbasis agama bisa menjalin koalisi
dengan PDI-P yang memiliki basis nasionalis dan begitupun sebaliknya. Seperti
yang dikatakan Samuel P. Hatingtong, mungkin benar bahwasanya partai yang sudah
memiliki basis ideologi yang kuat tidak akan mudah berpindah ideologi dan
mustahil memiliki pandangan yang sama dengan partai politik yang memiliki
ideologi berbeda, tetapi fenomena semacam ini agak sedikit membantah teori
tersebut bahwasanya kepentingan kekuasaan dan peraturan yang ada menjadi faktor
utama kenapa partai politik di Indonesia memiliki koalisi yang sama mesti
memiliki ideologi yang berbeda. Perlu diketahui bahwa fenomena seperti ini
membuat partai politik di Indonesia memiliki fenomena yang disebut kartel
partai politik dan cenderung bersifat bagi-bagi jabatan setelah kader-kadernya
menjabat nantinya.
Sedikit meminjam istilah Marx dan Plato bahwasanya ideologi adalah cultural
belief yang dipergunakan oleh masyarakat untuk memberikan justifikasi
konsepsi keadilan, kebebasan, kemerdekaan, dan sejenisnya. Seharusnya jika
partai politik di Indonesia memiliki ideologi yang jelas tanpa ada pembiasan
semacam ini maka masyarakat akan memiliki patokan partai basis apa yang akan
mereka pilih sebagai cultural belief yang akan partai politik
perjuangkan untuk
masyarakat yang memilihnya, ini membuktikan bahwasanya ideologi bukan
lagi hal
yang penting bagi partai politik saat sudah dihadapi dengan pragmatisme
kekuasaan. Disisi lain jika partai politik tidak segera mengukuhkan
ideologinya, maka masyarakat akan terus menerus menganggap partai
memiliki orientasi
pragmatis karena partai politik sendiripun tidak memiliki pegangan yang
teguh
dengan ideologi yang mereka anut.
x
Hal-hal yang sedang diperjuangkan oleh banyak LSM Kepemiluan
beserta para akademisi adalah penghapusan threshold itu sendiri. Selain
berdampak membiasakan ideologi partai, threshold juga merupakan sebuah langkah
memberi kecacatan demokrasi. Bayangkan saja, Indonesia memiliki 20 partai
politik yang bisa dibilang ini adalah jumlah yang sangat banyak, tetapi
dikarenakan threshold yang mencekik, maka calon presiden dan wakil presiden
hanya berjumlah dua pasangan calon. Bagaimana bisa dua pasangan calon presiden
bisa mewakili keinginan masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dampak
baiknya jika threshold dihapuskan selain membuat partai politik mengukuhkan
ideologinya adalah masyarakat Indonesia memiliki varian kandidat yang bisa mereka
pikirkan secara rasional dalam memilih di pemilihan umum.
Pentingkah
Partai Politik Membuat Koalisi Berdasarkan Basis Ideologinya?
Ideologi
dalam
partai politik merupakan basis pergerakan mau kemana kebijakan-kebijakan
yang
akan diterapkan jika menjabat nantinya, dengan kata lain ini bisa
menjadi
patokan masyarakat dalam memilih. Tetapi menyikapi fenomena pembiasan
ideologi
partai yang mana bahwasanya partai politik bisa berkoalisi dengan partai
politik lainya yang memiliki ideologi yang berbeda juga merupakan hal
baik. Karena bisa dibayangkan jika partai politik membentuk koalisi
raksasa
berdasarkan ideologi yang sama. Misalnya, partai politik yang memiliki
ideologi
nasionalis membuat koalisi raksasa dengan partai politik yang
berideologi
nasionalis juga ataupun sebaliknya. Hal yang dikhawatirkan adalah akan
terjadi
polarisasi masyarakat berdasarkan ideologi partai politik yang dianut,
bisa
saja masyarakat yang memiliki pandangan nasionalis akan memilih partai
politik
yang memiliki basis nasionalis dan bisa saja masyarakat yang memiliki
pandangan
agamis akan memilih partai politik yang berbasis agamis, hal yang
dikhawatirkan
adalah akan terjadi sebuah polarisasi yang kuat dan mengakibatkan
perpecahan
antar masyarakat luas.
Masih dalam sisi yang sama dampak dari buruk dari terbentuknya
koalisi partai politik berdasarkan ideologi partai yang sama akan menimbulkan
rancangan undang-undang yang cenderung tidak mewakili masyarakat luas.
Contohnya jika koalisi partai politik yang berbasis nasionalis akan menang di
kontestasi politik electoral maka hal yang ditakutkan adalah jika rancangan
undang-undang yang dibentuk tidak bisa mewakilkan masyarakat yang memiliki
pandangan agamis, maka dari itu pembentukan koalisi yang memiliki ideologi yang
berbeda masih memiliki dampak baik. Bayangkan saja jika partai politik berbasis
nasionalis membentuk koalisi dengan partai politik yang berbasis agamis,
rancangan undang-undang yang akan dibentuk pasti tetap memiliki nilai nilai
nasionalis dan tidak akan kehilangan Syariat-syariat agamis yang dapat mewakili
pandangan masyarakat di indonesia. Jadi bisa dikatakan mereka semua adalah
sebuah ekosistem yang sudah memang kodratnya diciptakan untuk saling
melengkapi.
Fairuz Arta Abhi Praya
Anggota Divisi Pendidikan Pemilih KISP
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UMY