Oleh:
Nur Kholis
Mahasiswa S2 Sosiologi Universitas Jenderal Soedirman
*Tulisan ini sepenuhnya mewakilkan pandangan penulis dan tidak mewakili
pandangan KISP secara kelembagaan
_______________________________________________
Saat ini tahapan-tahapan Pemilu 2024 sudah dimulai. Ada yang menarik dalam isu pemilu nanti, yaitu membincang bagaimana keterlibatan dan peran strategis anak muda sebagai pemegang kunci suksesor penting pemilu 2024. Berdasarkan data dari KPU RI, jumlah daftar pemilih tetap (DPT) pemilihan umum serentak 2019, pemilih yang berusia 20 tahun berjumlah 17. 501. 278 orang, sedangkan jumlah pemilih kisaran usia 21 – 30 tahun mencapai 42. 843.792 orang. Dan pada pemilu serentak 2024 nanti, jumlah pemilih dari kalangan muda diprediksi akan meningkat signifikan hingga mencapai angka 60 persen dari total suara pemilih.
Hal tersebut sangat dibutuhkan sehingga pemilu bukan hanya dijadikan sebagai saran sirkulasi elite semata, namun juga sebagai ikhtiar untuk bisa menghasilkan pemimpin yang berintegritas, berkualitas, dan mampu menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Dengan demikian, kalangan muda dianggap memegang peran kunci dalam menyukseskan pemilu tahun 2024. Pemilihan umum sejatinya merupakan hasil dari dari keterlibatan demokrasi (democracy engagement) antara pemilih dan yang dipilih. Tanpa adanya partisipasi publik, partisipasi politik, dan partisipasi pemilih, pemilu tidak akan pernah terselenggara.
Dalam kaitannya dengan partisipasi publik, perlu diperhatikan pemilih dari kalangan muda yang jumlahnya mencapai 60 persen, dan ini tidak main-main. Oleh karena itu penting untuk merangkul dan menggaet anak-anak muda untuk ikut serta secara langsung dalam pemilu 2024. Rata-rata pemilih usia muda mempunyai kritis, optimis, dan dinamis. Generasi muda yang mendominasi jumlah pemilih, rawan terjebak dan dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan kampanye politik transaksi, kampanye hitam, sampai pada isu SARA. Hal tersebut merupakan alarm bagi kita semua, termasuk pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk menjaga trust kelompok muda dan juga memastikan bahwa generasi muda dapat menjadi bagian penting dalam setiap tahapan pemilu.
Selain itu, sampai sekarang belum ada partai politik yang melaksanakan proses seleksi intern untuk menyaring memutuskan para bakal calon legislatifnya. Padahal partisipasi publik harus terkoneksi dalam setiap tahapan pemilu, mulai dari pembukaan pendaftaran pemilih, kampanye, proses penentuan caleg, sampai dilaksanakannya pemunguan suara. Bahkan hingga saat ini belum dilakukan pengambilan nomor urut parpo namun konstituen parpol yang memiliki hak untuk menentukan.
Beberapa waktu yang lalu, kita mendengar bahwa Ketua PDI Perjuangan mewacanakan agar nomor urut parpol tetap sama dengan pemilu 2019 lalu, sehingga tidak perlu diubah lagi. Dalam kasus ini sebenarnya KPU memiliki hak dan otoritas penuh sebagai penyelenggara pemilu untuk menentukan kebijakan termasuk mengenai nomor urut parpol. Dan harus tegas agar tidak sampai menimbulkan kegaduhan, dan kebingungan dalam masyarakat.
Kemudian, tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu juga masih kurang, masih banyak masyarakat yang enggan terlibat dalam tahapan-tahapan pemilu mulai dari penyusunan, pengawasan, hingga pelaksanaan serta penetapan hasil. Fenomena-fenomena akan mampu teratasi dengan baik apabila kelompok muda diberikan ruang untuk ikut serta berpartisipasi secara utuh.
Salah satu strategi untuk merangkul partisipasi anak muda adalah KPU dan Bawaslu dapat bekerjasama dengan cara menyediakan kesempatan seluas-luasnya bagi generasi muda untuk masuk dan terlibat sebagai penyelenggara pemilu. Contohnya sekarang tengah dilakukan seleksi panwascam secara nasional, paling tidak ada kursi yang diperuntukkan bagi pendaftar dari kalangan muda. Begitu juga dengan KPU ketika membuka pendaftaran PPK nanti juga memberikan ruang bagi anak-anak muda untuk ikut terlibat aktif dalam tahapan-tahapan pemilu.
Selama ini, anggota panwascam, dan PPK masih banyak diisi oleh kalangan senior, jarang sekali anak muda usia 25 – 28 tahun yang diberi kesempatan karena dinilai kurang berpengalaman dan masih perlu belajar lagi. Padahal, di momen-momen seperti ini generasi muda dapat belajar, dan generasi senior dapat membimbing dan mengarahkan agar generasi muda mengerti dan dapat berkontribusi secara optimal.
Dalam proses itu ada transfer pengetahuan, transmisi pengalaman, serta menyiapkan talenta-talenta muda yang akan melanjutkan peran sebagai penyelenggara pemilu. Itu adalah cara konkrit yang bisa kita lakukan untuk menggandeng generasi muda menyukseskan pemilu 2024.
Banyak peran yang dapat diambil oleh anak-anak muda dalam menyukseskan pemilu, bukan hanyaa sebagai penyelenggara pemilu tapi juga sebagai calon yang dipilih, sebagai duta demokrasi yang menyampaikan pesan-pesan tentang partisipasi kepada masyarakat, bergabung sebagai penyelenggara pemilu, sampai yang terkecil yaitu hadir ke TPS untuk menyampaikan hak suaranya yang jelas generasi muda tidak pasif dan apatis politik.
Sudah bukan zamannya lagi anak muda pasif, anak muda hanya diam, atau hanya dimanfaatkan sebagai objek politik jangka pendek. itu hanya akan merugikan diri sendiri dan masyarakat, dan yang terpenting adalah menunjukkan kontribusi nyata. Anak-anak muda harus bersatu dan meneguhkan komitmen bersama untuk mengambil peran kunci dalam perubahan ke arah yang lebih baik, yaitu terlibat aktif dalam setiap tahapan pemilu. Dengan ilmu, fikiran, gagasan, waktu, energy, dan semangat optimisme, anak-anak muda mampu mengambil inisiatif peran sebagai pemegang kunci suksesor pemilu 2024.