KISP MENYERAHKAN BUKU HASIL PENELITIAN KEPADA REKTOR UMY

(Bantul, 24/02/2020), Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) yang diwakili oleh Moch Edward Trias Pahlevi selaku Koordinator Umum KISP menyerahkan buku ke 5 yang berjudul Pemilih Milenial dan Kontestasi Politik Elektoral kepada Bapak Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, M.P selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Buku tersebut merupakan evaluasi dan hasil penelitian yang dilakukan oleh Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) pada Pemilihan Umum Serentak 2019.

Kami sangat berterimakasih kepada Bapak Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, M.P yang juga telah memberikan dukungan berupa testimoni.

*Buku ini bisa didapatkan melalui kontak 089639400855

PESANTREN DI KANCAH POLITIK ELEKTORAL

Oleh: Fairuz Arta Abhi Praya (Pegiat Komite Independen Sadar Pemilu)

Kehadiran pesantren di Indonesia, selain sebagai lembaga pendidikan indigenous nusantara, juga merupakan entitas sosial yang memiliki pengaruh cukup kuat dalam berbagai bidang, salah satunya politik.  Hampir di setiap menjelang pesta demokrasi, pesantren menjadi rujukan para politikus, penguasa, ataupun pimpinan partai. Upaya itu tentu bukan hanya sekadar silaturahmi saja, bisa jadi ada hitung-hitungan politis untuk mendongkrak popularitas.

Keterlibatan pesantren dalam pesta politik tidak perlu dianggap tabu. Sebab, jika menilik sejarah, keterlibatan pesantren dalam dunia politik sudah sejak masa partai Islam menjadi PPP dan benar-benar mencuat saat Abdurrahman Wahid, santri yang berhasil menduduki tampuk pimpinan tertinggi di negeri ini, Presiden RI ke-4, meskipun hanya seumur biji jagung saja.

Bagaimana keterlibatan-keterlibatan pesantren dalam kontestasi politik? Mari kita melihat contoh pergulatan Pemilihan Gubernur Jawa Timur (Pilgub Jatim) 2018 ini.

Pilgub Jatim banyak menyita perhatian publik, karena keduanya dari tokoh NU. Pertama adalah Khofifah Indar Parawansa yang rela mundur dari jabatan Menteri Sosial di Kabinet Kerja Jokowi-JK. Dan lawan tandingnya adalah Saifulah Yusuf atau Gus Ipul yang juga sudah menjabat dua kali periode sebagai Wagub mendampingi Soekarwo (Pakde Karwo). Kehadiran dua tokoh NU sepanggung dalam kontes politik Jatim-1 secara tidak langsung memecah suara NU sendiri. Alhasil, kiai yang juga dianggap sebagai tokoh-tokoh sentral NU tidak jarang berbeda pilihan. Kedua calon pun berlomba untuk mendapatkan simpati dari kiai, tentu untuk manghadirkan banyak dukungan dari para penganut kiai tersebut.

Bahkan sempat beredar di grup WhatsApp daftar nama kiai-kiai yang secara tertulis menyatakan dukungan kepada pasangan tertentu dengan memberikan tanda tangan. Bahkan sempat ada forum kiai yang memberikan dukungan pada salah satu calon dengan jelas dan disebutkan di media. Praktik keterlibatan tokoh sentral pesantren itu bisa jadi tidak hanya di Jatim saja. Misalnya riset yang dilakukan Saidin Ernas dari IAIN Ambon dan Ferry Muhammadsyah Siregar dari Indonesia Consortium for Religious Studies (ICRS) Yogyakarta 2009 silam. Pesantren Krapyak terlibat jelas dalam memenangkan calon legislatif DPRD DI Yogyakarta di bawah partai Demokrat dengan suara 4.147, terbanyak kedua setelah PDIP 5.220 suara.

Kemungkinan setelah pemilu serentak 2019 kemarin, nanti di pilkada 2020 akan lebih terlihat secara luas bagaimana pesantren ditarik dalam lingkaran politik. Apalagi, sebelumnya sempat diwacanakan ada kementerian pesantren. Janji politik dan manuver politik penguasa tentu akan mencari cara agar para kiai bisa merapat pada kelompoknya.

Posisi Pesantren Inverior atau Superior dalam Politik?

Sebagai lembaga yang dikenal sebagai wadah perkembangan pendidikan sepiritual, keterlibatan pesantren dalam politik harus diperkuat. Interaksi pesantren dan politik tidak menutup kemungkinan terjadi tarik-menarik pengaruh. Apakah pesantren sebagai kelompok yang inferior hanya untuk memenuhi hasrat politik atau superior bisa intervensi visi-misi politik?

menjelaskan pesantren dan politik memang sulit dipisahkan. Pesantren mendukung organisasi sosial politik (orsospol) ada sejak partai Islam menjadi PPP. Dampaknya, pesantren tersebut bisa segera populer di publik, seperti pesantren Darul Ulum, Jombang, Jawa Timur. Banyak bantuan yang mengalir dalam lembaga tersebut. Namun, sebagai akibatnya, ada risiko kehilangan santri, sebab mereka ramai-ramai eksodus menuju pesantren lain. 

Ancaman seriusnya juga, jika kiai berpolitik praktis, maka ada ancaman terhadap otoritas sang pemimpin informal. Karisma kiai akan meredup kalau ikut dalam percaturan politik dengan menjadi corong salah satu orsospol saja. Bahkan terjadi klaim-klaim kiai yang merasa paling benar dalam jalur Khittah NU 26 dan menyalahkan satu sama lain karena berbeda orsospol yang didukung.        

Motif ekonomi juga bisa menjadi alasan kenapa kiai mengikuti politik praktis, seperti pemenuhan operasional pesantren yang cukup mahal, tidak sedikit menggiring para kiai untuk ambil bagian dalam politik. Misalnya, dengan memberikan panggung dalam pengajian pada tokoh politik tertentu untuk bersuara di sana. Tidak lama kemudian, bantuan datang berdatangan.

Nahasnya, ketika bantuan sudah banyak diterima pesantren, ada beban balas budi terhadap politisi tersebut. Artinya, mau tidak mau, kiai akan dimanfaatkan sebagai corong politik, dan tidak bisa intervensi visi pesantren. Praktik politik semacam itu, dalam keterbukaan informasi sekarang ini, sangat membayakan karisma kiai dan netralitas pendidikan yang dikembangkannya. Sikap dan suara kiai yang terlibat dalam perpolitikan akan kian jelas. 

Nah, apakah independensinya seorang tokoh kiai masih berlandaskan pada kemaslahatan umat dalam atau sudah mengarah pada keuntungan kelompok tertentu? Semua itu publiklah yang akan menilai. Praktik semacam inilah yang barangkali bisa disebutkan sebagai perpolitikan pragmatis. Ada “jebakan batman” yang dipasang para politikus dengan umpan bantuan pembangunan dan iming-iming lainnya.  Namun, arah pergerakan politik kiai tidak sepenuhnya praktis dan hanya menjadi corong orsospol yang diungkapkan Masdar. Bahkan kiai pesantren ada yang memiliki pengaruh politis yang kuat dalam skala kabupaten. 

Hal demikian ini bisa dilihat di Pulau Madura. Karisma dan fatwa kiai bisa menjadi penentu kemenangan partai tertentu. Salah satu buktinya pada Pemilihan Presiden 2014 lalu. Tentu kita tidak lupa bagaimana suara rakyat Madura 100 persen untuk Prabowo Subianto, meskipun pada akhirnya tidak bisa memenangi kontestasi Pemilihan Presiden. Fenomena itu juga berlaku dalam kontes pemilihan bupati-bupati di Madura. Kiai menjadi dasar penentuan[1].  

Membaca Potensi Kekuatan Politik Pesantren

Gus Dur pernah mengungkap, dalam bukunya Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan[2], pesantren memang sudah seharusnya menjadi lembaga yang tidak bungkam akan perkembangan di Indonesia, dan justru bisa turut mewarnai perkembangan yang ada di negeri ini, membawa pengaruh yang positif. Lebih-lebih, kata putra dari Menteri Agama pertama di Indonesia itu, pesantren bisa menjadi agen pembangunan yang bergerak di garis terdepan.

Mungkin politik salah satunya yang dimaksud oleh tokoh nyentrik asal Nahdlatul Ulama (NU) itu. Jika kita lihat dalam kaidah fikih, ada maqolahma la yatimmu al-wajib illa bihi, fahuwa wajib (sesuatu yang wajib itu tidak sempurna tanpa sesuatu itu, maka sesuatu itu hukumnya wajib). Logikanya, bila memilihara kemaslahan adalah sebuah kewajiban, maka alat untuk mencapai kemaslahatan itu menjadi wajib. Karena politik itu bukan tujuan. Politik hanya alat. Tujuannya, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana yang tertulis dalam Pancasila. Absennya pesantren dalam dunia politik praktis atau non-praktis juga sangat membahayakan. Sebab siapa yang maju memperjuangan misi pesantren dalam menyuarakan kemaslahatan dan intervensi kebijakan yang pro-pesantren, perdamaian, dan tolerasi terhadap keberagaman?


[1] Didukung Kiai se-Madura, Prabowo Yakin Menang Pilpres, Muhammad Ali, 24 June 2014, https://www.liputan6.com/indonesia-baru/read/2068108/didukung-kiai-se-madura-prabowo-yakin-menang-pilpres, Liputan6.com.

[2] Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Abdurahman Wahid, 2001, published by Desantara.

Menyukseskan Pilkada Depok dalam Tiga Babak

Oleh: Wildhan Khalyubi (Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia dan Pegiat KISP)

Format baru yang diterapkan pada pertandingan NBA All-Star dinilai oleh banyak pihak begitu unik. Sejatinya, permainan basket yang biasanya berjalan selama empat babak itu, nyatanya hanya dilakukan secara waktu normalnya 12 menit dalam 3 babak saja. Dan setiap babak tentu memiliki tim yang jadi pemenangnya. Namun, dibabak keempat, waktu pertandingan dilepas dengan ketentuan tim mana yang mencapai total angka 157 terlebih dahulu maka mereka pemenangnya. Bukan tanpa sebab, hal ini dilakukan untuk mengenang mendiang legenda basket NBA Kobe Bryant. Dan mengapa ini bisa dibilang unik? Format baru ini menarik karna setiap babak memiliki tim pemenangnya dengan jumlah poin terbesar ditambah lagi tentunya mendapatkan hadiah bagi pemenang dimasing-masing babak. Dari 3 babak ini saja dapat daikui bahwa bagaimana sebegitu sukses meng-entertain pertandingan NBA All-Star tersebut.

Jika berkaca pada hal yang demikian, pemilihan kepala daerah sejatinya pula bisa sukses dalam tiga babak yang masing-masing babak dapat disandarkan kepada unsur-unsur yang membangunnya. Terlebih, ketiga unsur ini saling terintegrasi satu sama lain untuk menyukseskan gelaran demokrasi lokal. Bukan hanya penyelenggara yang menjadi faktor penentu, melainkan dua unsur lain yang tak kalah penting dalam menyukseskan pilkada di Kota Depok ini; peserta dan pemilih. Ada pun konfigurasi setiap babak yang disandarkan kepada setiap unsur pilkada dapat dinilai bahwa pilkada Kota Depok ini bisa se-entertain dari pilkada-pilkada yang lainnya.

Pertama, penyelenggara dapat menjadi salah satu penentu bagaimana integritas itu dijunjung, terlebih berkaca pada gelaran lima tahun kebelakang bahwa kasus yang menyeret penyelenggara Kota Depok tentunya tak boleh lagi terulang. Babak perekrutan Badan Ad-Hock KPU baik itu PPK, PPS, dan KPPS tentu merupakan moment krusial dimana ini nantinya menjadi cerminan penyelenggara ditataran grassroots. Begitu pun sama dengan perekrutan Panwaslu ditingkat kecamatan dan pengawas TPS Bawaslu Kabupaten/Kota. Kedua elemen penyelenggara ini menjadi garda terdepan bagaimana keintegritasan Pemilu bisa nampak dari tataran penyelenggara yang paling bawah.

Bila kita ingin mengkategorikan suatu negara telah menyelenggarakan Pemilu secara demokratis, maka konsep Pemilu berintegritas adalah rujukan yang tepat (Norris, 2013). Menurut Nugroho & Liando (2019) Pemilu berintegritas merupakan kesepakatan (covenant) dan standar internasional mengenai norma-norma Pemilu demokratis yang berlaku di dunia, dimana salah satunya menyangkut isu inklusifitas. Tentunya, hal ini perlu diterapkan pada Pemilu yang skalanya lebih mikro; Pilkada 2020. Singkatnya, integritas akan menyasar pada 2 kutub hukum yang terdikotomi yakni melanggar atau tidaknya akan azas-azas Pemilu yang telah disepakati. Karna didalamnya membahas beberapa substansi yang menjadi tolak ukur bagi Pemilu atau pun Pemilu lokal itu sendiri. Pipa Norris (2013) menjelaskan substansi sebuah electoral tentu bersandar kepada keterpenuhannya penyelenggaraan Pemilu sesuai standard dan norma Pemilu yang bersifat universal; (1) Pemilu periodik, (2) hak pilih universal, (3) one person one vote; (4) hak dalam mencalonkan dan berkompetisi; (5) hak pemilih menggunakan suaranya; (6) secret ballot; (7) Pemilu yang genuine; dan (8) Pemilu yang merupakan kehendak rakyat.

Kemudian, dilaluinya beberapa tahapan penyeleksian calon anggota KPU Depok juga dilihat bagaimana nilai-nilai integritas tentunya dilibatkan dalam proses penyeleksian tersebut. Baik itu ukuran secara prilaku etik, fair, impartiality, dan tanggung jawab & transparansi. Hanya saja bagaimana nilai-nilai ini dapat dijamin sebagai nilai-nilai penyelenggaraan selanjutnya. Terutama pada calon anggota PPK yang berhasil lolos tahap seleksi wawancara ada sebanyak 107 anggota dimana 12% nya adalah perempuan. Itu tandanya, jalan panjang bentuk afirmasi perempuan dalam penyelengaraan Pemilu terbuka lebar terutama dalam prekrutan Badan Ad-Hoc di Kota Depok tersebut.

Kedua, yang tak kalah krusialnya ialah partai politik di Kota Depok haruslah segera berbenah. Restorasi partai politik ditataran lokal tentu akan menjadi modal dalam membentuk koalisi yang lebih cair. Disamping membereskan sisa-sisa kekacauan yang terjadi pasca Pemilu Serentak tentulah tidak mudah. Yakni remnant dalam bentuk pembelahan yang terjadi di masyarakat menjadi momok yang akan selalu menghantui dalam Pilkada apabila partai politik belum mengupayakan terjadinya rekonsiliasi masyarakat melalui berbagai agenda setting-nya di tataran lokal. Nantinya, jika itu tidak diupayakan, politik identitas masih akan menjadi senjata bagi pihak siapa pun yang memanfaatkannya.

Pada babak prekrutan calon kepala daerah, juga tentunya secara ideal partai politik di Kota Depok harus mampu melaksanakan demokratisasi internal dalam rentan waktu yang tak panjang setelah Pemilu Serentak. Permasalahannya, para bakal calon kepala daerah yang memiliki integritas baik dalam pencalonannya kerap kali harus “membeli perahu” agar dapat diusung oleh partai. Ini tentu membebani dan jauh dari asas demokratisasi partai. Hal yang demikian hanya akan menimbulkan calon kepala daerah yang nir-ideologi partai tersebut, sehingga secara tidak langsung proses pengusungan calon malah akan bersifat pragmatis.

Terakhir, kendati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa “setiap orang berhak ikut serta dalam pemerintahan negaranya, secara langsung maupun melalui perwakilan yang dipilih dengan bebas, tentu terbentuknya masyarakat yang genuine mengerti secara makna akan pemilihan lokal masih kerap sulit ditemui. Pragmatisme selalu menjadi kendala bagaimana masyarakat hanya akan “melek” dan memilih apabila ada iming-iming imbalan. Tentu ini tidaklah mudah, terutama pada babak kampanye calon hingga pemungutan suara, adalah babak dimana vote buying menjalankan teori kapilaritasnya meresap ke sumbu-sumbu terkecil kehidupan masyarakat. Perlu adanya perlawanan politik terhadap upaya pragmatisme di Kota Depok yang dimobilisasi oleh aktor masyarakat yang genuine, yang nantinya dapat dijadikan percontohan dan melebar keberbagai penjuru Kota Depok terutama perlawana politik yang dimulai dari desa.

Masing-masing babak dalam tiga unsur setidaknya menjadi gambaran bagaimana menciptakan Pilkada Depok yang mungkin dapat dikatakan entertain secara upaya menciptakan Pemilu Lokal yang baik dan lebih baik. Terlebih, waku jeda yang tak panjang pasca Pemilu Serentak dengan beragam kompleksitas didalamnya, ini tentu tidaklah mudah sehingga menjadikan Pemilu Lokal harus merajut benang yang kusut guna mendapat public trust baik itu terhadap penyelenggara maupun serangkaian prosesnya.

*Tulisan ini dimuat di Kora Harian Sederhana

HADIRI FGD KESBANGPOL DIY, KISP DORONG KOLABORASI PENINGKATAN PEMAHAMAN DEMOKRASI KEPADA MASYARAKAT

(Yogyakarta, 20/02/202) Komite Independen Sadar Pemilu menghadiri rangkaian acara Forum Group Discussion di Kesbangpol DIY. FGD ini mengangangkat tema “Optimalisasai Toleransi di DIY”. Acara ini dihadiri oleh CSO di DIY, penyelenggaran pemilu,dan tokoh masyarakat.

Dalam acara tersebut disampaikan oleh kesbangpol DIY dengan memaparkan beberapa isu yang terjadi di DIY seperti kekerasan di DIY, pemahaman masyarakat terhadap demokrasi, dan kebebasan masyarakat dalam penyampaian eksperis

 Menurut sugeng selaku pembuka dialog menjelaskan bahwa indeks pembanguna demokrasi (IDI) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami penurunan peringkat dari peringkat dua menurun  menjadi tiga. Salah satu penyebab utamanya adalah faktor kekerasan yang terjadi di DIY terlihat meningkat akibat viralnya di media sosial seperti fenomena klitih

Benny Sarwono perwakilan panidraya DIY pemateri dalam diskusi ini menjelaskan fenomena klitih menjadi fenomena sosial yang mencoreng nama DIY yang selalu dikenal dengan daerah yang berhati nyaman. Benny menilai perlu adanya penanaman nilai moral kepada masyarakat dalam memegang kebudayaan yang main hari makin mengikis. Istilahnya wong jowo ilang jowone.

Menurut Koordinator KISP saat menghadiri acara tersebut memberikan saran kepada kesbangpol DIY dan juga stakeholder masyarakat sipil untuk kolaborasi membuat takaran metode peningkatan pemahaman demokrasi di masyarakat yang disusun oleh kesbangpol bekerjasama dengan CSO di DIY. Dan mendorong untuk melakukan skema pendidikan politik berbasis kampung dan desa untuk menciptak aktor-aktor di masyarakat dalam mengkampanyekan peran masyarakat dalam sistem demokrasi. pendidikan kewarganegaraan dirasa masih cukup kurang terjadi di DIY

KISP hadiri FGD Kepemiluan yang diadakan PolGov UGM

Yogyakarta (19/02/20) – Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) menghadiri Forum Group Discussion ( FGD) yang dilaksanakan oleh PolGov UGM. Dengan tema pengelolaan pilkada serentak 2020 secara sinergis dan multi-disiplin ploting di Daerah Istimewa Yogyakarta. Acara Ini di hadiri para penyelenggara pemilu baik KPU dan bawaslu se-Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, partai politik se-Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta , dan LSM kepemiluan se-Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta .

Dalam diskusi ini, ada beberapa point yang disampaikan oleh koordinator KISP Moch Edward Trias Pahlevi yaitu:

Pertama, perlunya penguatan kapasitas Badan Ad Hoc di tingkat KPPS dan PTPS. Peran dua badan ad hoc ini menentukan integritas hasil pemilu. Selain itu, perlu adanya skema bimbingan teknis (bimtek) yang berkala.

Kedua, terkait anggaran dalam proses pendidikan demokrasi di desa, perlu mencari celah terkait dana desa. Perlu adanya payung hukum untuk mengunakan anggaran dalam pendidikan politik.

Ketiga, dalam penyampaian kepada publik, perlu adanya peningkatan pemahaman masyarakat terkait pendidikan kewarganegaraan. Tujuannya agar masyarakat memahami posisi sebagai citizen bukan client.

Edward mengharapkan acara FGD ini perlu terus dilaksakan agar saling bertukar pandangan dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam pesta demokrasi.

SAMBUT PILKADA, BAWASLU BANTUL ADAKAN RAKOR DENGAN STAKEHOLDERS

Bantul (19/02/20) – Dalam rangka mempersiapkan pelaksanaan tahapan Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2020, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Bantul menyelenggarakan Rapat Koordinasi bersama Stakeholders. Acara ini dilaksanakan pada Rabu (19/02) bertempat di Rumah Makan Parangtritis.

Acara yang dihadiri oleh berbagai pihak terkait salah satunya Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) ini mengangkat tema “Membangun komitmen pengawasan bersama dalam menjaga integritas proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bantul 2020”. Mengingat, Kabupaten Bantul pada tahun ini menjadi salah satu dari tiga kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta yang melaksanakan Pilkada Serentak.

Sosialisasi pengawasan terkait Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bantul disampaikan oleh Bawaslu Bantul dan Bawaslu Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari Bawaslu Bantul, disampaikan oleh Ibu Herlina, Bapak Nuril Hanafi, dan Ibu Dhenok Panuntun Tri S. Sedangkan dari Bawaslu Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dihadiri oleh Ibu Sutrisnowati.

Acara ini diakhiri dengan pembacaan komitmen bersama terkait dengan kolaborasi pengawasan partisipatif dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bantul 2020.

PEREMPUAN DALAM JERAT MISOGINISME POLITIK

Oleh : Delila Putri Sadayi (Mahasiswi Ilmu Pemerintahan UMY dan Pegiat KISP)

Indonesia merupakan negara dengan masyarakat yang majemuk, berbagai karakteristik kebudayaan yang membedakan baik dalam etnis, golongan, agama, dan tingkatan sosial. Masyarakat majemuk inilah yang membuat Indonesia seringkali terjadi dominasi ekonomi, politik, sosial budaya yang sangat kuat sehingga menimbulkan konflik di dalamnya. Dominasi politik kerap kali terjadi, misalnya pada partai politik. Dimana arah orientasi partai politik indonesia bukan berpacu pada ideologi, namun orientasi partai politik berdasarkan karakteristik masyarakatnya sebagai sarana untuk memperoleh kekuasaan. Sehingga agama, golongan, dan tingkatan sosial seringkali digunakan sebagai alat politik oleh partai politik atau kelompok kepentingan untuk memperoleh kekuasaan. Hal ini pun mengingat bahwasannya sebagian besar penduduk Indonesia mayoritas beragama islam. Sehingga seringkali kelompok atau golongan masyarakat membenturkan agama dengan politik. Meskipun pada kenyataannya masyarakat Indonesia menginginkan terpisahnya agama dengan negara/politik. Sekularisme akan tetap bertahan dan berkembang dalam kehidupan negara dan politik di Indonesia telah dipatahkan dengan semakin besarnya pengaruh agama terhadap negara dan partai politiknya. Agama telah masuk kedalam praktek-praktek dan peristiwa politik dan kenegaraan. Hal ini memberikan implikasi yang begitu besar pada suara pemilih serta penentuan aktor-aktor politik di dalamnya, terutama pada kelompok perempuan.

Kelompok feminis menanggap bahwasannya kelompok agamis atas tafsir politiknya yang telah menentukan kursi-kursi politik dan parlemen yang secara tidak langsung menyudutkan kelompok perempuan. Hal inilah yang menyebabkan tren fragmentasi misoginisme politik muncul atas dasar agama yang telah menghegemoni dunia politik. Tren misoginisme politik atau kebencian terhadap perempuan di dunia politik muncul di dukung dengan masih kuatnya budaya patriarki di Indonesia, terutama kelompok tafsir agamis yang mengkampanyekan bahwa perempuan tidak berhak untuk berada dalam ruang politik ataupun ruang publik.  Hal ini dibuktikan dengan tingkat partisipasi politik perempuan dalam parlemen pada pemilihan umum 2019 belum bisa memenuhi ambang batas minimum keterwakilan perempuan hanya sebesar 17% dari 30%. Artinya dalam hal ini partisipasi perempuan untuk turut bergabung dalam politik dan menduduki kursi parlemen masih sangat rendah. Berbagai faktor mempengaruhinya, salah satunya adalah munculnya tren misoginisme politik yang secara tidak langsung memberangus hak-hak perempuan untuk dapat hadir dalam dunia politik dan parlemen. Terlebih narasi agama pada pemilihan umum 2019 sangat kuat digaungkan sebagai alat politik untuk memperoleh kekeuasaan. Implikasi yang di timbulkan dari adanya tren misoginisme politik ini akan berdampak pada semakin berkurangnya minat perempuan untuk hadir dalam dunia politik dan parlemen serta berimplikasi pada kehidupan bersosial lainnya. Seperti misalnya di Aceh, banyak perempuan-perempuan yang dikebiri hak-haknya untuk berada di ruang publik, bahkan banyak sekali dibatasi dalam hal cara berpakaian, berkendaraan, berbicara, bahkan tertawa pun juga diatur.  Hal ini akan terus mengkebiri hak kaum perempuan, bahkan dua organisasi massa islam terbesar seperti NU dan Muhammadiyah belum bisa menampilkan wajah islam yang tidak misoginis terkalahkan dengan wajah tafsir baru yang tidak ramah pada perempuan.

GODAAN JOKOWI DI PUSARAN POLITIK DINASTI??

Politik dinasti di Indonesia merupakan hal yang lumrah dan sering didengar oleh masyarakat.  Praktik politik dinasti sepanjang era reformasi benar-benar menggejala. Namun di orde baru pun ini merupaka yang sering terjadi. Mungkin publik masih ingat saat presiden soeharto memberikan jabatan menteri kepada anaknya dalam pemerintahan saat itu. Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik  yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Dinasti politik lebih indenik dengan kerajaan. sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak. agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluar. Politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional. Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi. Ini disebut neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru. “Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural.” Anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural 

Munculnya sosok Gibran menambah deretan panjang praktik politik dinasti yang dilakukan oleh elite negara ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa sosok dibalik bakal calon walikota Solo ini ialah orang nomor satu di Indonesia, tentunya power yang dimiliki Gibran berbeda dengan lainnya. Ditambah mantu dari presiden jokowi juga akan mencalonkan sebagai kepala daerah menambah rentetan fenomena politik dinasti.

Tidak luput perhatian putri dari Wakil Presiden Ma’ruf amin akan meramaikan pertarungan rentetan bagian dari politik dinasti. Juga tidak dipungkiri bahwa dibalik sosok ayahnya memiliki pengaruh yang kuat di negeri ini.

Politik  dinasti  ada  beberapamodel.Model politik  dinasti  di  Indonesia dalam kajian Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) . Pertama berikat menjadi satu atau disebut model arisan, dimana kekuatan kekuasaan hanya pada satu atau keluarga serta berjalan secara regenerasi. Kedua lintas pintu kamar dengan cabang kekuasaan Misalnya kakak  jadi  bupati,  adik  jadi  ketua  DPRD,  anggota  keluarga  memegang  posisi  strategis. Ketiga,   model   lintas   daerah.   Daerah   beda   dipimpin   masih   dalam   satu   keluarga

Keberadaan dinasti politik hingga sekarang masih menimbulkan tarik ulur perdebatan atau pro dan kontra ada yang memandang politik dinasti memunculkan penyelewengan kekuasaan. Pandangan lain, pelarangan terhadap pihak/individu tertetu untuk mengikuti kompetisi pilkada dengan dalih melanggara HAM.

Godaan Presiden Jokowi dalam melakukan praktik politik dinasti itu adalah hal yang wajar di periode kedua. Tidak dipungkiri gula manis kekuasaan untuk menurunkan pamor kepada anaknya dalam berkuasa. Namun yang terpenting ialah tidak mengunakan otoritas dan pengaruh untuk membantu memenangkan Gibran di Pilkada

PERAN PARTAI POLITIK DAN HAK UNTUK DIPILIH BAGI PENYANDANG DIFABEL

Penulis: Azka Abdi Amrurobbi (Sekretaris Jendral Komite Independen Sadar Pemilu (KISP))

Setelah berlangsungnya Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg)  serentak April 2019 lalu, kini harmoni politik sedang mengarah menuju persiapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 23 september 2020 mendatang. Sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota akan melaksanakan Pilkada serentak tersebut.

Pemilihan umum (Pemilu) ataupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang inklusif dan aksesibel bagi difabel bukan hanya dapat diwujudkan oleh badan penyelenggaranya, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), namun bisa juga diwujudkan oleh peserta Pemilu/Pilkada dalam hal ini yaitu partai politik.

Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas telah disahkan dan mengamanatkan pada pasal 13 bahwa penyandang difabel juga memliki hak politik yaitu (a) Memilih dan dipilih dalam jabatan publik. (b) Menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan. (c) Memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum. (d) Membentuk, menjadi anggota, dan/atau pengurus organisasi masyarakat dan/atau partai politik. (e) Membentuk dan bergabung dalam organisasi Penyandang Disabilitas dan untuk mewakili Penyandang Disabilitas pada tingkat lokal, nasional, dan internasional. (f) Berperanserta secara aktif dalam sistem pemilihan umum pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya. (g) Memperoleh aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain. (h) Memperoleh pendidikan politik. Selain pasal tersebut yang menjamin hak politik penyandang difabel, pasal 76 juga mempertegas bahwa penyandang difabel memiliki hak untuk menduduki jabatan publik.

Dengan adanya Undang-Undang terebut seharusnya sudah jelas bahwa penyandang difabel pun memiliki hak yang sama dengan masyarakat lain dalam berpolitik. Bukan hanya dilibatkan sebagai pendukung ataupun tim sukes, hingga penyelenggara semata, namun turut andil menjadi subjek di dalamnya. Mereka juga memiliki hak untuk dipilih dalam ajang Pemilu dan/atau Pilkada. Atas dasar itulah para penyandang difabel dinilai perlu turun ke kancah politik. Hal tersebut merupakan sebutan lain dalam pemenuhan hak politik bagi difabel, karena hak politik bukan hanya hak untuk memilih, tetapi juga hak untuk dipilih dalam jabatan publik.

Partai politik sebagai salah transportasi untuk mengikuti kontestasi Pemilu dan/atau Pilkada sudah seharusnya membuka diri bagi penyangang difabel. Hal tersebut merupakan cara untuk mewujudkan Pemilihan yang inklusif.

Jika berkaca pada Partai Buruh di Inggris yang memiliki prinsip seperti beberapa partai di Jerman dan Ameria serikat, mereka menganut asas infklusif (terbuka), adil, dan transparan. Maksud dari adil bagi partai tersebut terjadi pada saat melakukan rekrutmen kandidat pejabat publik yang wajib mempertimbangkan semua komposisi masyarakat seperti kelompok minoritas yang termasuk didalamnya yaitu perempuan, penyandang difabel, dan lain sebagiainya. Hal tersebut menunjukan bahwa rekrutmen sebagai anggota maupun kandidat pejabat publi bukan semata-mata hanya menganut prinsip kemampuan memenangkan seseorang (winnability), melainkan persamaan hak bagi semua orang. Hal tersebut merupakan hal positif untuk mendorong partisipasi politik kelompok difabel selain didukung oleh beberapa peratururan hukum.

KPU Kota Depok Merilis Hasil Seleksi Wawancara Calon Anggota PPK

Sumber foto: KPU Kota Depok

Komisi Pemilihan Umum Kota Depok baru saja merilis hasil seleksi wawancara tahapan rekrutmen calon anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) untuk pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Depok Tahun 2020. Dilansir dari website KPU Kota Depok, hal itu disampaikan dalam Pengumuman Nomor: 76/PP.04.2-Pu/3276/KPU-Kot/II/2020 yang berdasarkan hasil seleksi wawancara dan Berita Acara Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum Kota Depok Nomor 29/PK.01-BA/3276|KPU-Kot/II/2020 ditetapkan pada tanggal 12 Februari 2020. Jumlah total keseluruhan calon anggota PPK yang lolos pada tahap seleksi wawancara tersebut sebanyak 107 anggota dari total 11 kecamatan di Kota Depok.

Kemudian, berkaitan dengan hal tersebut, hasil seleksi wawancara ini belum merupakan keputusan akhir atau final. Ada beberapa serangkaian tahapan lain pada perekrutan calon anggota PPK ini. Setelah dikeluarkan nya hasil seleksi wawancara tersebut, tahapan selanjutnya ialah menerima berbagai Tanggapan Masyarakat Tahap 2 pasca proses seleksi wawancara. Dilaksanakan pada tanggal 15 hingga 21 Februari 2020, tahapan menerima berbagai tanggapan masyarakat ini merupakan tahapan aduan apabila masyarakat mengetahui rekam jejak para peserta yang terpilih namun tidak sesuai dengan kaidah penerimaan calon anggota PPK. Ada pun beberapa alur yang dapat masyarakat ikuti ialah tanggapan dapat disampaikan langsung kepada KPU Depok melalui email rekrutmenadhock2020@gmail.com atau menghubungi melalui WhatsApp dengan nomor 0813-1825-0004. Selain itu tanggapan harus disertai identitas diri dan paling lambat disampaikan pada tanggal 21 Februari 2020 dengan format terlampir pada website KPU Kota Depok.

Perekrutan calon anggota PPK ini guna mempersiapkan badan Ad-Hock penyelenggara pemilu di Kota Depok itu sendiri. Sebagaimana diketahui, Kota Depok merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Barat yang akan menyelenggarakan Pilkada Serentak tahun 2020 bersamaan dengan Kabupaten Bandung, Cianjur, Sukabumi, Karawang, Indramayu, Tasikmalaya, dan Pangandaran.

Kontributor: Wildhan Khalyubi-Pegiat KISP