Oleh: Fairuz Arta Abhi Praya (Pegiat Komite Independen Sadar Pemilu)
Kehadiran pesantren di Indonesia, selain sebagai lembaga
pendidikan indigenous nusantara, juga merupakan entitas sosial yang memiliki
pengaruh cukup kuat dalam berbagai bidang, salah satunya politik. Hampir di setiap menjelang pesta demokrasi,
pesantren menjadi rujukan para politikus, penguasa, ataupun pimpinan partai.
Upaya itu tentu bukan hanya sekadar silaturahmi saja, bisa jadi ada hitung-hitungan
politis untuk mendongkrak popularitas.
Keterlibatan pesantren dalam pesta politik tidak perlu
dianggap tabu. Sebab, jika menilik sejarah, keterlibatan pesantren dalam dunia
politik sudah sejak masa partai Islam menjadi PPP dan benar-benar mencuat saat
Abdurrahman Wahid, santri yang berhasil menduduki tampuk pimpinan tertinggi di
negeri ini, Presiden RI ke-4, meskipun hanya seumur biji jagung saja.
Bagaimana
keterlibatan-keterlibatan pesantren dalam kontestasi politik? Mari kita melihat
contoh pergulatan Pemilihan Gubernur Jawa Timur (Pilgub Jatim) 2018 ini.
Pilgub Jatim banyak menyita perhatian publik, karena
keduanya dari tokoh NU. Pertama adalah Khofifah Indar Parawansa yang rela
mundur dari jabatan Menteri Sosial di Kabinet Kerja Jokowi-JK. Dan lawan
tandingnya adalah Saifulah Yusuf atau Gus Ipul yang juga sudah menjabat dua
kali periode sebagai Wagub mendampingi Soekarwo (Pakde Karwo). Kehadiran dua
tokoh NU sepanggung dalam kontes politik Jatim-1 secara tidak langsung memecah
suara NU sendiri. Alhasil, kiai yang juga dianggap sebagai tokoh-tokoh sentral
NU tidak jarang berbeda pilihan. Kedua calon pun berlomba untuk mendapatkan
simpati dari kiai, tentu untuk manghadirkan banyak dukungan dari para penganut
kiai tersebut.
Bahkan sempat beredar di grup WhatsApp daftar nama
kiai-kiai yang secara tertulis menyatakan dukungan kepada pasangan tertentu
dengan memberikan tanda tangan. Bahkan sempat ada forum kiai yang memberikan
dukungan pada salah satu calon dengan jelas dan disebutkan di media. Praktik
keterlibatan tokoh sentral pesantren itu bisa jadi tidak hanya di Jatim saja.
Misalnya riset yang dilakukan Saidin Ernas dari IAIN Ambon dan Ferry
Muhammadsyah Siregar dari Indonesia Consortium for Religious Studies (ICRS)
Yogyakarta 2009 silam. Pesantren Krapyak terlibat jelas dalam memenangkan calon
legislatif DPRD DI Yogyakarta di bawah partai Demokrat dengan suara 4.147,
terbanyak kedua setelah PDIP 5.220 suara.
Kemungkinan setelah pemilu serentak 2019 kemarin, nanti di
pilkada 2020 akan lebih terlihat secara luas bagaimana pesantren ditarik dalam
lingkaran politik. Apalagi, sebelumnya sempat diwacanakan ada kementerian
pesantren. Janji politik dan manuver politik penguasa tentu akan mencari cara
agar para kiai bisa merapat pada kelompoknya.
Posisi
Pesantren Inverior atau Superior dalam Politik?
Sebagai lembaga yang dikenal sebagai wadah
perkembangan pendidikan sepiritual, keterlibatan pesantren dalam politik harus
diperkuat. Interaksi pesantren dan politik tidak menutup kemungkinan terjadi
tarik-menarik pengaruh. Apakah pesantren sebagai kelompok yang inferior
hanya untuk memenuhi hasrat politik atau superior bisa intervensi visi-misi
politik?
menjelaskan pesantren dan politik memang
sulit dipisahkan. Pesantren mendukung organisasi sosial politik (orsospol) ada
sejak partai Islam menjadi PPP. Dampaknya, pesantren tersebut bisa segera
populer di publik, seperti pesantren Darul Ulum, Jombang, Jawa Timur. Banyak
bantuan yang mengalir dalam lembaga tersebut. Namun, sebagai akibatnya, ada
risiko kehilangan santri, sebab mereka ramai-ramai eksodus menuju pesantren
lain.
Ancaman seriusnya juga, jika kiai
berpolitik praktis, maka ada ancaman terhadap otoritas sang pemimpin informal.
Karisma kiai akan meredup kalau ikut dalam percaturan politik dengan menjadi
corong salah satu orsospol saja. Bahkan terjadi klaim-klaim kiai yang merasa
paling benar dalam jalur Khittah NU 26 dan menyalahkan satu sama lain karena
berbeda orsospol yang didukung.
Motif ekonomi juga bisa menjadi alasan
kenapa kiai mengikuti politik praktis, seperti pemenuhan operasional pesantren
yang cukup mahal, tidak sedikit menggiring para kiai untuk ambil bagian dalam
politik. Misalnya, dengan memberikan panggung dalam pengajian pada tokoh
politik tertentu untuk bersuara di sana. Tidak lama kemudian, bantuan datang
berdatangan.
Nahasnya, ketika bantuan sudah banyak
diterima pesantren, ada beban balas budi terhadap politisi tersebut. Artinya,
mau tidak mau, kiai akan dimanfaatkan sebagai corong politik, dan tidak bisa
intervensi visi pesantren. Praktik politik semacam itu, dalam keterbukaan
informasi sekarang ini, sangat membayakan karisma kiai dan netralitas
pendidikan yang dikembangkannya. Sikap dan suara kiai yang terlibat dalam
perpolitikan akan kian jelas.
Nah, apakah independensinya seorang tokoh
kiai masih berlandaskan pada kemaslahatan umat dalam atau sudah mengarah pada
keuntungan kelompok tertentu? Semua itu publiklah yang akan menilai. Praktik
semacam inilah yang barangkali bisa disebutkan sebagai perpolitikan pragmatis.
Ada “jebakan batman” yang dipasang para politikus dengan umpan
bantuan pembangunan dan iming-iming lainnya. Namun, arah pergerakan
politik kiai tidak sepenuhnya praktis dan hanya menjadi corong orsospol yang
diungkapkan Masdar. Bahkan kiai pesantren ada yang memiliki pengaruh politis
yang kuat dalam skala kabupaten.
Hal demikian ini bisa dilihat di Pulau
Madura. Karisma dan fatwa kiai bisa menjadi penentu kemenangan partai tertentu.
Salah satu buktinya pada Pemilihan Presiden 2014 lalu. Tentu kita tidak
lupa bagaimana suara rakyat Madura 100 persen untuk Prabowo Subianto, meskipun
pada akhirnya tidak bisa memenangi kontestasi Pemilihan Presiden. Fenomena itu
juga berlaku dalam kontes pemilihan bupati-bupati di Madura. Kiai menjadi dasar
penentuan[1].
Membaca
Potensi Kekuatan Politik Pesantren
Gus Dur pernah mengungkap, dalam bukunya Pergulatan Negara, Agama, dan
Kebudayaan[2],
pesantren memang sudah seharusnya menjadi lembaga yang tidak bungkam akan
perkembangan di Indonesia, dan justru bisa turut mewarnai perkembangan yang ada
di negeri ini, membawa pengaruh yang positif. Lebih-lebih, kata putra dari
Menteri Agama pertama di Indonesia itu, pesantren bisa menjadi agen pembangunan
yang bergerak di garis terdepan.
Mungkin politik salah satunya yang dimaksud oleh tokoh nyentrik asal Nahdlatul Ulama (NU) itu. Jika kita lihat dalam kaidah fikih, ada maqolah: ma la yatimmu al-wajib illa bihi, fahuwa wajib (sesuatu yang wajib itu tidak sempurna tanpa sesuatu itu, maka sesuatu itu hukumnya wajib). Logikanya, bila memilihara kemaslahan adalah sebuah kewajiban, maka alat untuk mencapai kemaslahatan itu menjadi wajib. Karena politik itu bukan tujuan. Politik hanya alat. Tujuannya, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana yang tertulis dalam Pancasila. Absennya pesantren dalam dunia politik praktis atau non-praktis juga sangat membahayakan. Sebab siapa yang maju memperjuangan misi pesantren dalam menyuarakan kemaslahatan dan intervensi kebijakan yang pro-pesantren, perdamaian, dan tolerasi terhadap keberagaman?
[1] Didukung Kiai se-Madura,
Prabowo Yakin Menang Pilpres, Muhammad Ali, 24 June 2014, https://www.liputan6.com/indonesia-baru/read/2068108/didukung-kiai-se-madura-prabowo-yakin-menang-pilpres, Liputan6.com.
[2] Pergulatan Negara, Agama, dan
Kebudayaan, Abdurahman Wahid, 2001, published by Desantara.