POTENSI DAN MOMENTUM PEMURNIAN PENCALONAN DI TENGAH PANDEMI COVID-19

Oleh: Wildhan Khalyubi

(Pegiat Komite Independen Sadar Pemilu)

Dengan mewabahnya Covid-19, hal ini tentu menjadi permasalahan yang rumit dimana tahapan pilkada sempat terhenti untuk sementara waktu. Sehingga hal ini juga berlanjut pada pertanyaan akan kesiapan penyelenggaraan pilkada ditengah wabah Covid-19. Kendati begitu opsi penundaan pilkada hinga tahun 2021 begitu kencang digaungkan. Bukan tanpa alasan mengingat urgensi kesehatan dan keselamatan warga negara ditengah Covid-19 ini juga menjadi pertimbangan utama, disusul kesiapan penyelenggaraan juga tak luput menjadi pertimbangan lain. Namun, menyusul dengan adanya keputusan rapat oleh Kemendagri, DPR Komisi 2, dan KPU, maka penyelenggaraan pilkada tetap dilaksanakan pada tahun 2020 tepatnya tanggal 9 bulan Desember mendatang. Dari permasalahan tersebut maka munculah pertanyaan terkait kesiapan 3 elemen kunci dalam pilkada; penyelenggara, peserta pilkada, dan pemilih.

Yang menjadi perhatian penulis dalam hal ini ialah dimana proses pencalonan juga berpengaruh pada suara dan partisipasi masyarakat. Sebagaimana Milbrath (dalam Rush, Michel dan Altoff, 1989), dilihat dari partisipasi politik masyarakat dengan beberapa indikator diantaranya: 1) sejauh mana masyarakat menerima peransang politik; 2) karakteristik pribadi seseorang atau calon ; 3) karakteristik sosial seseorang atau calon; dan 4) keadaan politik atau lingkungan politik seseorang. Pandangan ini juga mempertegas adanya candidate-centered politics.

Dalam keadaan wabah sekarang, ada momentum dan potensi pencalonan yang mungkin terjadi. Pertama, keadaan pandemik Covid-19 yang belum tentu usai dan telah menimbulkan kegelisahan termasuk perihal perekonomian, menandakan bahwa masyarakat hari ini mengalami reses ekonomi. Keadaan ini lah yang semestinya bisa dilihat oleh partai politik dimana dalam proses pencalonan untuk melihat dari sosok figure. Seringkali pencalonan kandidat oleh partai politik melalui upaya pragmatisme, dimana partai politik kerap memilih calon yang memiliki padat modal dan sumber daya sehingga dianggap mampu untuk “membeli perahu”. Rasionalisasinya ialah semakin lama atau sering tahapan pilkada ditunda, akan semakin membebankan modal pada calon yang akan maju. 

Meninjau kebelakang dalam pemilihan umum Amerika Serikat tahun 1988, Part Roberstson cukup menyita perhatian dalam pencalonannya pada pemilihan kandidat Partai Republik. Seperti diketahui bahwa Part Robertson merupakan pendeta yang karismatik dan juga seorang televangelist. Sehingga pencalonannya merupakan salah satu bentuk candidate-centered politics dalam internal partai. Kandidasi Part Robertson dalam hal ini dilihat sebagai bentuk kritik pada prosess kandidasi partai politik yang bersifat permeabel, yang berarti bahwa penominasian individu dapat berlaku bagi siapa saja dengan pertimbangan partai politik terutama oleh pemimpin partai yang dipandang memiliki pengaruh sentralistik.

Part Robertson dianggap memiliki modal menaikan pendukung Partai Republik. Para pendukung Part Robertson berbeda dengan pendukung lingkup Partai Republik pada umumnya Hal ini  dikarnakan Part Robertson memiliki modal politik dengan dilatar belakangi sebagai pendeta yang sering tampil di televisi. Sehingga pemilih mudah mengenali Part Robertson dalam kandidasi Partai Republik serta mampu manggandeng kalangan-kalangan fundamentalis umat kristiani yang juga dianggap sebagai pendatang baru. Ini dibuktikan dengan dua isu yang dibenturkan dalam kandidasi Partai Republik tersebut. Partai Republik tidak melarang adanya aborsi sementara Part Robertson membawa isu melarang adanya praktik aborsi.

Kendati demikian dengan munculnya Part Robertson pada kandidasi Calon Presiden Partai Republik menunjukan adanya positive carryover dan positive spillover. Meskipun Part Robertson tidak terpilih sebagai calon Presiden pada pemilihan umum Amerika Serikat di tahun 1988, Partai Republik mendapatkan keuntungan dengan beralihnya dukungan para pendukung Part Robertson pada Josh W. Bush. Ini merupakan modal kemenangan yang besar bagi Partai Republik dan merupakan bukti bagaimana konflik internal partai pada proses kandidasi dapat ditekan.

Ada beberapa hal yang dapat ditelaah lebih lanjut dari fenomena candidate-centered yang diperlihatkan oleh kandidasi Part Robertson. Pertama, dalam hal ini semakin besar tingkat keterlibatan dalam kontes nominasi, semakin besar pula tingkat partisipasi dalam kampanye pemilihan presiden dan kongres selanjutnya. Hal ini dikarenakan ada efek dari mobilisasi pada pengikut Part Robertson. Kedua, Prediposisi untuk berpartisipasi. Dalam artian ini memanfaatkan variabel-variabel demografis yang dikaitkan dengan partisipasi kampanye seperti identifikasi partai, waktu aktivitas, komunitas, dan usia. Selain itu variabel tersebut juga dikaitkan pada tingkat partisipasi sebelumnya baik berupa aktivitas politik sebelumnya, keterlibatan dalam kampanye presiden, dan keterlibatan kampanye legislatif. Faktor yang ketiga ialah efek mobiliasasi pemilihan umum yang dinilai pada nominasi oleh partai politik yang cukup menarik perhatian pemilih.            

Namun ada juga potensi yang dapat terjadi apabila partai politik tidak memiliki calon yang memiliki padat modal, hal ini memungkinkan basis dukungan terhadap incumbent begitu kuat. Dimana incumbent selalu memiliki modal yang cukup untuk terjun kedalam pertarungan politik periode dua. Implikasi dari keadaan seperti ini tentu bisa saja akan berdampak pada semakin banyaknya kotak kosong sebagai competitor dalam pilkada.Dalam keadaan Covid-19, seharusnya ini menjadi momentum bagi partai politik setidaknya mengikis bentuk pencalonan yang pragmatis. Akan tetapi tentu bisa berupa figure politik yang lebih ditonjolkan. Sehingga hal ini juga dapat membangun sebuah partisipasi masyarakat untuk juga turut serta mengambil bagian pada Pilkada ditengah wabah Covid-19 ini.

Tags: No tags

262 Responses

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *