Perihal Yang Perlu Diperhatikan Selain “Kamu” Dalam Pilkada 2020

Oleh: Muhammad Hima El Muntaha (Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UMY / Pegiat KISP)

Negara Indonesia masih mengaggap sistem demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang paling baik untuk digunakan, dan Pemilu merupakan salah satu prasyarat dari negara demokrasi.

Pemilu serentak 2019 telah selesai dilaksanakan. Saat ini bebrapa daerah di Indonesia sedang mempersiapkan pesta demokrasi di tingkat lokal yaitu Pemilihan Kepala Daerah yang akan dilaksanakan pada 23 september 2020 mendatang.

Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang telah penulis rangkum.

Pertama, isu netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) akan muncul kembali. Menjadi rahasia umum, netralitas hanyalah sebuah konsep dan gagasan ideal. Walau akhirnya tiada manusia yang murni netral, pokoknya netralitas tetap menjadi motto hidup, tujuannya simpel saja, agar ada sugesti masif bahwa penganut netralitas adalah orang yang benar-benar netral. Puncaknya, orang-orang akan mempunyai perasaan saling menghormati walaupun tidak harus kepada yang lebih tua.

Untuk menjaga netralitas ASN, Menpan mengeluarkan Surat Edaran nomor B/71/M.SM.00.00/2017. Salah satu narasinya melarang PNS mengunggah, menanggapi (like, komentar, dan sejenisnya) atau menyebarkan foto/video calon kepala/wakil kepala daerah di media online maupun media sosial. PNS juga dilarang berfoto bareng calon kepala/wakil kepala daerah, terlebih dengan menggunakan simbol tangan/gerakan yang menunjukkan keberpihakan.

Surat Edaran ini sungguh membuat ASN harus lebih berhati-hati dan bijak untuk menggunakan media sosial untuk berjejaring. Memang harus begitu ketika kita menggunakan media sosial, tetapi bagi pelanggar tidak main-main, sanksi administrative bahkan pemberhentian menjadi abdi negara menanti. Waduh!

Kedua, prediksi lain tentang Pilkada adalah tentang eks koruptor yang masih diperbolehkan mencalonkan diri untuk maju dalam pemilihan. Pada 2017, KPU pernah mengatur agar mantan napi korupsi tak boleh maju di pileg. Namun, aturan ini ditolak oleh Bawaslu, Komisi II DPR RI, parpol, hingga menteri dalam negeri. Sempat berlangsung perdebatan cukup alot. Puncaknya, aturan itu digugat oleh para eks napi koruptor di Mahkamah Agung berakhir dengan pembatalan keputusan

Alhasil, di pileg 2019, sebanyak 49 eks napi koruptor maju pilkada. Di antaranya ada yang kemudian terpilih, salah satunya politisi Partai Gerinda M. Taufik yang kembali jadi anggota DPRD DKI Jakarta 2019-2024

Tapi, KPU terus mencoba. Menjelang pilkada 2020, KPU kembali mewacanakan untuk kembali melarang eks napi koruptor. Bisa ditebak, serangan balik tak kurang-kurang. Menteri dalam negeri yang baru, Tito Karnavian, masih meneruskan suara Tjahjo tahun lalu. Ia bahkan bilang, betapa tak adil jika eks napi koruptor yang sudah dihukum penjara masih harus dihilangkan haknya untuk terpilih dalam pemilu. Kan yang harusnya diperangi adalah kejahatannya, kata Tito, bukan orangnya.

Harusnya, para eks koruptor juga dimatikan atas hak politiknya agar tidak bisa menggunakan haknya dalam berpolitik. Tidak sebatas atas penghakiman dengan sebatas jera semata dengan sanksi tahanan yang tak seberapa, karena korupsi adalah kejahatan berat, lebih berat daripada merindukanmu.  Hal tersebut bisa terjadi pada kontestasi Pilkada 2020 mendatang.

Walaupun masih banyak catatan tentang kepemiluan kedepan, kita sebagai masyarakat harus tetap optimis mengawal tahapan pilkada 2020 dari awal tahapan sampai pasca pemilihan selesai dihelat. Selemah-lemahnya iman dalam berpolitik adalah menggunakan hak suara dalam pemilihan,  Sebagai generasi yang ambyar dalam percintaan, setidaknya dalam berpolitik kita tetap berjuang demi demokrasi yang sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa.

Tags: No tags

219 Responses

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *